Arjuna Senja 6.

12 5 0
                                    


Arjuna Senja 6.

Pagi-pagi sekali, Senja sudah pergi ke sekolah. Hari ini ia tidak mampir terlebih dulu ke rumah Arjuna ataupun ke rumah Elang untuk berangkat bersama seperti biasanya, dikarenakan hari itu adalah hari upacara rutin yang dilakukan seminggu sekali. Senja harus ikut bergabung bersama Palang Merah Remaja dan menyiapkan beberapa hal khususnya obat-obatan.

Hingga menjelang pulang sekolah, Senja dan Elang hanya menghabiskan waktu di kelas saja. Hari itu terasa menguras banyak energi bagi Senja, lantaran ia sudah banyak mengurusi orang sakit selama upacara berlangsung.

"Neng Senja, hari ini mau latihan Jaipongan, nggak?" Elang duduk di sampingnya.

"Kayaknya nggak deh, aku merasa nggak enak badan, besok-besok aja, ya?" Senja terlihat sedikit murung.

Elang menyentuh kening Senja dan dapat merasakan suhu tubuhnya yang hangat.

"Kalau begitu Elang anterin pulang, ya? Neng sepertinya beneran sedang gak enak badan, deh. Neng pasti demam, ketularan orang yang sakit waktu upacara," ujar Elang khawatir.

Senja menggeleng, "Nggak usah, Elang. Aku bisa pulang sendiri, Elang 'kan harus latihan. Tolong bilangin, ya, ke guru tari kalau aku izin dulu, gitu."

"Neng beneran nggak mau dianterin pulang? Atau Elang telepon a' Jay untuk jemput neng Senja?"

Senja kembali menggeleng, "Nggak usah, aku 'kan bawa motor sendiri!" tukasnya.

Elang sedikit menghela napas, kemudian menyentuh kembali kening Senja. "Yaudah, jangan lupa langsung istirahat, ya, Neng!"

Senja pun akhirnya berpamitan untuk pulang lebih dulu tanpa mengikuti latihan menari. Dalam perjalanan pulang, perasaan Senja tidak enak karena sedari tadi seperti sedang diikuti oleh seseorang. Ada dua orang pengendara motor, mereka terus mengikuti Senja. Bahkan kalau tidak salah, Senja sudah melihat kedua orang itu semenjak ia beranjak dari sekolah.

Senja pun melajukan motornya lebih cepat agar bisa menjauh dari kedua orang itu. Namun, mereka juga ikut menambah kecepatan, terus seperti itu hingga beberapa kali. Sampai tepat di jalanan yang sepi, sepanjang jalan yang melewati kebun rambutan. Kedua pengendara motor itu mulai beraksi. Satu pengendara memepet Senja hingga ke pinggir jalan, satu pengendara lagi sengaja menghalangi di depan jalan yang akan dilalui oleh Senja. Hal itu terjadi hingga beberapa saat sampai motor yang Senja kendarai hampir terperosok di sekitar persawahan.

Untuk menghindari itu semua, Senja pun membanting setir hingga ke tengah jalan sampai motornya berguling dan Senja ikut terjatuh mencium aspal jalan yang dipenuhi oleh beberapa kerikil bebatuan. Ia terluka di beberapa bagian lengan dan wajah serta kedua lututnya terlihat berlumuran darah.

"Aaww!" Senja memekik cukup keras.

Kedua pengendara motor itu hanya berhenti sesaat, kemudian membuka sedikit helmnya dan menyerukan beberapa kata kasar.

"Haha ... puas. Rasain lu!"

Mereka pun tertawa terbahak-bahak, pergi meninggalkan Senja seorang diri di jalanan yang kebetulan sepi.
Senja mulai menangis, sambil merapihkan dirinya. Motornya mengalami sedikit kerusakan, helm yang sebelumnya disimpan kini menggelinding entah kemana. Pipinya menjadi perih karena air mata mulai membasahi bagian yang terluka.

Senja memandangi kedua telapak tangannya yang berdarah, bahkan ia bisa melihat ada beberapa kerikil yang menancap di sana. Ia semakin menangis karena rasa perih itu kini menjalar di tubuhnya.

"Abah ...." Ia merengek tanpa seorang pun yang dapat mendengarnya.

Senja hanya duduk di pinggir jalan, membiarkan motornya tergeletak. Sementara ia terus menangis, berharap akan ada seseorang yang melewati jalanan itu.

Namanya orang panik dan terluka, memang kerap kali sedikit jauh dari kesadaran. Padahal, Senja bisa saja menghubungi seseorang, tapi ia hanya menangis mengabaikan apapun di sekitarnya.

"A' Juna ...." ia terus merengek memanggil beberapa nama yang diingatnya.

Keberuntungan selalu menyertainya. Untung saja ada sebuah mobil gerobak yang melewati jalanan itu.

Mobil yang mengangkut alat-alat panggung untuk organ tunggal, ternyata ada Jona di dalamnya. Mobil pun berhenti tepat di seberang jalan, Jona dan beberapa orang sontak keluar untuk menghampiri Senja.

"Neng Senja?" Jona tercengang melihatnya.

Sementara Senja masih menangis dan sepertinya sudah pasrah dengan keadaannya. Jona dapat melihat dengan jelas, bagaimana penampilan Senja saat itu. Rok panjang yang sobek, kerudung yang terpasang berantakan, serta luka di beberapa bagian yang mengeluarkan darah disertai kotoran tanah dan kerikil.

"Kamu kenal, Jona?" Tanya pria dewasa di sebelahnya.

"Iya, Mang. Ini neng Senja, istri temanku," sahut Jona.

"Ya Allah, atuh si Neng kunaon? Kenapa jadi begini?" Paman Jona mencoba bertanya motif kejadian pada Senja, tapi yang bersangkutan tidak jua meredakan tangisnya.

"Ya udah atuh, mendingan kita anterin pulang aja," tukas Paman Jona.

"Ayo, Neng!" Jona merangkul Senja secara hati-hati.

Sementara yang lainnya membantu mengurus motor dan mengambilkan tasnya, mereka berhasil menemukan helmnya yang berada jauh hingga beberapa meter dari tempat kejadian.

Senja duduk di depan bersama Jona dan pamannya Jona yang menyetir mobil gerobak itu. Sementara dua orang lainnya mencoba menyalakan motor yang untungnya masih hidup walaupun dalam keadaan sedikit rusak di bagian depan dan samping.

"Neng, ini harus diobati, kita ke rumah sakit aja, ya? Nanti tinggal telepon abah dan umi," tawar Jona.

Senja menggeleng, "Neng, mau pulang aja." Ia pun lantas kembali merengek dan menangis tersedu-sedu.

Jona mengusap pundak Senja secara perlahan, lalu meraih sebotol air mineral yang selalu tersedia di bagian pintu mobilnya.

"Udah, mending Neng minum dulu!" Jona memberikan air mineral itu pada Senja.

Senja pun meraihnya dan meneguknya secara perlahan, ia kembali memekik lantaran di bagian bibirnya juga terdapat luka sampai ke dagu.

"Aduh ...." Senja kembali menangis.

"Ya ampun, kalau Aa' Juna tahu, gimana coba?"
Senja hanya merengek tanpa menghiraukan ucapan Jona.

Arjuna Senja√Where stories live. Discover now