Arjuna Senja 9.

14 5 0
                                    


Arjuna Senja 9.


Pagi-pagi sekali, Senja Prameswari sudah bangun. Memang rutinitasnya setiap hari dimulai dari bangun pagi. Setelah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, ia pun bergegas pergi ke dapur untuk membantu ibunya.

"Neng, udah siap?"

Umi Rasti sedang sibuk menyiapkan makanan ke dalam rantang susun yang akan dibawa Senja untuk mengunjungi mertuanya, sekaligus suaminya Arjuna yang memang berbeda kampung dengan mereka.

"Sini, Umi, biar Senja bantuin. Mau bawa apa saja buat mama dan bapak?"

Senja pun tak lantas diam, ia kemudian menyiapkan wadah lainnya untuk tempat makanan.

Ada sayur, lauk pauk, sambal lengkap dengan lalapannya. Maklumlah, hidup di kampung memang kurang nikmat rasanya jika makan tanpa sambal dan lalapan, tak lupa beberapa buah-buahan hasil dari kebun langsung yang masih segar-segar. Lumayan untuk dijadikan rujak saat cuaca yang cukup menyengat setiap harinya.

"Neng, tapi berangkat sendiri, nggak apa-apa, 'kan? Soalnya Umi dan Abah mau pergi kondangan!"

Senja lantas mengangguk. "Iya, nggak apa-apa, Umi."

"Sebenarnya Umi bisa saja telepon Arjuna untuk jemput kamu, tapi umi nggak enak hati. Mungkin saja, menantu Umi itu sedang istirahat. Sedang liburan kuliah, masa' Umi gangguin," celoteh umi Rasti sedikit mengeluh pada Senja.

"Ya ampun, Umi. Udah nggak apa-apa, Senja bisa kok sendirian ke rumah A' Juna!" Gadis itu pun kembali mengangguk untuk meyakinkan ibunya.

"Atau umi telepon saja kakakmu? Biar salah satu dari mereka anterin kamu, gitu?"

Senja menggelengkan kepalanya secara perlahan dan kembali meyakinkan ibunya.

"Nggak, Umi. Ayo, sebaiknya Senja harus buru-buru. Takut A' Juna keburu makan siang, nanti gimana dong makanan yang udah Umi siapin ini, 'kan mubazir kalau nggak dimakan."

Senja bergegas memasukan rantang susunnya ke dalam shopping bag dengan rapih.

"Yaudah, anak perawan Umi hati-hati, ya!" seru umi Rasti sambil mengusap pipi gembil Senja yang tampak merona. "Eh, anak Umi beneran masih perawan nggak sih?"

Pertanyaan itu sontak membuat wajah Senja semakin merona.

"Umi, apaan sih? Umi nggak percaya sama kita?" Senja pun tersipu malu di hadapan ibunya.

Jarak perjalanan dari rumah Senja ke rumah Arjuna memang cukup jauh. Melewati hamparan sawah, kebun rambutan dan kebuh tebu. Namun, semua itu tidaklah masalah, karena mereka yang tinggal di perkampungan itu memang sudah terbiasa melewati jalanan yang juga cukup membuat tubuh menjadi pegal-pegal.

Senja pun sampai di rumah Arjuna setelah menempuh sekitar 30 menit perjalanan. Gadis yang telaten, ia tidak merasa terbebani sedikit pun oleh barang bawaannya dan juga tidak ingin merepotkan orang lain. Membawa makanan secara hati-hati, lalu menutup kembali gerbang setelah memarkirkan si hitam Deluxe diantara motor-motor gede yang sudah lebih dulu berjejer di sana. Sepertinya sedang ada tamu, pasti siapa lagi kalau bukan teman-temannya Arjuna yakni Saga, Jona, Elang dan Aerlangga.

Senja masuk ke dalam rumah Arjuna.

"Assalamualaikum."

Benar saja, di ruang pertama masuk sedang berkumpul pemuda-pemuda yang disebutkan tadi.

"Walaikumsalam." mereka pun serempak menjawab.

"Neng, bawa apaan itu?"

Elang lantas menyambut Senja dengan sumringah, pemuda itu memang selalu gesit untuk mendekat.

"Ini, aku bawa titipan dari Umi."

Senja menaruh shopping bagnya yang berisikan makanan di dalam rantang susun.

"Deuh ... buat Elang mana?" Pemuda itu lantas cemberut.

Emang kebiasaannya yang kerap kali bersikap sedikit childish.

"Tenang saja, Umi juga udah nyiapin titipan buat ayah dan bunda," ujar Senja.

"Asiikk!" Elang spontan sumringah dibuatnya.

Senja menoleh kesana kemari, di ruangan itu hanya ada Saga yang sedang bermain gitar dan Jona yang sibuk ngegame di ponselnya, serta Aerlangga yang tengah sibuk teleponan.

"Aa' di mana?"

"Aa' yang mana? Ini banyak Aa' di sini?" sahut Jona yang kini menoleh pada Senja.

Saga hanya mengulum senyuman mendengarnya, tapi pandangannya beralih pada keduanya, Jona dan Senja.

Senja berdecak. "Aa' Juna, Aa'nya Neng!" Sahutnya yang kemudian mengambil kembali shopping bag tadi.

"Aa' sedang mandi," ujar Saga.

Senja mengangguk. "A' Saga udah sembuh, ya?" serunya, wajahnya tampak polos hingga membuatnya semakin terlihat menarik. Saga lantas mengangguk dengan pandangan mata tertuju pada Senja.

"Sini, biar Elang bantu!" Elang membawakan shopping bag di tangan Senja.

"Awas, pelan-pelan, takut jatuh, tar makanannya pada tumpah."

"Tenang aja."

Keduanya pun pergi ke dapur.

Jona lantas tertawa dan menoleh pada Saga.

"Kamu lihat nggak tadi raut wajah neng Senja?"

"Kenapa sih, lo demen banget ngeledeknya?" Saga meloloskan pandangannya pada Jona seraya menyudahi petikan pada senar gitar.

"Haha ...." Jona semakin tertawa karenanya.

"Si Jona emang gitu dih, awas, ya! Jangan sampe keterlaluan meledek Senja, apalagi di hadapan si Jay. Untung saja, Jay sedang nggak ikut gabung," celoteh Aerlangga yang kini duduk di samping Jona setelah menyelesaikan perbincangannya di telepon.

Pemuda tampan, alis tebal dan hidung mancung, berkulit sawo matang itu pun menepuk pundak Jona yang lantas kembali tertawa sesuka hati.

"Iya, ngomong-ngomong si Jay ke mana, sih?" Aerlangga kembali bertanya.

"Jay sedang ada urusan bareng si Lingga, katanya mau nyari baju-baju buat acara apa gitu," ujar Saga.

Tidak lama kemudian, Arjuna keluar dari kamarnya hanya memakai handuk melingkar menutupi pinggangnya sampai lutut layaknya pria sesudah mandi serta handuk kecil yang menggantung di pundaknya.

Sambil mengusak rambut basahnya dengan handuk kecil itu, Arjuna lantas bertanya pada ketiganya.

"Ada apaan sih? Perasaan kalian berisik banget, deh?"

Ketiganya pun menoleh pada Arjuna.

"Ada neng Senja," sahut Saga.

"Hah? Si Neng ada di sini? Kapan? Di mana?" Arjuna menoleh ke sana ke mari.

"Si Neneng ada di dapur tuh bareng si Elang," ujar Aerlangga yang kemudian beranjak dari duduknya untuk menghampiri Elang dan Senja ke dapur.

Di dapur itu, Elang dan Senja sedang sibuk merapihkan makanan di atas meja makan. Kebetulan orang tua Arjuna sedang tidak ada di rumah, mereka sedang pergi ke sawah.

"Elang, bantuin rapihin di sini, ya, aku mau masukin nasi timbel ke dalam penghangat nasi."

Senja membawa beberapa kepal nasi timbel yang sudah dibungkus rapih oleh daun pisang dan memasukannya ke dalam rice cooker.

"Ciiee ... berdua aja, Angga nggak diajak," ujar Aerlangga yang kini mendekat pada Elang dan Senja.

"Apaan sih? Cie-cie aja. Najis luh!" Elang menyahut, membuat Aerlangga tertawa renyah karenanya.

"Aer, kamu mau bantuin apa? Aer, A' Saga dan A' Jona kalau mau dibuatin kopi, bilang aja sama aku." Pemuda itu lantas bengong

Itu memang menjadi kebiasaannya, selalu ngeleg kalau diajak bicara. Sangat berbeda kalau diajak ngobrol di telepon seperti beberapa saat yang lalu, lancar jaya tanpa hambatan. Maklum lah, sedang mengungkapkan kemahirannya dalam menggaet gadis incaran.

"Yeeh, si Aer mah gitu, dih, ditanya tuh malah ngebug, malah ngebangke!" Elang bergegas mendekatinya kemudian menepuk pundak Aerlangga. "Jawab atuh," tukasnya.

"Iya, mau." Aerlangga langsung menjawabnya.

"Mau apa kamu, teh?"

"Mau kopi. "

"Yaudah cepetan tanyain ke A' Saga dan A' Jona juga," titah Elang pada Aerlangga.

Aerlangga pun bergegas untuk menyampaikan pertanyaan itu.

"Dasar si ngelag," tukas Elang dengan nada ejekan.

"Sudah, Elang. Bukannya sama aja, ya?" tanya Senja.

"Sama apanya nih?"

Elang bertanya-tanya, raut wajahnya tampak bingung dan sedang menerka-nerka.

"Sama-sama ngeleg kalau diajak ngobrol," sahut Senja sambil menyibukan diri untuk melanjutkan aktivitasnya barusan.

Arjuna Senja√Where stories live. Discover now