Part 24

12 4 0
                                    


Part 24.


Tangis dan air mata kembali menghiasi hari di mana Arjuna Senja akan kembali ke perantauan, keduanya diantar ke bandara oleh Jay dan kedua orang tua lelaki itu. Seperti biasa, Arjuna Senja mendapatkan bayak nasihat dari bunda Kartiwi dan ayah Pramudya. Untung saja umi Rasti dan abah Koswara, serta kedua orang tua Arjuna tidak ikut dikarenakan sedang banyak urusan dan sering mabuk perjalanan. Jika mereka ikut, sudah pasti telinga pasutri ini akan terus berdengung mendengarkan berbagai kalimat nasihat.

Arjuna dan Senja berpamitan pada Jay, dan mereka saling berpelukan.

"Aku titip neng Senja, ya," ucap Jay dengan sepenuh hati.

Arjuna mengangguk dan mereka saling menepuk pundak masing-masing.

"Neng Senja, jaga diri baik-baik, ya!" ujar Jay yang kini berdiri di hadapan Senja.

Gadis itu mengagguk. "Kamu juga, Jay. Kita pamit, ya," ucap Senja.

Lambaian tangan menghiasi perpisahan itu, jarak dan waktu akan menjadi pemisah yang entah kapan akan kembali dipertemukan.

***

Perjalanan ke tanah rantau memang cukup melelahkan. Arjuna Senja akhirnya sampai di mess sederhana mereka, hunian khusus yang disediakan oleh perusahaan tempat Arjuna bekerja. Dalam bangunan sederhana itulah, Arjuna Senja akan kembali mengukir tabah
dan sabar setiap harinya. Demi satu tujuan, yaitu masa depan yang indah dalam bahtera rumah tangga.

Sebagai suami istri, Arjuna Senja selalu membagi tugas masing-masing sesuai porsi mereka. Arjuna yang giat mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sementara Senja bekerja di rumah demi untuk menunjang semangat suaminya. Menjadi tempat pulang yang selalu dirindukan oleh Arjuna.

Kebahagiaan tengah menyelimuti keduanya, beberapa minggu kini telah berlalu dengan hari-hari yang selalu diisi oleh canda tawa.

Pagi itu, Senja sedang memasak di dapur, kebetulan itu adalah hari libur. Biasanya, Arjuna selalu mengajak Senja jalan-jalan ke pantai, pasar atau hanya sekedar berjalan santai di sekitar tempatnya tinggal. Hingga mereka sudah cukup familiar dengan orang-orang di
lingkungannya. Arjuna melingkarkan tangan kekarnya ke pinggang sang istri yang kini
cukup berisi, menciumi pundaknya hingga menelusupkan wajahnya di ceruk leher, begitulah kebiasaannya ketika Senja sedang memasak.

"Neng Senja, masak apa? Wangi banget," seru Arjuna sambil mengendus bau masakan itu.

"Biasalah, tempe dan tahu goreng," sahut Senja yang sedang meniriskan masakannya.

"Kalau Neng yang masak, rasanya emang beda. Cuma gorengan aja bisa harum sekali dan seperti rasa daging," ucap Arjuna.

"A' Juna bisa aja, emangnya ada, ya, yang masak tahu tempe goreng rasanya beda?"

"Ada kok, Aa' nggak suka," tukas Arjuna.

"Siapa memangnya?" tanya Senja.

Arjuna terdiam seketika, Senja sudah selesai memasak dan kini berbalik menatap wajah Arjuna. Perempuan itu merangkulkan kedua tangannya ke pundak kekar sang suami.

"Aku mau tanya sama a' Juna, ada nggak makanan luar yang rasanya lebih enak dari masakanku?" Arjuna lantas menggeleng. "Beneran? Padahal setiap hari aku suka khawatir, a' Juna sering makan di luar. Jangan-jangan makanan di sana lebih enak dari masakanku?" ujar Senja sambil mengeluh.

Arjuna tertegun, bibirnya mengatup rapat menggeleng beberapa kali. "Nggak ada yang lebih pintar masak dari neng Senja," ucapnya yang kemudian memeluk istrinya dengan erat.

Keduanya makan siang bersama, Arjuna tersenyum bahagia melihat Senja menyantap dengan lahap. Memang jika diperhatikan, akhir-akhir ini istri ciliknya itu selalu makan banyak hingga postur tubuhnya juga berbeda. Semakin berisi, sepertinya berat badannya bertambah beberapa kilo.

Arjuna ingin sekali menyuruh Senja untuk menimbang berat badan, tetapi ia enggan berterus terang lantaran khawatir istrinya itu akan merasa tersinggung.

"A' Juna nggak makan?" Senja bengong memandangnya.

"Aa' sudah kenyang," ucap Arjuna.

Senja kembali mengunyah makanan hingga mulutnya mengembung, tatapannya kini tertuju pada lauk pauk yang masih tersisa di piring Arjuna.

"Yuudah, sini biar aku habiskan." Ia mengambil sisa makanan itu dan menghabiskanya.

"Oya, a' Juna malam ini makan di rumah, 'kan? Nggak ada acara makan-makan lagi sama teman-teman atau kalau ada acara makan di luar. Hari ini aku bersedia ikut, mumpung sedang semangat," ujar Senja.

Arjuna terdiam cukup lama, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Oh, apa nunggu ditelepon dulu, ya, seperti biasa? Nungguin kabar gitu dari teman-teman?" sambung Senja.

Arjuna semakin terdiam, Senja hanya menghela napas karena merasa diabaikan. Memang akhir-akhir ini Arjuna cukup berbeda, atau mungkin itu hanya perasaanya saja. Ponsel Arjuna tiba-tiba berdering.

"Tuh, 'kan, baru saja diomongin malah udah berdering," seru Senja yang merasa tepat dengan tebakannya.

Telepon itu berdering sampai berkali-kali, tapi Arjuna tidak juga menjawabnya.

"A' Juna, kok teleponnya nggak dijawab, kenapa?" Senja merasa heran, kemudian mendekat ke samping suaminya tetapi Arjuna dengan cepat meraih ponsel dan mematikan panggilan itu.

"Nggak penting, Neng," tukasnya.

Tidak lama, dering itu kembali terdengar sampai Arjuna menatapi layar ponselnya cukup lama karena di sana menunjukan penelpon atas nama Sarah.

"Siapa sih, A'?" tanya Senja yang masih merasa heran.

Arjuna lantas menolaknya dan memilih menonaktifkan ponsel.

"Paling juga orang iseng, udah ah nggak penting." Ia meletakkan ponselnya ke atas meja dengan cukup kasar, hingga Senja terkejut oleh gelagat suaminya.

"Mungkin saja itu fansnya a' Juna?" celoteh Senja.

Arjuna mengernyit memandangnya. Dengan raut polos, Senja Prameswari kini sedang menggoda Arjuna.

"Ciieee ... sekarang udah punya banyak fans, ya?" serunya.

"Apaan sih, neng Senja?" sanggah Arjuna merasa malas meladeni.

Senja menyunggingkan bibir. "Biarin aja, nggak akan cemburu," ucapnya.

Arjuna memandangnya dan dapat menangkap raut menyebalkan dari istrinya itu.

"Apaan sih? Mulai deh, cemburuan!" seru Arjuna.

"Ih, siapa juga yang cemburu?" Senja menjauh darinya.

"Neng Senja mau ke mana?" seru Arjuna.

"Ke mana saja, bebas," sahut Senja terdengar ketus.

"Yaaah ... kok jawabnya gitu?"

"Nggak tahu, ah, gerah," sahut Senja dengan nada yang semakin ketus.

"Neng Senja ...." Arjuna memanggilnya, tapi Senja hanya menoleh sesaat dan mengendikkan bahu. Ia mempercepat langkahnya.

Arjuna merasa gemas sendiri karena diabaikan, ia lalu bergegas mendekati Senja hingga wanita itu semakin menjauh darinya.

"Mau ke mana, hah?" protes Arjuna.

"Ma-mau ke kamar," sahut Senja sampai terbata-bata ketika Arjuna mulai mendominasi dan merapatkannya hingga ke pintu kamar.

"Ayok, a' Juna anterin ke kamar." Arjuna pun menggendong Senja ala bridal style.

"Ah, nggak mau." Senja menolaknya dengan manja.

"Harus mau atau kalau nggak, Aa' kasih hukuman nih." Arjuna tetap menggendongnya sampai ke arah tempat tidur.

"Udah turunin." Senja meminta turun.

"Nggak." Arjuna menggeleng. "A' Juna mau kasih hukuman aja," tukasnya sambil mengeluarkan smirk.

"A' Juna." Senja terperangah.

Jika sudah begitu, Senja tidak dapat berkutik dan hanya pasrah membiarkan suaminya menjamah sesuka hati.

Sampai sore hari, senja di langit sudah terlihat membentang indah di ufuk barat. Senja terbaring, merasa lelah di bawah selimut, sementara Arjuna telihat tengah bersiap dan sudah berpakaian rapih.

"A' Juna, mau ke mana?"

Tiba-tiba ponselnya kembali berdering, Arjuna pun sontak menjawabnya.

"Iya, tunggu, aku segera ke sana," pungkasnya.

Senja hanya mampu menatap suaminya yang kini mendekat untuk mengecup keningnya.

"A' Juna harus pergi, sebentar saja, biasa mau makan di luar," ucapnya.

"Aku ikut," ucap Senja.

Arjuna tampak tertegun tak lantas menjawabnya. "Emangnya Neng nggak capek?" Senja menggeleng secara perlahan.

Arjuna tampak bingung. "Aku mandi dulu, ya?" tanya Senja hingga membuat Arjuna terpaku.

Senja menahan senyuman tapi akhirnya tertawa jua.

"Hahaha ... a' Juna lucu sekali. Iya, hati-hati, suamiku, Sayang. Aku nggak akan ikut kok, aku capek," ujar Senja dengan bibir yag cemberut.

Arjuna mengukir senyuman dan kembali mengecup keningnya.

"A' Juna rapih sekali, semakin tampan, semakin wangi pula. Suaminya siapa sih?" seru Senja yang hobi menggoda suaminya itu.

"Suaminya neng Senja," sahut Arjuna dengan sumringah.

Senja menggigit sedikit bibir bawahnya karena merasa gemas sendiri oleh penuturan suaminya.

"Dah ... Sayang, Aa' pergi dulu ya."

"Iya iya .... cepetan pergi, nanti pacarnya marah-marah," celetuk Senja, membuat Arjuna terpaku seketika.

"Kenapa?" tanya Senja dengan raut datar.

"Curiga lagi?" tanya Arjuna.

"Nggak." Senja menggeleng.

"Mau dihukum lagi?" tawar Arjuna dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Mau .... " Senja mengulum senyuman dan memeluk suaminya itu.

"Nakal..." Arjuna menepuk bokong ranumnya yang bulat. "Cepat mandi," tukasnya sambil meremas salah satunya.

"Aww, jangan pulang malam-malam, ya. Nanti akan ada pembalasan dariku," ucap Senja dengan memberinya seringai, sampai Arjuna terperangah.

"Haha, udah sana hati-hati."

Senja menjauh, menutup tubuhnya dengan selimut seperti memakai handuk. Arjuna pergi setelah memastikan Senja menutup pintu rumahnya dengan rapat.

***

Arjuna merasa bimbang, hatinya selalu merasa bersalah setiap hari terutama pada istrinya Senja Prameswari.

Ia sudah sampai di hunian Pak Sardi yang kini hanya ditempati oleh putrinya, Sarah. Wanita itu membuka pintu.

"Mas Juna!" serunya dengan raut sumringah.

Arjuna tampak datar dan melangkah masuk ke dalam rumah, Sarah memandunya hingga ke ruang makan yang sudah tersedia beberapa menu makanan di atas meja.

"Bibi sudah masak dari tadi, aku ingin masak tapi takut mas Juna nggak suka," ujar Sarah yang kini duduk di kursinya, begitupun dengan Arjuna.

Arjuna menoleh ke sana ke mari. "Bibinya mana?"

"Bibi udah pulang, karena hari ini hari minggu jadinya kubiarkan pulang, deh."

Arjuna mengernyit karena merasa tidak nyaman mendengar nada bicaranya yang selalu manja.

"Mas Juna, pasti sedang sibuk, ya, bareng neng Senja? Aku telepon berkali-kali malah nggak diangkat," ucap Sarah dengan raut melas.

Arjuna berpaling, jika sedang bersama Sarah, ia sama sekali tidak ingin menyinggung sang istri. Lantaran tidak ingin mengingat dosa karena telah membohongi Senja, bahwa dirinya menikah lagi dengan Sarah. Meskipun pernikahan itu ia lakukan secara terpaksa.

"Lebih baik cepat makan, karena aku harus cepat pulang," tukas Arjuna.

Sarah tampak cemberut tapi mengikuti permintaan laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.

"Mas Juna, kapan mas Juna mau menginap di sini?"

"Uhukk! Uhukk!" Arjuna tersedak oleh minuman.

Sarah bergegas mendekat dan menepuk punggung lelaki itu, tapi Arjuna segera menepisnya.

"Kuharap, kamu tidak berharap lebih pada hubungan ini," ucap Arjuna dengan tegas.

Sarah terdiam menatapnya, Arjuna beranjak dari duduknya dan menjauh dari hadapan Sarah.

"Kenapa? Bukan muhrim? Bukankah kita sudah suami istri?" tanya Sarah.

"Sarah!" tegas Arjuna.

"Selama ini aku selalu mencoba untuk menjadi istri yang baik untukmu mas Juna, apakah salah jika aku berharap kalau suamiku tidur denganku dan menemani malam-malamku?"

"Sarah."

"Papa pernah bilang padaku, kalau mas Juna adalah sosok suami yang ideal. Sudah pasti bisa adil, aku menginginkan keadilan itu darimu, Mas."

Sarah lalu mendekat dan menatapnya dengan intens, tapi Arjuna sontak menghindar tidak ingin melakukan kontak mata denganya.

"Tatap aku, Mas, pandang aku. Bukakah aku ini istrimu, berapa lama lagi kamu akan mengabaikanku? Apakah selama ini kita belum cukup dekat? Hampir tiga bulan kita menikah, selama itu, pintu hatiku telah terbuka untukmu mas Juna."

Arjuna kini menoleh hingga kedua manik mereka saling bertautan, Sarah semakin mendekat dan menyentuh kerah baju Arjuna dengan erat.

"Bawa aku menemui neng Senja, bicarakan tentang hubungan kita. Aku berjanji, aku akan menjadi istri kedua yang baik. Aku tidak akan menyakitinya, aku akan menghormatinya seperti adik, seperti kakak. Kita bisa hidup rukun, Mas," ujarnya dengan sepenuh hati.

Arjuna lalu berpaling, hatinya terasa begitu sesak karena sepertinya selamanya ia harus
berusaha mengumpulkan kekuatan dan keberanian agar dapat mengungkapkan pernikahan sirihnya dengan Sarah pada Senja.

Sarah menyentuh pundak Arjuna secara perlahan. "Aku tahu, neng Senja itu wanita yang baik. Dia mengerti banyak tentang agama, aku yakin, kalau neng Senja bisa menerima hubungan kita."

Arjuna kembali menoleh dan menatapnya dengan intens. "Kapan mas Juna akan bawa aku ke rumah mas Juna?" tanya Sarah tanpa ragu.

"Hentikan omong kosong ini!" tegas Arjuna.

Arjuna pun bergegas pergi dan mengabaikan Sarah yang terus memanggilnya untuk tetap tinggal.

Tepat pukul 10 malam, Arjuna sudah sampai di mess dan masuk ke dalam rumahnya dengan kunci cadangan. Mendengar ada suara di dapur, ia bergegas mendekat dan bersiaga. Arjuna cukup terkejut karena suara itu diciptakan oleh istrinya Senja yang ternyata belum tidur.

"Neng Senja sedang ngapain?" Senja menoleh seketika.

"A' Juna udah pulang?"

Arjuna mendekat dan mengambil alih aktivitas Senja yang sedang membuat mie rebus.

"Neng Senja belum makan?"

"Aku udah makan, tapi akhir-akhir ini perutku sering lapar kalau malam hari, ya, siang juga jadi gampang lapar. Kenapa, ya?" ucap Senja yang tampak berpikir.

"Pantes aja badannya jadi gemuk gitu," celetuk Arjuna, "siang malam makannya double," tuturnya.

"A' Juna ngomong apa barusan?" Senja berkacak pinggang di hadapannya.

"Ah, nggak, a' Juna nggak ngomong apa-apa." Arjuna mengelak.

"Aku gendut?" Senja menatap nanar.

Arjuna menggeleng dengan mengulum senyuman. "Seksi," ucapnya.

Senja cemberut dan berpaling. "Aku harus diet berarti," gumamnya.

"Ehh, nggak usah diet, nanti jadi kurus gimana? Nanti orang-orang ngira
neng Senja nggak bahagia, bisa-bisa orang di kampung malah ngomongin kita lagi," ujar Arjuna.

"Iya, nanti kata orang-orang gini, aduh si Senja kok badannya sekarang jadi kurus, ya? Cungkring, jangan-jangan si Junanya kawin lagi," ujar Senja sambil meledek.

Senja lantas tertawa setelah mempraktekkan ledekan itu, tetapi Arjuna kini terpaku dan memilih bungkam.

"Hm, mienya udah matang, Sayang. Mau pakai telur nggak?" tawar Arjuna yang sengaja mengalihkan suasana.

Senja menggeleng. "Kalau a' Juna mau pakai telur, boleh-boleh aja. Nanti makannya barengan, ya."

Arjuna menambahkan telor pada mie rebus agar ia bisa makan bersama Senja, mie rebusnya sudah tersaji dan keduanya menyantap mie itu dengan sama rata.

"A' Juna, rasanya udah lama, ya, kita nggak makan malam bareng?" celoteh Senja.

Arjuna hanya bisa mengangguk, ia menyadari bahwa setelah menikahi Sarah bahkan selama Senja kembali ke Kalimantan. Ia memang belum pernah lagi makan malam di rumah, karena waktu makan malam selalu ia pergunakan untuk menemui Sarah.

"Neng Senja, maafin aku, ya," ucap Arjuna.

Senja kini menatapnya. "Kenapa minta maaf?"

Arjuna menundukkan wajahnya lalu menggeleng. "Maafin aku, karena sudah semakin jarang ngebahagiain neng Senja," lirihnya.

"Loh ... kok gitu?" Senja beranjak dari duduknya dan mendekap Arjuna dari samping, sampai Arjuna memeluk pinggang rampingnya.

"Hanya karena kita jarang makan malam bersama, bukan berarti aku nggak bahagia dong, A'. Aku ngerti, a' Juna sibuk, aku juga ngerti a' Juna pengen bareng teman-teman. Sebagai istri, aku akan mendukung suamiku setiap hari dan memastikan segala kebutuhannya tercukupi. Kalau a' Juna merasa kurang, aku harap a' Juna ngomong, ya, terus terang aja sama aku." Senja mengatakan itu dengan panjang lebar.

Arjuna menengadah menatap wajah istrinya. "Makasih, ya, Sayang, karena selalu ngertiin aku," lirihnya.

Senja tersenyum dan menangkup wajah tegasnya.

"A' Juna sayang banget sama neng Senja. Kamu harus tahu, apapun yang
terjadi, kasih sayang dan cinta a' Juna cuma buat neng Senja," tuturnya.

"Emangnya mau buat siapa lagi?" Senja mengukir senyuman.

Arjuna terenyuh hingga tidak dapat berkata-kata, Senja masih berseri-seri dan memeluknya. "A' Juna kesepian nggak sih?" Arjuna hanya menggeleng di dalam pelukan.

"Kapan, ya, kita dikasih kepercayaan?" ucap Senja.

Arjuna pun menatapnya. "Kapan, ya, kita punya anak? Aku bisa bayangin, pasti bayi kita lucu, kalau anaknya laki-laki akan tampan seperti a' Juna dan kalau perempuan akan cantik seperti aku." Senja tampak tersipu malu.

"Sabar, ya, Sayang." Arjuna menyelipkan anak rambut Senja ke belakang telinga.

Senja menggeleng dengan bibir yang cemberut. "Aku nggak mau sabar lagi," tukasnya.

Arjuna mengernyit, Senja duduk di pangkuan Arjuna dan menatap maniknya dengan intens.

"Malam ini, aku ingin main sampai puas," ucapnya dengan seduktif.

Arjuna menatap intense, Senja merangkul pundaknya dan menelusupkan wajahnya pada ceruk leher suaminya, lalu berbisik dengan mesra di rungunya.

"Puasin aku, a' Juna," bisiknya.

Arjuna terkesiap, tatapannya semakin intense, mana mungkin ia mengabaikan kesempatan itu. Ingin melabuhkan segala rasa, melupakan rasa bersalahnya dan menggantinya dengan mencurahkan kasih sayang lewat keintiman yang tercipta.

Arjuna Senja√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang