xix. invitation

51 2 0
                                    

Zania mengangkat mangkuk besar berisi sup ayam itu ke tengah-tengah meja makan. Sementara itu, ibu membawa beberapa pelengkap untuk menjadi teman sup ayam, yakni beberapa potong ketupat dan ikan bakar. Menu makan malam tersebut kali ini dibuat lain dari biasanya sebab Putra lagi-lagi datang. Kali ini pemuda itu akan menginap.

"Gimana kabar kafenya, Bang?" Bapak mulai bertanya ketika semuanya sudah duduk di kursi masing-masing. Ibu terlihat lihai menuangkan sup ayam ke mangkuk tiga laki-laki yang ada di sana. Sementara Zania, melakukannya sendiri.

"Akhir-akhir ini lumayan rame, Pak. Lagi rencana buat rekrut pegawai baru, sih."

"Kalau yang ambil job-job nge-gambar itu masih sering?" Job menggambar yang dimaksud bapak di sini itu adalah tawaran mendesain.

Putra mengangguk. "Bisa dibilang, lebih banyak tawaran belakangan ini. Mungkin karena branding di sosmed yang lumayan bisa narik perhatian orang-orang."

"Bagus itu, Bang. Pertahankan. Tapi kalau lagi sepi, juga nggak papa. Jangan langsung down, tapi anggap saja itu sebagai batu loncatan kamu untuk berinovasi lagi. Dunia bisnis memang butuh itu, 'kan? Butuh pemikiran yang visioner."

Diam-diam Zania merasakan hatinya sejuk mendengar kalimat bapak. Dia tidak bisa melupakan kejadian beberapa tahun lalu, tepatnya ketika mereka semua baru saja menghadiri kelulusan SMA Putra di sekolah. Bapak bertanya, bagaimana dengan kelanjutan kuliah Putra yang saat itu telah lolos jalur SNMPTN di salah satu PTN di Jogja.

Di luar dugaan, Putra mengatakan bahwa dia akan mengundurkan diri. Yang paling membuat semuanya syok, pemuda itu bahkan telah konsultasi kepada guru BK di sekolah sebelumnya. Tanpa mengatakan apa-apa pada bapak dan ibu. Tanpa adanya diskusi dengan keluarga terlebih dahulu.

Zania ingat sekali, setelah itu, suasana di rumah terasa mencekam. Bapak marah, dan beberapa hari sempat mendiamkan Putra. Katanya, adiknya itu sudah sangat mengecewakan dengan menolak untuk kuliah. Padahal jurusannya lumayan susah untuk dimasuki, yakni Teknik Arsitektur. Apalagi lolosnya salah satu PTN di Jogja. Kampus impian Zania.

Namun setelah berminggu-minggu tidak saling bicara, Putra tiba-tiba datang dan mengajak bapak mengobrol lebih dahulu. Pemuda itu meminta izin untuk membangun usaha, yakni Titik Teduh. Di luar dugaan bapak mendukung, bahkan ikut memberikan modal yang dirasanya bisa membantu.

Dengan itu, tembok berupa keheningan itu perlahan runtuh. Zania pernah mengobrol dengan bapak lain hari mengenai Putra. Kata bapak, dia memang sempat marah dan kecewa atas keputusan Putra. Tapi setelah melihat bahwa anak keduanya itu mempertanggung-jawabkan perbuatannya dengan tidak leha-leha dan menjadi parasit di rumah, akhirnya bapak bisa menerima. Dia jadi mengerti, bahwa tidak semua anak mau menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Ada beberapa anak yang istimewa dan memilih jalannya sendiri.

"Kalau Kael, udah mikirin mau ambil jurusan apa nanti?"

Mendengar pertanyaan itu, Zania yang mulai makan sontak menoleh pada adik bungsunya yang tepat duduk di sampingnya. Diam-diam Zania ketar-ketir ketika mengingat obrolannya dengan Kael beberapa pekan lalu.

Kael tampak tersenyum santai. "Kayaknya bakal ambil Psikologi, sih, Pak."

Rahang Zania rasanya jatuh mendengar itu. Walaupun mendengarnya cukup membuat hati tercubit, tapi itu lebih baik daripada Kael bilang dia tidak akan kuliah.

Putra refleks mengerutkan kening. "Udah dipikirin mateng-mateng? Basic kamu, 'kan, di IPS. Kenapa nggak nyoba Hukum aja?"

"Tertariknya sama Psikologi."

"Bagus itu, Dek. Itu pilihan pertama Zania pas daftar SNMPTN juga, 'kan, dulu?" Ibu bertanya, dan langsung dijawab dengan anggukan dari Zania langsung.

"Rencananya mau di mana?"

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now