xxiv. awkward situation

50 3 0
                                    

Ada tidak orang yang memberi dirinya sendiri reward setelah berhasil melalui atau mencapai sesuatu? Mungkin banyak. Dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut sebab kita yang dirasa telah berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan, layak mendapat sebuah penghargaan untuk diri sendiri.

Masalahnya, orang-orang jaman sekarang gampang sekali memberi reward untuk diri sendiri padahal kerjanya belum selesai. Semacam, boros berkedok reward? Seperti seorang mahasiswa akhir yang memberi dirinya penghargaan berupa healing ke beberapa tempat setelah berhasil menulis BAB I. Oke. Sebetulnya tidak salah juga. Tapi menurut Zania, itu terlalu cepat untuk dirayakan.

BAB I di penulisan karya ilmiah a.k.a skripsi, hanyalah tonjokan kecil yang tidak ada apa-apanya. Seseorang baru bisa jalan ke mana saja setelah menyelesaikan BAB IV, itu baru betul. Mengerjakan BAB hasil penelitian tidak pernah mudah. Itu menurut Zania.

Dan hari ini, Zania hanya bisa menghela napas berulang kali ketika Arin menarik tangannya dengan semangat memasuki store pakaian kesekian yang mereka kunjungi dalam dua jam belakangan ini.

Tadi pagi, Arin tiba-tiba mengajak video call grup dengan mengajak Alina juga. Perempuan itu bercerita jika draftnya sudah di-ACC dan hari ini dia ingin self reward. Dan self reward ala Arin adalah, belanja sepuasnya di mal. Mengorek isi rekening sampai tersisa setengah, atau bahkan lebih.

Jadilah Zania di sini. Di antara kedua perempuan yang kini telah sibuk melihat-lihat baju. Di tangan Arin sudah ada dua paper bag berisi pakaian hasil perburuannya tadi. Sedangkan Alina, belum membeli apa-apa. Karena sebenarnya konsep mereka di sini, 'kan, hanya menemani. Yang ingin self reward hanyalah Arin.

"Yang ini cantik nggak, sih, Zi? Crop gitu." Arin menyodorkan baju model crop top berwarna putih dengan lengan seperempat. Desainnya amat sederhana, tetapi terlihat high class.

"Cantik."

Arin mengernyit sebentar, sebelum kemudian kembali meneliti baju itu. "Tapi lengannya agak gede."

"Belum dicoba udah dibilang gede." Zania berujar dengan mata yang dirotasikan.

"Iya juga. Ya udah, deh, gue ke ruang ganti dulu, ya."

Lalu secepat kilat, presensi Arin enyah dari sana. Meninggalkan Zania yang hanya termangu juga Alina yang masih sibuk memilah-milah baju di salah satu section.

"Mau beli baju juga lo?" tanya Zania seraya menghampiri Alina.

"Liat-liat aja, siapa tau ada yang cocok."

"Lo ngerasa Arin terlalu berlebihan nggak, sih, Na?"

Alina menoleh sebentar. Lantas melirik ke salah satu ruang ganti di mana sosok Arin tadi masuk. Perempuan itu terkekeh kecil. "Bukan Arin namanya kalau nggak over, Zi. Maklumin aja."

"Gue cuma takut dia belanjanya hari ini over limit. Yaa, gue tau dia punya suami yang setia jadi ATM berjalannya. Tapi, Na ..." Rasanya Zania tidak bisa meneruskan ucapannya lagi. Dia hanya tidak tahu harus menarasikan isi kepalanya dengan kalimat seperti apa.

Yang untungnya Alina langsung paham. "It's okay. Nanti kita sama-sama aja tegurnya kalau hari ini belanjanya over limit lagi."

"Emang beda, ya, Na, orang yang masih beban ortu sama yang udah jadi beban suami?"

Alina lagi-lagi terkekeh. "Jadi beban suami juga ada nggak enaknya, kali."

"Kayak lo udah punya suami aja."

Obrolan itu terinterupsi ketika sosok Arin datang. Dia kembali menyimpan baju tadi di tempatnya. Hal yang sukses membuat Zania dan Alina mengernyitkan kening.

Mistake Our Ineffable [Completed]Where stories live. Discover now