Part. 18

19 5 0
                                    


Arjuna Senja 18.

Satu tahun sudah Arjuna dan Senja di peratauan, kebetulan saat itu mulai memasuki bulan Ramadhan. Momen pertama mereka menjalankan puasa jauh dari kedua orang tua, meski demikian Senja tetap semangat menjalani kewajibannya sebagai istri dan menemani suaminya dalam suka maupun duka.

Menyiapkan segala kebutuhannya, dari makan sahur sampai berbuka puasa. Sudah menjelang maghrib, Senja sibuk menyiapkan beberapa makanan untuk dihidangkan sebagai menu buka puasa. Ada kurma, makanan sunnah di bulan Ramadhan, takjil yang ia buat sendiri yang tak lupa dibaginya ke beberapa tetangga mess. Gorengan seperti bakwan dan tahu goreng, minuman sirup yang segar dan lauk pauk untuk makanan selanjutnya.

Tinggal menunggu Arjuna pulag ke rumah. Setibanya di rumah, Arjuna pun bergegas duduk untuk menikmati sajian yang sudah disiapkan. Memimpin doa berbuka puasa, kemudian meneguk air mineral yang menyegarkan dahaganya.

"Alhamdulillah!"

Keduanya seraya mengucap syukur atas nikmat yang telah dirasakan hari ini.

Arjuna menyantap tiga butir buah kurma yang manis, semanis istrinya--Senja Prameswari yang kini tengah menyuguhkan teh manis hangat tepat ke hadapan suaminya.

"Diminum, A', teh manisnya mumpung masih hangat," ucap Senja.

Arjuna pun meneguknya secara perlahan, merasakan hangat dan manis yang pas di tenggorokan.

"A' Juna, aku udah beli tiket pesawat untuk mudik. Tiketnya bisa ditukar uang dan diganti hari, tapi cuma maju atau mundur satu hari saja, gimana?" ucap Senja.

Arjuna pun mengagguk, kemudian meraih pinggang istrinya dan membawanya agar duduk di pangkuannya.

"Makasih, ya, Sayang. Kamu udah udah urusin semuanya, maaf a' Juna terlalu sibuk sampai nggak sempet bantu ngurus tiket pesawat untuk kita mudik."

Senja merangkul pundak Arjuna. "Nggak apa-apa, A'. Aku ngerti, kok, a' Juna, 'kan sibuk. Jadi, selama aku bisa urusin sendiri, aku nggak akan nyusahin suamiku ini," ujarnya sambil mengelus-elus pipi tampan yang mulus itu.

Arjuna tersenyum bahagia. "Udah buka puasa, udah makan kurma yang manis." Arjuna pun mencium salah satu pipi istrinya dengan gemas. "Tinggal si manisnya Aa' ini belum dibuka," sambungnya.

Senja mengulum senyuman, "A' Juna mending mandi dulu, gih. Habis itu kita sholat maghrib," pintanya.

"Setelah itu?" tutur Arjuna dengan menatap wajah istrinya hingga Senja tersipu malu.

"Setelah itu, neng Senja mandi basah bareng Aa', ya." Arjuna mencium kening dan memeluknya. "Kangen!" gumamnya sambil mendekap dengan erat.

💘💘💘

Tinggal beberapa hari saja, Arjuna dan Senja akan mudik ke tanah Jawa. Sudah tidak sabar rasanya mereka ingin bersua dengan keluarga dan berkumpul bersama teman-teman.

Arjuna sedang sibuk-sibuknya. Selain harus menyelesaikan banyak pekerjaan, ia pun harus dapat memastikan agar semuanya benar-benar terkendali. Dari jabatannya sekarang, ia jadi sering berdiam diri di dalam ruangan sembari memeriksa beberapa data dan laporan. Hanya sesekali ia keluar ke lapangan untuk mengecek apa yang ia butuhkan dan memastikan kinerja pekerja harus maksimal.

Berdekatan dengan ruangan pak Sardi, membuatnya juga cukup dekat dengan atasannya itu. Bahkan, bisa dibilang Arjuna lah yang lebih dekat bila dibadingkan dengan staf yang lainnya. Tak heran, pak Sardi juga kerap menceritakan beberapa masalahnya, termasuk tentang Sarah. Pria paruh baya itu seakan sudah tidak segan lagi untuk membuka beberapa aib putrinya, selain selamat dari overdosis ternyata Sarah juga mengalami keguguran yang mengakibatkan wanita itu sedih bukan kepalang. Membuat Arjuna cukup terkejut mendengarnya.
Pak Sardi juga kerap kali mengajak Arjuna untuk buka puasa bersama, kadang mengajak Senja dan Sarah dan kadang hanya berdua saja.

Kali ini, pak Sardi mengajak kembali Arjuna ke rumahnya untuk berbuka bersama. Hanya mereka berdua dan satu pembantu yang menyiapkan segala kebutuhan makan.

"Kenapa neng Senja nggak ikut?"

"Oh, neng Senja harus menghadiri pengajian rutin yang diadakan di mess, Pak. Untuk itu, neng Senja nggak bisa ikut," sahut Arjuna dengan menjelaskan alasan istrinya yang tidak bisa ikut untuk berbuka bersama di kediaman pak Sardi.

"Apakah neng Senja pandai mengaji?" tanya pak Sardi merasa penasaran.

Arjuna pun mengulum bibir seraya mengangguk secara perlahan.

"Alhamdulillah, Pak. Dari awal bertemu hingga sekarang, neng Senja
masih lancar baca al-Qur'an. Bahkan kadang-kadang saya aja malu, karena sebagai suaminya, saya kurang pintar bila dibandingkan dengan istri saya," paparnya dengan mengulum senyuman.

Pak Sardi mengangguk, merasa begitu terkesan oleh penjelasan Arjuna. Tanpa ragu, Beliau kini secara bertahap menceritakan rumah tangganya.

"Andai saja, ibunya Sarah masih hidup. Mungkin hidupnya tidak sekacau ini, anak itu sangat kesepian dan aku sama sekali tidak bisa menjadi teman baginya."

Arjuna yang mendengar kenyataan itu hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa mengucapkan beberapa kata, berharap agar pak Sardi selalu bersabar setiap harinya.

"Arjuna, bukankah istrimu tidak bekerja? Jika tidak keberatan, bagaimana kalau istrimu menemai putriku. Itu pun kalau neng Senja tidak sibuk?" tawar pak Sardi.

Arjuna tertegun, selama ini ia tidak pernah melarang Senja untuk bergaul dengan siapapun. Namun, entah mengapa, kali ini perasaannya cukup gelisah.

"Oh, itupun jika kamu tidak keberatan tentunya," sambung pak Sardi yang merasa bahwa Arjuna tidak nyaman oleh tawarannya.

"Baik, pak. Saya akan coba bicarakan hal ini pada istri saya," ucap Arjuna dengan sopan.

Pak Sardi lantas tersenyum dan mengangguk di hadapannya.

"Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian menikah? Pengantin baru,
'kan?" tanya Pak Sardi yang ingin tahu lebih banyak tentang rumah tangga Arjuna.

Arjuna menggeleng. "Kami bukan pengatin baru, Pak. Kami dijodohkan dari masa sekolah sampai sekarang, tapi kami memang seperti pengatin baru," ujarnya sembari mengulum senyuman dan menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal karena malu.

"Ah, I see ...." sahut pak Sardi yang juga tersenyum mendengarnya. "Bapak mengerti karena Bapak juga pernah muda, sama sepertimu," tuturnya.

Arjuna pun semakin tersenyum mendengarnya. Tidak lama kemudian, Sarah keluar dari kamar dengan penampilannya yang berantakan, wajahnya pucat, kulitnya kusam serta rambut yang kusut.

"Sarah ... coba sini duduk, Nak. Papa mau bicara sebentar," seru pak Sardi.

Sarah pun menuruti permintaan ayahnya itu dan duduk di kursi tepat samping ayahnya.

"Nak, mulai besok, Ayah antar kamu ke messnya neng Senja, ya. Neng Senja itu adalah istrinya Arjuna, jadi mulai besok kamu akan sering bertemu dengan neng Senja. Syukur-syukur kamu bisa belajar mengaji darinya, mau ya, Nak?" tanya pak Sardi dengan lemah lembut.

Sarah hanya menatap ayahnya tanpa mengucapkan apapun.

"Pak, saya sudah mengirimkan pesan pada istri saya, katanya nggak apa-apa, neng Senja juga senang kalau ada teman," sela Arjuna.

Pak Sardi menoleh pada Arjuna dan tersenyum seketika. "Tuh, kamu dengar nggak? Arjuna udah chat sama istrinya, nanti kamu bisa punya teman, Nak." Beliau pun mengusap surai putrinya itu.

Sarah mengagguk dan memandang ke arah Arjuna. "Terima kasih, karena sudah mau menerima tawaran papa untuk berteman denganku," ucapnya.

Arjuna hanya mengangguk. "Jangan takut, aku tidak akan mengajak istrimu untuk berbuat dosa," tukas Sarah secara gamblang, sampai Arjuna mengernyit.

"Sarah," lirih pak Sardi. "Jaga bicaramu, Nak. Nanti di depan neng Senja, kamu harus sopan, ya." Pak Sardi kembali menuturkan harapannya.

"Pah, kalau cuma mengaji, kenapa nggak sama lakinya aja? Sepertinya Arjuna juga bisa mengaji, iya 'kan?" celetuk Sarah, hingga Arjuna tertegun.

"Sarah!" Pak Sardi menegurnya.

"Kenapa? Bukan mukhrim?" sahut Sarah dengan ketus. "Sarah mau tidur, Pah."

Wanita itu pun beranjak dan kembali ke dalam kamarnya. Arjuna pun pulang ke mess, kebiasaannya selalu menceritakan apa yang ia lakukan hari ini kepada istri tercinta.

"Masa' si Sarah ngomong kalau mau belajar ngaji dan mau Aa' aja yang ajarin."

"Nggak boleh!" sahut Senja seketika.

Arjuna menoleh padanya. Senja sedang sibuk merapihkan pakaian ke dalam lemari dan menyiapkan baju kerja suaminya untuk besok.

"Wah, kenapa nih? Cemburu, ya?" seru Arjuna.

"Ya, bukan masalah cemburu aja, dong. Kan, kalian bukan mukhrim!" tukas Senja sembari menutup rapat lemari lalu mendekat ke hadapan suaminya.

"Kenapa? a' Juna kepengen, ya, ngajarin si Sarah?"

Pertanyaan itu terdengar sarkas, Arjuna pun mengulum senyuman dan menggeleng secara
perlahan.

"Idih!" Senja mengernyit dan berpaling darinya.

Arjuna sontak bengong, matanya membulat dan mulutnya melongo. "Loh, kenapa malah ketusin a' Juna?"

"Sarah cantik, ya? A' Juna pasti suka, ya?" celoteh Senja yang hanya sesaat menoleh kemudian kembali membelakanginya.

"Iya cantik, memangnya kenapa, ya?" sahut Arjuna yang sengaja mengatakan semua itu, sampai Senja cemberut dan memilih merebahkan diri tanpa menoleh sedikit pun.

"Neng Senja ...." Arjuna kini menyentuh bahunya, tetapi Senja mengedikan bahunya.

"A' Juna, tidur aja di luar," ketusnya sampai Arjuna menahan tawa.

"Neng Senja, cemburu, ya?" Senja kembali mengendikkan bahu dan menepis tangan Arjuna.
"Ya ampun, istri cilik Aa' ngambek, ya?" Pria itu kini tertawa dan mendekap Senja dari belakang. "Cantikan neng Senja kok, hm!" Sambil mencium ceruk lehernya dan tenggelam di sana.

Bila sudah begitu, Arjuna harus ekstra romatis untuk dapat mengembalikan senyuman Senja yang hampir tenggelam oleh rasa cemburu. Meskipun ia tahu bahwa kecemburuan Senja bersifat sementara dan wajar adanya, tetapi ia sangat bahagia karena wanita yang dicintainya kerap cemburu.

"Sayang ...." Arjuna kini menatapnya setelah menjadikan Senja berada di bawah kungkungannya, mengecup keningnya. "Tidak usah cemburu, ya. A' Juna hanya milik neng Senja, selamanya!"

Maniknya saling bertautan, Senja mengangguk dan merangkulkan kedua tangannya pada pundak Arjuna, menyambut kecupan dan tenggelam dalam mahligai cinta, di malam bulan yang suci.

***

Pagi-pagi sebelum ayahnya berangkat ke pertambangan, Sarah sudah bangun dan berpakaian rapih.

"Nak, tumben udah bangun?" seru pak Sardi.

Sarah menoleh. "Papa bilang semalam, aku mau diajak ke rumah neng Senja?" sahutnya dengan raut datar.

Pak Sardi pun mengangguk dan memperhatikan penampilan putrinya itu yang kini berpakaian lebih tertutup.

"Kalau begitu, ayo, Papa antarkan kamu ke sana," ujar pak Sardi.

Sarah mengangguk dan mengikuti langkah ayahnya .



Arjuna sudah memberitahukan pada istrinya, bahwa pak Sardi akan mengantarkan Sarah ke mess. Senja pun menyambut kedatangannya dan mempersilahkan Sarah untuk masuk. Sebelum pergi, pak Sardi meminta dengan sepenuh hati agar Senja tidak keberatan bergaul dengan putrinya. Layaknya seorang ayah yang menitipkan anaknya pada orang lain, bahkan seperti menitipkan seorang anak kecil untuk sekolah dan mengenyam pendidikan di sebuah taman kanak-kanak.

Pak Sardi merasa terharu karena Senja Prameswari mempunyai kepribadian hangat dan dapat menyambut putrinya dengan menerima apa adanya.

Sarah belum dapat menunjukan pribadi yang satun. Beberapa hari bertamu ke mess Senja saja, sebagai wanita sikapnya terkesan berani dan tidak sopan. Sarah memang wanita yang cantik, tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu membuatnya sedikit arogan dan menyebalkan. Kini, kesehariannya dihabiskan bersama dengan Senja, sebelum Senja dan Arjuna mudik ke Jawa.

Sarah cukup terkesan pada kesabaran Senja yang mampu mengimbangi egonya. Senja jarang marah ataupun tersinggung oleh ucapanya yang kerap kali mengatakan hal-hal pedas, termasuk pertanyaan mengapa Senja dan Arjuna belum mempunyai anak hingga saat ini. Senja hanya menjawabnya dengan singkat.

"Mungkin Sang kuasa belum mempercayakan itu pada kami," ujar Senja.

Sarah masih ingin terus mengujinya dan kembali dengan pertayaan lainnya.

"Aku akui suamimu itu sangat tampan, bagaimana jika suamimu direbut orang?" Pertanyaan itu sontak membuat Senja geram, tetapi ia tahu kalau Sarah sengaja dan ingin membuatnya kesal.

"Apakah kamu bersedia membaginya?" celetuk Sarah.

Senja kini memandangnya dengan intens. "Kamu mau tahu jawabannya?" Sarah pun mengangguk.

Senja menundukkan wajahnya sesaat kemudian kembali memandangnya. "Aku tidak takut, kecuali, kalau a' Juna memang berniat ingin poligami. Maka, aku akan melepasnya untuk pergi," ujarnya yang kemudian berlalu dari hadapan Sarah untuk menyiapkan makanan buka puasa.

"Kamu bodoh, Senja," celetuk Sarah untuk kesekian kali, Senja kembali menoleh ke arahnya.

"Berarti kamu tidak mencintai suamimu, kalau aku jadi kamu, aku akan tetap mempertahankannya," ujar Sarah.

Senja kini tersenyum dan menggeleng secara perlahan. "Kami sudah membicarakan hal itu sebelumnya, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak dapat menerima itu. Aku tidak mau dimadu. Seumur hidupku, aku tidak mau digilir cinta," ucap Senja dengan tegas
tepat ke hadapan Sarah.

Sarah menjadi gelisah, baru kali ini ia merasa kalah dalam berdebat.

"Berarti, kamu akan merelakannya begitu saja?" Senja kini terdiam dan tetegun memandang Sarah.

"Mengapa kamu begitu gelisah mempertanyakan ini dan itu padaku? Jika kamu ragu, maka carilah seseorang yang bisa menjawab segala keraguanmu itu, bukan aku orangnya."

"Apa maksudmu?"

Senja pun mendekat ke hadapannya. "Hal yang sama akan aku tanyakan padamu. Mengapa kamu membiarkan kekasihmu pergi? Apakah kamu mencintainya? Lalu, apakah dia
mencintaimu? Jika memang kalian berdua saling mencintai, mungkinkah kalian saling menyakiti seperti ini?" Sarah terpaku memandangnya.

"Aku dan a' Juna, kami saling mencintai dan kami sudah berjanji untuk saling setia. Maka, jika diantara kami ada yang berdusta, lalu untuk apa janji-janji itu?"
Sarah menjadi terpaku merasakan hatinya yang terasa sakit. Senja benar, jika Reno benar-benar mencintainya, mana mungkin Reno meningalkannya.

"Ini sudah waktunya sholat Ashar, aku mau sholat dulu, setelah itu lanjut masak lagi untuk a' Juna. Kamu mau sholat, nggak?" tawar Senja.

Namun, Sarah masih terpaku dan tampak bingung. Senja mengambil mukena lain yang ada di lemarinya, itu adalah mahar dari Arjuna ketika menikah dulu. Jarang dipakai karena Senja sering memakai mukena yang lain, mengingat sayang bila mukenanya akan mudah kotor.

Dengan rela hati ia pun meminjamkan mukena itu pada Sarah dan mengajaknya untuk sholat bersama. Setelahnya Sarah menangis sesenggukan, Senja merangkulnya sampai Sarah meminta maaf dengan sepenuh hati padanya karena telah membuatnya kesal selama beberapa hari ini.

Dengan senang hati, Senja pun memaafkannya dan keduanya berpelukan.

Arjuna Senja√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang