Arjuna Senja 1.

98 7 2
                                    


Hai Sweet Tea, Aku kembali dengan cerita baru

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hai Sweet Tea, Aku kembali dengan cerita baru. Lebih segar tentunya, dan semoga kalian aka menyukainya.

Cerita remaja dengan latar yang begitu lokal.

Di cerita ini, kalian boleh membayangkan siapapun, bebas, terserah, tetapi, ada tapinya nih, aku minta maaf banget sebelumnya. Karena dalam imajinasiku, Arjuna adalah Kim Seokjin. 🤣

***


Arjuna Senja 1.

Awal berjumpa.



Besok adalah hari istimewa dalam hidupku, mungkin akan menjadi satu bab paling kunanti dalam lembar takdir. Aku akan menikah dengan pemuda pilihan orang tuaku. Kami dijodohkan, tetapi bukan tentang hubungan yang sering terjadi dalam drama atau buku romansa. Biasanya perjodohan yang mereka lakukan ditentang salah satu pihak, entah sang pria atau wanitanya yang enggan untuk dijodohkan hingga dikemudian hari jatuh cinta setelah terbiasa melihat pasangannya.

Dalam kisahku, kami sudah saling mencintai jauh sebelum orang tuaku mengatakan niat perjodohan. Ya. Aku sangat mencintai calon suamiku Arjuna.

Usia kami terpaut beberapa tahun, tetapi tidak menjadi sebuah penghalang bagi orang tua kami untuk tetap melanjutkan rencana ini.

Aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat dua, sedangkan Arjuna masih mengenyam pendidikan di Universitas dan beberapa bulan lagi akan meraih gelar yang selama ini ia perjuangkan.

Rasanya masih segar dalam ingatanku saat kami pertama bertemu, hari yang tidak pernah kuduga akan jatuh dengan indahnya. Sekarang, dia akan menjadi orang yang paling bertanggungjawab akan hidupku, orang yang paling dekat dan akan menjadi tempatku kembali.

💝💝💝

Flashback.

Kebetulan, siang itu aku baru kembali dari sekolah yang tengah sibuk-sibuknya. Arjuna dan kedua orang tuanya datang bertamu ke rumah, aku yang belum mengerti maksud dan tujuannya hanya bisa menatap sambil mengira-ngira.

Abah yang menjabat sebagai Lurah di desa tentunya tidak pernah sepi dengan tamu penting, tetapi kali ini tamu berbeda menemuinya dengan senyum merekah.

Penampilanku bisa dikatakan kumal dan lusuh, layaknya remaja biasa yang baru pulang sekolah, terlebih setelah disibukkan oleh kegiatan ekstrakurikuler. Aku mengikuti ekstrakulikuler Tari, bersama temanku yang biasa kupanggil Elang. Nama panjangnya Langit Biru, memang unik, seunik orangnya. Kami sering menari, khususnya tari tradisional Jaipongan.

Aku dan Arjuna berpapasan di depan pintu masuk, tentu saja aku tidak terpaku seperti adegan yang sering muncul dalam sinetron saat melihat wajah laki-laki tampan. Namun, bukan berarti Arjuna tidak tampan, dia sangat tampan dan bagiku paling tampan dibandingkan siapa pun. Garis wajahnya tegas, hidungnya mancung, alis tebal yang terukir rapih serta bibirnya yang merekah penuh. Kulitnya bersih, aku pun hampir bertanya bagaimana Tuhan menciptakan visual yang sempurna ini. Ditambah lagi, namanya Arjuna dan dalam pewayangan sosoknya memang digambarnya sedemikian tampan. Walaupun dulu, ia masih sedikit kerempeng, sekarang ada otot menyembul dilengkapi perut yang membentuk enam atau delapan kotak mirip lemari pakaian. Jangan berpikir yang macam-macam, aku pernah melihatnya beberapa kali saat Arjuna berenang. Calon suamiku memang hobi berenang, karena itu tidak perlu diragukan lagi jika tubuhnya sangat proporsional.

Dia hanya menyapaku dengan anggukan halus, aku biasa memanggilnya Aa' dan dia menyebutku 'Neng' atau 'Gembil' padahal pipiku tidak gembil, tapi tak apa lah, sesuka hatinya Aa' Juna saja.

Terlihat mereka juga hendak masuk, aku membiarkan mereka melangkah lebih dulu sebelum menyusul dan bergegas ke dapur.

"Neng Senja, tolong kemari sebentar sambil bawakan minum untuk tamu kita," seru abah Koswara dari ruang tamu.

Aku masih duduk menatap meja dan segelas minuman segar yang kuambil dari lemari es, selesai melepas dahaga aku pun mengambil beberapa gelas air mineral untuk dibawa keluar.

"Ini anak bungsu kami, namanya Senja," ujar Abah saat aku menata gelas di meja.

Sontak aku pun tersipu, namun aku berusaha tetap tenang karena takut dianggap tidak sopan.

"Tunggu, Neng." Abah menahanku saat hendak pergi. "Tolong buatkan minum yang lain, misalnya kopi atau teh manis begitu," lanjutnya.

Aku pun memberanikan diri menatap ketiga tamu di sana. "Maaf, mau minum apa?" tanyaku perlahan.

"Ujang Juna mau minum apa? Sok aja bilang sama neng Senja," ucap Abah.

Arjuna tampak malu, aku dapat melihat jelas raut wajahnya merona.

"Aa', ditanya tuh sama Abah." Ibu Juna menepuk lengan anak bujangnya itu.

"Juna minum air aja, Mah," sahutnya malu-malu.

"Oh, kalau begitu coba buatkan kita teh manis, biasanya neng Senja pintar bikin teh. Manisnya pas dan nggak terlalu panas," ujar Abah yang memang tiap kali memberiku pujian dan membuatku semakin bersyukur menjadi putrinya.

"Ayo, Neng. Sana ke dapur buat minumannya," tukas Abah.

Aku pun mengangguk, bergegas kembali ke dapur untuk menyiapkan air panas.

Umi kebetulan tidak ada di rumah, beliau sedang menghadiri pengajian rutin di masjid dekat rumah yang hanya berjarak beberapa rumah tetangga. Mau tidak mau, aku sebagai anak perempuan harus menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai anak yang baik.

Saat sedang fokus mengaduk teh, suara seseorang menyapa telingaku dan langsung membuatku mencari presensinya.

"Punten, Neng. Toiletnya sebelah mana, ya?"

Aku terkesiap, ternyata Arjuna yang sedang berdiri tak jauh dari tempatku. Aku pun melangkah mendekatinya, menunjuk satu arah yang ia tanyakan.

"Di sebelah sana, A'." aku berseru sambil menunjukan arah secara sopan.

Dia lebih tinggi dariku, sehingga ketika berbicara dengannya aku harus mendongak agar bisa memandangi wajahnya yang sempurna.

Arjuna mengangguk, tetapi ia tidak lekas pergi dan sepertinya sedang memperhatikanku. Sumpah, aku bukan sedang merasa percaya diri, tapi hanya merasa bahwa ia memang tengah melihatku.

Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya dari samping, ada rasa deg-degan saat menunggu kalimat dari bibirnya.

"Namaku Arjuna, kamu Senja, 'kan?" Aku pun mengangguk. "Kok, diam saja? Nggak mau kenalan, ya?" lanjutnya masih memandangku.

Aku pun membalas uluran tangannya, kami berjabat tangan untuk pertama kalinya.

"Aku sering mendengar tentang kamu dari Jay," ujarnya.

"Jay?"

Aku yang merasa terkejut akhirnya membuka suara, menatapnya hingga netraku menatap jelas wajah tampan paripurna itu. Mengeja kembali nama yang ia sebut, khawatir jika yang dimaksud bukanlah orang yang sama.

"Iya, Jay. Jay Pramudya, kakaknya Elang, si Langit Biru." Arjuna menegaskan secara gamblang.

Aku kembali termenung untuk beberapa saat, mungkin Arjuna sudah berteman dengan Jay Pramudya yang notabenenya sepupuku.

"Kok, kelihatannya kamu bingung?" tanya Arjuna sembari menatapku intens. "Baiklah, aku mau bikin kamu tambah bingung, deh."

Aku semakin terbengong, lelaki ini benar-benar tidak bisa ditebak.

"Kami ke sini karena satu tujuan."

"Tujuan?"

Arjuna mengangguk. "Kita akan dijodohkan."

Netraku membulat, mungkin saking lebarnya bibir yang terbuka hingga membuat Arjuna tersenyum. Terkejut? Jelas saja, hingga lelaki itu menutup mulutku dengan satu tangannya. Di situ adalah momen pertama aku melihat senyumnya.

"Ya sudah, aku permisi mau ke toilet." Arjuna lantas berlalu dari hadapanku.

"Kok, bisa? Kita dijodohkan? Bukannya kita masih kecil?" ucapku.

Arjuna menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.

"Yang masih kecil itu kamu, kalau aku sudah remaja. Aku kelas dua belas, ya."

Arjuna mengendikkan bahunya dan kembali melanjutkan langkah.

Arjuna Senja√Where stories live. Discover now