xvii. the first a slap

54 3 0
                                    

"Aku tadi ke Central Park buat nulis. Kata Putra, ideku mampet dan uring-uringan karena butuh suasana baru. Jadi aku ke sana, deh."

"Manjur?"

"Iya, dong! Aku bahkan berhasil nulis sampai tamat."

Ada senyum kecil yang terbit di kedua sudut bibir Auriga. Pemuda itu seolah-olah meresap rasa bahagia dan aura yang diuarkan Zania.

"Wah, kayaknya bentar lagi bakalan ada yang mau ditraktir."

"Masih lamaaaa. Belum revisinya dari editor, belum proses terbitnya juga pasti makan waktu. Pembuatan cover, layout, dan lain sebagainya."

"Seribet itu?"

"Bukan ribet, sih. Lebih ke ... apa, ya? Panjang? Pokoknya itu."

Obrolan keduanya terus mengalir seirama langkah yang saling beriringan. Lepas menikmati makan siang di warung nasi padang yang persis bersebelahan dengan bangunan SMA Bina Bangsa, Auriga dan Zania memilih untuk berjalan singkat di trotoar sekitaran sana. Yang kebetulan lagi areanya memang digemari oleh pejalan kaki sebab vibes-nya mirip yang ada di Malioboro.

Auriga yang menenteng goodie bag cokelat milik Zania berujar, "Lain kali mau aku bawa ke tempat yang cocok buat nulis, nggak?"

"Boleh."

"Tapi nggak gratis," ujar Auriga dengan nada bercanda. Yang membuat Zania mau tak mau menguarkan tawanya. "Perhitungan banget. Tapi nggak papa, deh. Bisa diatur."

Sepanjang menyusuri jalanan, Zania rasanya sedang melambung tinggi sekarang. Pertama kalinya dia bisa menghabiskan waktu sebanyak ini dengan Auriga. Bahagia rasanya sedang memeluknya erat-erat, dan Zania hanya berharap semoga itu tidak pernah terlepas.

Saat keduanya mulai lelah dan matahari perlahan-lahan turun ke peraduannya, maka sebuah bangku menjadi pilihan. Tempat untuk sekadar mengistirahatkan kaki sehabis berjalan dengan rute yang lumayan jauh. Sekarang, PR Auriga adalah mengambil motornya yang tadi dititipkan ke pemilik warung nasi padang.

"Kamu mau nunggu di sini apa ikut aja?" tanya Auriga ketika dia baru saja menyodorkan sebotol minuman isotonik. Dia membeli dari pedagang asongan yang berkeliaran di sana.

"Kamu ambil motor ke sananya naik apa memang?"

Auriga meminum air mineral miliknya sebelum menjawab. "Kayaknya bakal pesen gojek aja. Kalau harus jalan kaki, udah keburu capek. Udah sore juga."

"Ya udah kalau gitu aku tunggu di sini aja."

Mengangguk adalah pilihan Auriga. Lantas pemuda itu terlihat mengotak-atik ponselnya. Mungkin sedang memesan ojek online seperti perkataannya tadi.

"Nanti anternya sampe gerbang komplek aja, ya?"

Ucapan Zania itu sukses membuat Auriga mendongak. Alis pemuda itu mengernyit. "Kenapa? Takut sama bokap?"

"Kamu tau sendiri Bapak gimana, Auriga."

"Tapi, 'kan, dia tau aku."

"Dia taunya kamu adeknya Kak Sab."

"Dan satu kampus sama kamu," tukas Auriga cepat. "Pasti ngerti kenapa kita bisa balik bareng."

Sebenarnya Zania ingin sekali Auriga mengantarnya sampai di depan rumah. Tapi mengingat watak dan larangan bapak selama ini, cukup membuatnya ketar-ketir. Meski sebenarnya bapak tahu siapa itu Auriga. Pemuda yang sering lewat di depan rumah dan pernah berbincang beberapa menit saat tak sengaja bertemu di rumah Pak RT. Pemuda yang dia tahu satu kampus dengan anak pertamanya yang kebetulan juga adik dari Sabrina. Wanita yang tinggal tak jauh dari rumah. Menurut Zania, hanya sebatas itu bapak tahu tentang Auriga. Pria tersebut tidak tahu seberapa besar perasaan Zania terhadap Auriga.

Mistake Our Ineffable [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora