xliv. leaves

303 4 0
                                    

Area lapangan indoor kampus tempat Zania mengenyam pendidikan, sedang ramai sekali. Meskipun gerimis menghujam titik itu, tampak tidak menyurutkan ratusan, bahkan mungkin mencapai ribuan orang, beranjak dari sana. Sedari subuh, tempat itu sudah dipadati.

Menjelang pukul 12 siang, cuaca yang tadinya sedang cerah sekali, mendadak menurunkan titik-titik air meski hanya berupa gerimis. Prosesi wisuda yang diadakan di kampus tersebut menjadi lebih dramatis karenanya. Dan acara memang baru saja selesai.

Zania yang kedua tangannya memegang ponsel dan map berisi ijazah sedang berjuang untuk keluar dari area lapangan. Sedari tadi ponselnya sudah ramai sekali. Sebelum bertemu keluarga, Zania ada janji dengan teman-teman seruangannya yang juga ikut wisuda kali ini, untuk bertemu terlebih dahulu.

Dan itu semua baru bisa terealisasi setengah jam kemudian. Mereka berfoto bersama, saling menyelamati dan membuat konten yang memang dari seminggu yang lalu sudah direncanakan. Saat satu persatu dari mereka meninggalkan tempat—sebab sudah dipanggil keluarga masing-masing—Zania terkejut ketika melihat kedatangan Arin, Alina, Iris, Rama, Arjuna dan Saga. Teman-temannya itu langsung menghampirinya dan berebut meminta salaman.

Rasanya, hati Zania sedang penuh sekali. Padahal dia tidak berharap teman-teman SMA-nya datang, pengecualian untuk Arin dan Alina. Karena Zania tahu, rata-rata dari mereka mempunyai kesibukan sendiri.

"Congrats, si paling ambis! Abis ini, resepsi apa lanjut profesi nih?"

Zania tertawa mendengar pertanyaan Arjuna. Perempuan itu mengerling jenaka lantas menjawab, "Nganggur dulu, ah."

"Yeee, seorang Zania nganggur? Tahan nggak lo kira-kira?"

"Kenapa enggak? Hampir enam belas tahun sekolah mulu nih."

"Nggak. Nggak percaya gue," seloroh Arjuna kemudian. Pemuda itu mengangsurkan sebuah paper bag cokelat di hadapan Zania. "Sekali lagi, selamat wisuda, ya, Zi."

"Hahaha, thanks, Jun! Semangat intern-nya juga, ya?"

Lalu, teman-temannya yang lain turut memberikan hadiah masing-masing. Setelah itu, tentu saja sesi foto-foto lagi. Dan itu lumayan memakan waktu yang cukup lama. Sampai ponsel Zania panas karena sedari tadi bergetar terus. Zania bukannya abai, tapi dia hanya tidak ingin membuat kedatangan teman-temannya menjadi sia-sia. Karena ketika dia sudah bersama keluarga, Zania yakin sekali, itu akan bisa sampai malam.

Jadi, setelah teman-temannya puas dan Putra yang terus-terusan menghubunginya, Zania segera ingkah dari sana. Arin dan Alina turut serta, membantu membawa barang-barang Zania yang sudah banyak.

"Lama banget. Abis kemana aja?" Putra langsung menampilkan raut wajah tidak enak ketika Zania sudah sampai di parkiran. Mobil Bapak parkir di area parkiran paling luas di kampus. Dan di sana sudah ada Bapak, Ibu, Kael dan kejutan—ada pegawai Putra juga—yang turut hadir.

"Abis sesi foto sama temen-temen dulu."

"Mbak ... selamat, ya." Ibu yang melihat kedatangan Zania langsung membawa tubuh putrinya itu ke dalam pelukan. Tadi, yang mendampingi di dalam adalah Bapak. Itu sebabnya Ibu yang langsung menyambut Zania karena tadi hanya bisa melihat prosesi itu di layar lebar yang dipasang di luar lapangan indoor.

"Terima kasih sudah bertahan sampai hari ini. Ibu bangga banget sama Mbak Zania."

Mata Zania berkaca-kaca mendengar itu, apalagi ketika tak lama kemudian disusul isakan tangis Ibu. Dia mempererat lagi pelukannya.

"Aku yang harusnya makasih sama Ibu. Makasih udah dikasih kesempatan ini. Makasih udah percaya sama aku. Makasih udah didoain sampe aku bisa kayak gini."

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now