xlii. girls day out

90 4 0
                                    

Sudah sebulan berlalu semenjak kejadian di kafe waktu itu. Semuanya terasa berbeda sekarang. Zania tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Aksa dan Alina sejak itu. Tidak secara eksplisit. Yang dia tahu, sekarang Alina memutuskan untuk menjauhkan diri dari Aksa dan meminta pemuda itu untuk tidak menemuinya. Aksa yang tidak bisa apa-apa hanya bisa menerima. Setelah mengungkapkan penyesalan dan beribu maaf pada Alina, pemuda itu pergi. Bandung. Seperti niat awalnya.

Pada awalnya, segalanya terlihat berat untuk dijalani. Zania dan Arin harus mengupayakan segala hal agar psikis Alina tetap stabil. Perempuan itu sering tertangkap melamun lama sekali. Tidak lagi sering keluar dan lebih memilih mengurung diri di apartemen studionya. Lebih daripada itu, skripsinya juga tersendat. Zania tidak bisa berbuat banyak. Dia dan Arin sepakat untuk tidak menyinggung perihal itu dulu sebab kesehatan fisik dan mental Alina jauh lebih penting daripada tugas akhir tersebut.

Namun setelah hari-hari berlalu, segalanya berangsur-angsur membaik. Alina mulai membuka diri lagi. Meski memang masih sering tertangkap melamun sendiri, setidaknya itu sudah jauh lebih baik daripada hari-hari kemarin.

Dan hari ini, ketiganya sedang girls day out. Mumpung hari Minggu, itu kata Arin. Saat ini mereka sedang berada pusat perbelanjaan, tepatnya di salah satu toko pakaian. Kalau biasanya hanya Arin yang antusias memilih baju, kali ini, ketiga-tiganya turut andil. Sesekali bergantian menanyakan perihal baju yang mana yang harus dibeli pada satu sama lain.

"Yang ini tuh cocok banget sama lo, Zi. Motif floral dan kesannya tuh kayak anggunly gitu lho." Arin menunjukkan satu gaun pada Zania. Dengan panjang setumit dengan warna dasar putih, serta motif floral berwarna biru muda, itu memang masuk selera Zania.

"Tapi gue nggak suka lengannya. Terlalu pendek di gue."

"Kan, bisa dipakein kardigan atau jaket."

"Makanya gue nggak suka. Gue maunya yang bisa dipakein luaran dan enggak."

Arin mengangguk-angguk paham, sebelum kemudian meletakkan baju itu kembali pada tempatnya. Hal-hal seperti tadi memang biasa terjadi di antara mereka sedang berbelanja bersama seperti ini. Ketika menemukan barang atau sesuatu yang cocok pada salah satunya, mereka akan merekomendasikannya. Dan itu berlaku pada segala hal.

"Cocok, nggak?"

Ucapan itu sukses membuat Arin dan Zania mendongak. Memperhatikan Alina yang barusan mengeluarkan suara. Untuk sepersekian detik, keduanya tertegun. Di depannya, Alina sedang menunjukkan sebuah gaun selutut dengan model sabrina pada bagian kerahnya. Gaun berbahan satin dengan warna merah muda itu tampak manis sekali.

Sebetulnya bukan hal yang aneh. Alina memang suka dengan warna merah muda. Tapi semenjak kejadian itu, dia sudah tidak pernah terlihat mengenakan barang-barang dengan warna cerah. Beberapa minggu belakangan ini, perempuan tersebut sering memakai pakaian gelap. Kalau bukan hitam, pasti abu-abu. Seolah-olah mendeklarasikan bahwa sekarang dia sedang sedih sekali.

Dan hari ini pun begitu. Di saat Arin dan Zania mengenakan pakaian berwarna cerah, Alina justru memakai kaos hitam yang dipadukan dengan rok jins, yang juga hitam. Sebetulnya jika mengikuti pandangan orang yang tidak mengenal Alina, mungkin mereka akan berkomentar bahwa itu hal yang wajar. Bahwa warna pakaian tidak selamanya bisa dihubungkan dengan suasana hati.

Tapi itu tidak berlaku pada Zania dan Arin yang beberapa hari ini turut serta pada gelombang kesedihan Alina. Jadi, ketika Alina menunjukkan pakaian itu, Arin tidak bisa menghentikan satu-dua tetes air matanya untuk turun. Hal yang membuat Alina mengerjap-ngerjap heran.

"Kok, malah nangis, Rin?"

Arin tidak berkomentar banyak, dia malah maju dan menubruk tubuh Alina. Memeluk sahabatnya.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang