xxx. sign of rejection

46 4 0
                                    

"Happy sempro, Nanaku ..."

Alina yang baru saja keluar dari salah satu ruangan langsung tersenyum, ditambah raut kaget ketika menemukan dua orang sudah menyambutnya di sana. Arin yang mengungkapkan kalimat barusan langsung memeluk Alina diiringi tawa dan senyum bahagia.

"I'm so proud of you, Na. Lo udah keren banget hari ini." Kali ini Zania yang berkata, dan bergantian dengan Arin untuk sekadar mengirim peluk singkat pada Alina.

Rasanya, suasana jadi begitu berbeda. Setelah Alina dibantai habis-habisan di dalam ruangan selama seminar proposal, sekarang hatinya jadi lebih lega dan dipenuhi haru. Tidak menyangka kedua sahabatnya akan datang, padahal semalam, mereka sudah minta maaf sebab akan absen karena ada urusan yang lebih mendesak.

"Jadi ..." Alina mengeluarkan suara pada akhirnya. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Anggep aja semalam kita nge-prank? Gue nggak ada jadwal penelitian hari ini. Dan Zania juga nggak akan bimbingan," ujar Arin dengan cengirannya.

"Rese! Gue kira beneran dan nggak berharap kalau kalian bakalan dateng."

"Kita bakalan dateng, kok. Meski nggak masuk untuk jadi peserta, tapi kita akan selalu hadir di setiap momen penting lo, Na." Zania tersenyum saat mengatakannya.

"Makasih, ya."

"So ... proposalnya, dilanjutin, 'kan?" tanya Arin kemudian.

"Alhamdulillahnya iya. Meski, ya ... revisinya lumayan."

"It's okay, semuanya akan kelar jika sudah waktunya~"

Ketiganya tertawa ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Arin. Lantas setelah bereuforia di depan ruangan, Arin dan Zania membantu Alina membawa barang-barangnya yang lumayan berat. Ada satu totebag berisi sekumpulan draf proposal. Satu tas laptop, dan satu totebag lagi yang kata Alina isinya adalah kue.

"Ini kue buat apaan?"

"Tadi abis bagiin ke peserta. Tapi ternyata masih sisa banyak. Ya udah, buat kalian aja kalau gitu."

Zania tersenyum semringah. "Makasih, Nanaaa. Ada kue sus kesukaan gue, jadi pasti akan gue ambil, kok."

Arin yang mendengar itu hanya memasang raut wajah masam seraya menggeleng. Menganggap jika sahabatnya itu sungguh tidak modal. Saat mereka keluar dari gedung, tiba-tiba Arin berbalik ke arah keduanya. Perempuan itu memang tadinya berjalan paling depan.

"Ada Aksa sama Rama juga lho, di depan."

Alina mengernyit. "Wait ... mereka nggak kerja kah?"

"Kerja, kok. Tapi khusus hari ini katanya izin. Sengaja buat ngeluangin waktu karena ini momen penting lo juga," balas Zania dengan cengiran.

Alina kehabisan kata. Perbuatan teman-temannya sungguh di luar di perkiraan. Alina tidak pernah berharap sebanyak ini. Setelah ketiganya berjalan menuju parkiran, sosok Aksa dengan buket di tangannya langsung menghampiri.

"Congratulation on your sempro, Na. Lo keren hari ini." Aksa berujar dengan senyum teduhnya.

"Aduuuuh, Sa. Beneran tadi gue udah nahan-nahan di atas, tapi sekarang gue kayak mau nangis ..." Alina menerima buket snack yang dipenuhi cokelat itu. Air matanya jatuh satu-persatu. Belum selesai dia memproses hal tersebut, datang Arin dan Zania. Yang juga keduanya membawa masing-masing buket.

"Karena lo suka warna pink, jadi mawarnya semuanya warna pink." Buket dari Zania berisi sekumpulan bunga mawar imitasi berwarna merah muda.

"Dan gue kehabisan ide gara-gara Zania nggak mau ngalah, jadi bunganya gue mix aja. Ada mawar, lili, matahari. Lengkap deh. Biar lo ngerasa penuh juga hari ini." Arin menyodorkan buket yang seperti barusan dia deskripsikan hari ini.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang