xxxvii. sign of oddity

59 3 0
                                    

Perempuan yang mengenakan terusan berwarna hitam dengan lengan berbentuk balon itu keluar dari sebuah ruangan. Dengan seorang teman di sampingnya. Setelah menutup pintu, keduanya duduk di kursi tunggu seraya mengenakan alas kaki masing-masing. Si perempuan berbaju hitam sesekali melihat arlojinya.

"Mau makan siang bareng nggak, Na?"

Alina yang sedang memasang flat shoes-nya pada kaki kiri, menoleh sejenak. Sebelum mengirim sebuah senyum tidak enak.

"Gue abis ini ada janji, Ruth. Malah bisa dibilang ini gue udah telat."

Ruth, si perempuan berkemeja denim dengan gaya rambut pendek—hampir menyerupai model cukur laki-laki—itu hanya mengangguk pelan.

"Oke, deh. Kapan-kapan aja."

"Iya."

"By the way, lo kalau mau bimbingan sama Pak Mus lagi, kabarin gue juga, ya? Biar gue bisa ikut bimbingan tanpa ngabarin beliau, hehe."

Alina sontak tertawa kecil, lantas menjawab, "Siap."

Lantas keduanya berpisah ketika keluar dari gedung FIP. Alina baru saja bimbingan pada Pak Mus, bersama Ruth. Perempuan yang tidak sengaja dia kenal sebab beberapa kali tertangkap sedang menunggu bersama di depan ruangan.

Hari ini Alina ada janji dengan Zania dan Arin untuk makan siang di sebuah restoran. Acara tersebut sebetulnya direncanakan secara dadakan. Tiga hari yang lalu, pasca launching novel pertama Zania, dan Arin sudah heboh meminta traktiran. Bukan tanpa sebab, novel Zania laku keras di hari ketiga pre-order ini. Dan meskipun Zania belum mendapat royalti, tapi Arin sudah ingin menagih perempuan itu.

Jadilah Zania menyetujuinya. Mereka akan makan siang di salah satu mal, tepatnya di sebuah restoran makanan Korea.

Baru saja Alina menemukan mobilnya di parkiran, dan ingin membuka pintu pengemudi, sebuah cekalan di tangan kirinya, menghentikan aksi tersebut. Alina menoleh dan sontak terkesiap ketika mendapati sosok Alfa di sana.

"Ada apa?" Alina dengan gesit melepas cekalan itu. Membuat Alfa jadi berdeham canggung.

"A—aku, cuma mau ... nyapa?"

Alina mengembuskan napas pelan. "Oh, oke."

"Putus bukan berarti nggak bisa saling sapa lagi, 'kan, Na? Kita bukan anak kecil lagi."

"Aku nggak bilang, nggak boleh."

"Tapi muka kamu berkata sebaliknya."

Alina refleks merotasikan bola matanya. "Aku ada janji, dan udah telat. Kalau kamu nyapa cuma buat ngajak debat, skip dulu, ya?"

Raut wajah Alfa berubah keras. Dia merasa tidak terima dengan kalimat tersebut.

"Na?"

Alina pura-pura tidak mendengar, dan segera masuk ke mobil. Dari jendela di sampingnya, Alina bisa mendengar suara samar-samar Alfa yang memanggil. Dan itu membuat kepala serta hatinya ngilu. Maka dari itu, Alina segera membawa mobilnya pergi.

Sepanjang jalan, Alina tidak sadar bahwa kini air matanya mulai bercucuran lagi. Jika saja, apa yang ada di dalam tubuhnya ada hubungannya dengan Alfa, mungkin dia tidak akan sebingung ini.

__________

"Selamat untuk novel pertama Zania! Semoga bisa lahir novel-novel berikutnya!"

Suara riang dengan gelak tawa, bersahutan di salah satu meja di dalam sebuah restoran Korea. Makanan tampak berjejer di atas meja, berikut minumnya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now