Part 21

3.5K 310 33
                                    

Aku terbangun dengan pusing yang mendera kepalaku. Rasanya seperti bangun dari tidur yang lama. Saat aku bangun, aku melihat Bunda dengan ekspresi cemasnya saat menatapku. Aku juga melihat Ega yang sedang duduk disisi ranjangku. .

"Minum dulu Mba." Bunda mengangsurkan gelas berisi air putih kepadaku. Aku berusaha untuk duduk kemudian Ega membantuku terbangun.

Setelah duduk dengan nyaman, aku baru meminum air putihnya sampai habis. kemudian terdiam cukup lama, karna masing masing dari kami saling diam dan tak mengucapkan suatu katahpun. Bunda dengan ekspresi khawatirnya dan Ega yang menatapku dengan sendu. 

"Ada yang sakit Mba?" Bunda bertanya denyan khawatir, aku menggeleng sambil meringis kala pusing kembali menderaku.

"Bunda panggilin dokter aja ya?"

Aku menggeleng, "Gak usah bun. Aku gapapa."

Bunda akhirnya mengangguk setelah aku menyakinkannya dengan keadaanku yang mulai membaik. Dan tahu keadaan canggung kami, bunda memutuskan untuk meninggalkanku berdua dengan Ega.

"Bunda keluar ya, kayanya kalian perlu bicara berdua."

Aku mengangguk kepada bunda setelahnya bunda benar benar keluar dari kamar.

Aku menatap Ega yang sedang duduk terdiam sambil menatapku. "Kenapa?" Tanyaku saat Ega hanya diam saja sambil terus memperhatikanku.

Ega menggeleng. Ekspresinya seperti ingin mengatakan sesuatu namun berkali kali ia urungkan saat menatapku yang menanti jawaban. Ega memang seperti ini, terkadang dia suka bermain dengan pikirannya. Ega itu pemikir keras, dan apapun yang diapikirkan pasti sudah ia perhitungkan secara matang. 

"Malem malem dengan setelan kantor kamu nekat kerumah bunda, Na?" Ega bertanya sambil besedekap dada menatapku galak. 

Really? Aku menatap Ega tak percaya, "Seriously itu yang kamu tanyain setelah aku bangun dari pingsanku, Ga?" Tanyaku tak habis pikir. sebenernya aku sedikit kecewa kepadanya, kenapa dia gak bertanya bagaimana keadaanku? Apa yang sedang aku rasakan? Dan apa yang membuatku menjadi seperti ini? Apa tidak pernah terbesit dikepalanya sedikitpun?

Ega mengetatkan rahangnya kemudian berdesis marah. "Kamu bahkan gak tahu bahaya apa yang bisa saja datang buat kamu, Na. Udah berapa kali aku ngelarang kamu jangan nyetir dimalam hari?"

Oh, Ega bener bener gila.

"Kamu mau kita berantem cuma perkara nyetir?" Aku menatap kearah Ega dengan marah. "Kamu bahkan gak ngabarin aku sama sekali kalau disini ada acara."

Ega geleng geleng kepala sambil tertawa. "Ini cuma perkara syukuran, Na. Jangan dibesar besarin"

"Oh, cuma? Cuma syukuran buat Shaina yang mau nyalon anggota dewan itu?

"Shaina lagi." Ega menyahut dan memotong ucapanku. Ega terlihat kalut sambil meyugarkan rambutnya dengan kasar. "Udah berapa kali kamu bawa bawa Shaina dalam permasalahan kita?"

"Memang kan? Pikirmu aku gaakan sakit hati gitu?"

"Kenapa harus sakit hati?" Ega menatapku marah, dia mungkin gak merasakan sakit hatinya jadi aku. Dia mana paham perasaan yang aku alami.

Membuang muka, aku beralih mengambil tas yang diletakan dikabinet meja. Aku berdiri dan membereskan barang barangku. Ega masih menatap apa yang sedang aku lakukan. Aku mendiamkannya saat dia menatap menanti penjelasan kepadaku. 

"Mau kemana?" Ega menahan lenganku saat aku beranjak berjalan.

Aku menengok kearahnya dengan tatapan nyalang. "Mau pulang." Jawabku cepat. "Tadinya aku kesini mau bicara sama kamu. Tapi kayanya semuanya udah jelas. Kamu gak butuh aku."

Jalan PulangМесто, где живут истории. Откройте их для себя