xxxiv. burst

48 4 2
                                    

Biasanya es krim selalu mengembalikan mood buruk Zania menjadi baik. Makanan manis nan dingin adalah salah satu hal kecil yang sederhana, yang bisa mengirim zat dopamin ke dalam otak dan tubuh. Hal yang bisa membuatnya senang.

Namun, satu mangkuk es krim matcha dengan toping bubuk vanila di depannya, hanya dipandang oleh Zania. Tidak berniat mengambil satu sendok dan memasukkannya ke mulut. Pikirannya kacau. Dadanya masih saja sesak.

Dan mengetahui fakta bahwa sekarang penyebab dia merasa kacau ada di depannya, membuat Zania bingung. Dia tidak tahu, lebih tepatnya tidak bisa mengeluarkan amarahnya sekarang. Karena pasti hal tersebut akan terlihat sangat konyol sekali.

"Es krimnya nggak dimakan?" suara Auriga menjadi pembuka obrolan di antara keduanya. Menyadari Zania tidak berniat menyentuh es krim yang pemuda itu pesankan, membuat Auriga tentu saja keheranan. Namun di saat bersamaan juga sedikit banyaknya mengetahui mengapa gadis yang biasanya terlihat ceria dan banyak bicara ini, berubah seratus delapan puluh derajat sekarang.

Setelah aksi pencegatan yang dilakukan Auriga di parkiran rektorat tadi, dia membawa Zania ke Sweetest. Tahu sekali bahwa gadis itu menyukai es krim.

"Nanti."

Auriga mengernyitkan kening. Dia sendiri hanya memesan segelas vanila milk. Sweetest memang tidak hanya menyediakan es krim, tetapi juga ada beberapa pilihan menu minuman manis.

"Es krimnya bisa cair."

"Nggak papa. Bisa aku minum hasil cairnya."

"Marah, ya?"

Ditodong pertanyaan seperti itu, membuat pandangan Zania yang tadinya fokus ke arah kasir, mendongak. Membalas tatapan pemuda yang duduk di depannya.

"Kenapa aku harus marah?"

Auriga mengedikkan bahu. "Nggak tau, sih. Tapi biasanya kamu nggak gini."

"Gini gimana?"

"Banyak diemnya."

"Terus kalau aku memang marah sekarang, kamu mau apa?"

"Nanya kenapa kamu marah?"

Zania mendengkus jengah, lantas menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Gelegak emosi masih dia rasakan. Namun perlahan-lahan runtuh sejak dia duduk di kursi ini.

"I need to explanation at see it."

"Yang ..."

"Cewek tadi siapa?"

Zania berjanji dalam hati akan membunuh Auriga jika pemuda di depannya ini berlagak pilon. Berlagak tidak mengerti maksudnya. Jelas-jelas mereka ke sini karena akan membahas kejadian tadi. Dan Zania rasa, sudah cukup basa-basinya.

"Salah satu teman kelas."

"Selain itu?"

"Nggak ada selain itu, Zania. Dia salah satu teman yang cukup deket di kelas. Anggap aja, satu circle? Kita pure temenan walau emang dulu dia pernah ..."

"Pernah apa?"

Auriga terlihat berat mengatakannya. Namun karena gadis di depannya terlihat tidak suka menunggu, dia akhirnya meneruskan kalimatnya.

"Pernah confess."

Zania seperti disiram air es. Dua kata itu mampu membuat sistem kerja otaknya mendadak terhenti. Confess katanya?

"I see that's so weird, mengingat aku sama dia udah jadi temen satu kelas dari sejak maba. Tapi aku beneran nggak ada apa-apa sama dia."

"Gandengan. Dia terlihat bebas dan biasa gandengin lengan kamu."

Mistake Our Ineffable [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz