BAB 18

4 4 0
                                    

Selama perjalanan ke rumah Prianka, Annelis hanya bisa memeluk, dan mengelus-elus pundaknya.

Prianka tidak menangis, ia hanya membeku, rasanya seperti seseorang baru saja menjatuhkan bom di depan matanya.

Di tengah perjalanan dering ponsel berbunyi dan pastinya itu bukan dering ponsel Prianka.

"Halo kenapa, ay?" Ucap Annelis, perlahan melepas Prianka dari dekapannya.

Annelis melirik Prianka. "Sekarang banget? Aku lagi sama Prianka, bilang yang lain–"

Gadis itu berdecak. "Ya udah—iya nanti aku share location. Ok, love you too."

"Kenapa, An?"

"Itu, Arkan bilang dia mau jemput kita di rumah lu."

"Tunggu maksud lu 'kita' itu siapa?" Tanya Prianka dengan heran.

Annelis menghela nafas, lalu mulai menjelaskan bahwa Jefri mengajak mereka semua berkumpul di rumahnya.

"Gw gak tau deh ikut apa enggak."

"Kalo kata gw lu harus ikut sih, siapa tau kan Jefri bakal nyatain perasaannya," gurau Annelis.

Prianka berdecak. "Lu gak usah ngasih gw harapan."

"Ya, kan gak ada yang tau," ujar Annelis sambil mengangkat bahunya.

Prianka berpikir lagi. Haruskah dia ikut ke rumah Jefri?

Ketika mereka berdua sampai rumah Prianka, Annelis menunggu kekasihnya sambil duduk di kursi teras dengan secangkir teh yang dibuatkan oleh asisten rumah tangganya. Dan Prianka masih memperdebatkan apakah ia harus ikut atau tidak.

Bagaimana jika canggung? Ia dan Jefri sudah tidak berbicara selama dua minggu.

"Eh, Prianka mobil Arkan udah di depan. Jadi ikut gak?" Tanya Annelis memecahkan lamunannya.

"Uh, gw ijin dulu deh sama Papa."

"Ya udah cepet bukanya dari tadi," ujar Annelis menyuruhnya masuk kedalam rumah.

Ketika Prianka meminta izin kepada Papanya, ia kira dirinya tidak akan mendapatkan izin mengingat sekarang sudah menujukkan pukul tiga sore, perjalanan dari rumahnya ke rumah Jefri bisa sekitar tigapuluh menit.

"Kamu sama Annelis pulangnya kan?" Tanya Papanya.

"Umm, iya sih kayanya. Itu juga pacar Annelis bawa mobil."

Walaupun Prianka sejujurnya tidak tahu ia akan pulang dengan siapa, bisa saja kan dari rumah Jefri kedua sejoli itu akan pergi berkencan.

"Ya udah kalo gitu boleh," ujar Papanya dengan santai.

Prianka mengernyit tidak biasanya Papanya membebaskannya seperti ini–

"Tapi pulangnya jangan malem-malem, inget jam delapan sampe rumah."—Baru saja dibahas. Saat Prianka hendak mengatakan sesuatu, Papanya berbicara lagi.

"Oh, ya satu lagi," sahut Papanya lagi.

"Apa?"

Ronald menatap putrinya dengan tegas, lalu bangkit dari duduknya. "Ngomongin soal pacar, Papa liat hasil ujian kemaren kamu kayanya turun, bener?"

Prianka menelan saliva-nya. Here we go again. "Nilai akhir semester kemaren itu emang rata-ratanya lebih rendah dari yang sebelumnya, tapi aku rasa masih bagus–"

"Bagus aja gak cukup, Prianka. Kalo nilai kamu gak stabil gimana kamu mau masuk PTN?"

Prianka terdiam, ia menatap kearah lantai. Tidak berani bertemu dengan mata Papanya.

"Kamu gak usah pacaran dulu. Silakan kalo kamu mau berteman sama cowo, tapi sekarang kamus fokus sama sekolah dulu," ujar Papanya dengan lantang.

Prianka melongo. Dorongan dari dalam dirinya sangat kuat untuk menentang omongan Papanya, namun ia hanya menjawab, "i-iya, Pa."

Setelah dirinya melontarkan jawaban itu, Papanya mengangguk puas, lalu menepuk pundaknya. Prianka pamit, dan berjalan keluar rumah, mengikuti Annelis memasuki mobil Arkan.

Ketika di dalam mobil ia berpikir bahwa perjalanan akan terasa hening, ternyata Prianka salah besar. Annelis dan Arkan kini bermesraan di depan wajahnya, saling merangkul, kepala Annelis berada di pundak Arkan, terkadang lelaki itu akan membisikkin sesuatu kearah kekasihnya, dan Annelis akan tertawa.

Prianka mendelik. Ia pikir selama ini Annelis adalah tipikal perempuan yang tidak suka public display of affection, sepertinya ia tidak sadar bahwa Annelis memiliki banyak perubahan setelah jadian dengan Arkan.

Selama perjalanan Prianka mengalihkan pandangannya ke kaca dan bersandar di sana, mencoba mengabaikan sepasang kekasih yang sedang bermesraan di depannya.

✧⁠◝◜⁠✧

Ketika mobil Arkan masuk ke pekarangan rumah Jefri, Prianka melihat ada beberapa kendaraan yang terparkir di halaman depan.

Menandakan bahwa mereka adalah yang terakhir sampai di sini.

Annelis dan Arkan masuk sambil bergandengan tangan. Saat masuk kedalam mereka disambut dengan asisten rumah tangga Jefri—Bi Nina—yang langsung mempersilakan mereka ke kolam renang di halaman belakang.

Prianka pun memasuki area kolam renang. Ia melihat ada Carel yang ingin melompat kedalam kolam, Reno yang duduk bersama Mikaela di sisi kolam, dan Shalona yang sedang duduk di kursi santai sambil meniup mie rebus.

Prianka tidak melihat Jefri. Di mana lelaki itu?

"Kalo Kak Prianka nyari Jefri, dia lagi keluar. Beli minum," ucap Arkan yang seakan-akan membaca pikirannya.

"Oi, gw dapet nih minumannya." Tiba-tiba ada suara lelaki terdengar tak jauh di belakangnya. itu suara Jefri.

Reflek Prianka menengok dan matanya bertemu dengan mata coklat yang sudah lama ia tidak lihat.

"Prianka? Lu di sini?" Tanya lelaki itu dengan ekspresi bingung.

Tunggu kenapa lelaki ini terlihat terkejut dengan keberadaannya? Apakah ini hanya perkumpulan teman-teman Jefri saja? Kalau begitu mengapa Annelis mengajaknya ke sini?

"Uh, itu. Tadi Annelis yang ngajak, gw gak tau kalo—ya udah kalo gitu gw pamit pulang."

Belum sempat Prianka keluar dari area kolam renang, Jefri menahan lengannya.

"Gak apa-apa kalo lu mau di sini. Ini mau yang mana," ucap lelaki itu menyodorkan berbagai macam botol minuman kemasan kepadanya.

Prianka termenung. Jefri hendak mengatakan sesuatu, namun suara teriakkan Carel menyelanya.

"JE, MANA SODANYA GW AUS."

"IYA INI BENTAR—ayo masuk, jangan ngelamun terus," Ujar Jefri sambil menarik lengannya.

Kalau Prianka tahu dirinya akan lebih banyak melamun dari pada memperhatikan sekitar, seharusnya ia tetap dengan pendiriannya dan tidak datang ke rumah Jefri. Prianka mulai merasakan bahwa ini adalah ide yang buruk. 

Zona Teman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang