Part 5

2.8K 175 7
                                    

Sampai didalam rumah Mama, aku disapa dengan keheningan. Rupanya mama sedang menerima panggilan telepon. Mama sedang duduk diruang keluarga, yang dulunya selalu aku jadikan untuk marathon nonton drakor. Tempat yang biasanya dijadikan tempat mengobrol dan bersantai seluruh anggota keluarga. Namun kini terasa sangat sepi. Sejak kepergian Papa, rumah terasa dingin. Dulu Mama sempet menjadi orang yang tertutup karna kehilangan Papa. Mama sampai harus konseling setiap minggunya untuk mengobati rasa stressnya.

Sampai Mama kemudian kembali menjadi Mama yang seperti biasanya. Kemudian adikku, denis yang sekarang berusia enam belas tahun juga semakin tertutup sejak kehilangan Papa. Denis itu anak Papa banget, makanya aku rasa dia adalah orang yang paling terpukul sejak kepergian Papa.

Sekarang denis kelas dua SMA. usianya memang jauh banget dari aku, karna memang saat itu Mama cukup lama menantikan buah hatinya yang kedua. Mama juga sempat keguguran anak keduanya. Setelah itu baru hamil denis, makanya Papa tuh sayang banget sama denis. Soalnya sama sama laki laki kali ya, jadi semua hal kelihatan nyambung. Mereka suka berolahraga bareng, main catur bareng, berenang bareng, nonton bola bareng. Pokoknya banyak bangetlah hal hal yang dilakukan bersama.

Papa juga dekat banget sama aku, walau gak sedekat sama denis. Papa sering mengajakku jalan jalan. Apalagi waktu itu aku sempat menjadi anak satu satunya Papa sebelum denis lahir.

"Iya Mas, gapapa. Tapi ntar sore mampir kan ya?"

Samar samar aku mendengar percakapan Mama dengan orang yang ditelepon. Mas? Setauku cuma Ega yang Mama panggil Mas. Dia telepon Mama?

Ngomongin Ega, lihatlah aku gak melihat batang hidungnya untuk menyusulku. Tepat setelah aku membuka pintu depan, deru mesin mobilnya terdengar. Brengseknya Ega tuh gitu, dia gamau tuh langsung repot repot minta maaf atau membujukku.

"Udah sampai kak?" Mama berbalik kearahku tepat setelah panggilan teleponnya diakhiri.

Aku mengangguk mengiyakan, kemudian duduk disamping Mama.

"Kamu abis berantem sama Mas Ega ya Kak?"

Aku menoleh terkejut,

"Mama tau?" Tanyaku retoris, kemudian kembali melanjutkan, "Dia bilang sama Mama?" Tuhkan, benar tebakanku. Ega yang sedang menelepon Mama. Lagian repot repot banget jadi orang.

"Mas Ega cuma bilang kamu lagi butuh waktu untuk nenangin pikiran, makanya dia belum bisa mampir"

Aku mencibir, alasan banget. Bilang aja dia yang lagi butuh waktu untuk nenangin pikiran dari aku!

"Berantem apa sih Kak?"

Mama menatapku lamat lamat, Ega tuh rese banget ya! Kenapa sih harus repot repot bilang ke Mama, jadi aku harus menjelaskan lebih. Padahal aku lagi ga mood banget lo buat cerita.

"Aku cuma lagi jengkel sama dia, Ma." Jawabku sambil meletakan tasku diatas meja.

"Mama tau ya kak gimana watak keras kamu. Sesekali ngertiin Mas Ega susah ya kak?"

Aku menghela nafas kasar dan meraup wajahku dengan gerakan cepat. Sumpah ya Mama juga mau ngajak berdebat?

"Ma..."Desisku meminta pengertian kepada Mama untuk menghentikan pembicaraan ini. "Aku lagi capek banget lo" kataku lagi, memijat pelipisku agar pusing yang menderaku segera hilang. Namun gerakan tanganku malah membuatku semakin pusing.

"Oke.." Kemudian Mama mengalah, mengelus elus lenganku. "Kakak bisa cerita ke Mama kalau memang berat kak." Mama memberikan senyum hangatnya padaku. Aku jadi merasa bersalah sama Mama. Aku tuh ngerasa sekarang aku jauh banget dari Mama. Gatau deh kenapa. Tapi yang kurasa rasanya berat banget mau cerita beban pikiran atau masalah kesiapa siapa. Karna selama ini aku selalu menampung semuanya sendiri. Sedangkan Mama adalah orang yang selalu memintaku untuk bercerita. Mama bilang, cuma Mama lah satu satunya orang yang bakal selalu ada untuk aku disaat aku merasa terpuruk.

Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang