Part 16

2.2K 152 4
                                    

"Jelasin sama aku semuanya sekarang juga." Ega mengucapkannya dengan memberi penekanan disetiap katanya. Selain omongan orang di dunia ini yang membuatku berdecak jengkel, sikap Ega yang lagi menuntut kejelasan juga sangat menjengkelkan. Dia akan berubah menjadi laki laki keras kepala. Ega itu susah banget dibujuk kalau lagi marah. Atau sebenernya palinh susah kalau dia sudah merasa kecewa.

"Kamu duduk dulu, Ga." Aku memintanya duduk didepanku. Dia enggan menuruti dan berbalik menuju sofa kemudian duduk disana.

"Na." Ega kembali resah, dia menyebutkan namaku sambil menggelengkan kepalanya. "Kamu tuh luar biasa banget. Sukses banget kamu buat aku jadi suami yang gak tahu apa apa disetiap keputusan kamu." Ega terus berbicara mengeluarkan isi hatinya. Saat sedang marah dia memang begitu, dan yang kulakukan adalah mendengarkannya dahulu sampai dia merasa sedikit tenang.

"Kamu sadar gak sih Na masalah anak tuh masalah yang besar. Udah berapa kali aku bilang libatin aku! Yang mau punya anak tuh gacuma kamu, Na! Yang mau berjuang juga gak cuma kamu. Apa gunanya aku kalau semua semua kamu yang selalu ambil tindakan sendiri. Buat apa jadi pasangan kalau gak saling terbuka gini?!"

Okay. Kali ini aku tahu Ega marah besar. Intonasi perkataannya sudah meninggi tanda kemarahannya semakin besar. Aku paham Ega memang wajar marah. Dia mungkin merasa aku gak pernah melibatkan dia disetiap langkah dan tindakanku. Dia mungkin merasa aku gak pernah mau menceritakan hal penting kepadanya.

Aku tahu semakin kesini kami sering miss comunication. Sering juga terjadi kesalahpahaman diantara kami. Aku memakluminya karna memang aku tahu aku juga salah. Rasanya tuh beban dipikiranku semakin hari semakin besar dan aku gatau harus melakukan apa. Aku semakin kalut dan gak bisa berpikir jernih.

Aku berdiri dan mendekatinya. Selanjutnya aku duduk disebelahnya karna memang sofa dikamar kami ditata sebaris menghadap jendela kamar yang besar.

"Udah?" Aku bertanya sambil menatapnya pelan, kali ini Ega gabisa dibalas dengan sama kerasnya. Aku harus bertindak lembut untuk menenangkan gundah dikepalanya.

Ega menghadapku, tatapannya semakin tajam kearahku. "Bayi tabung ya Na? Kamu sudah sebegitu ga sabar punya anak? Oke aku tahu ini bentuk usaha. Tapi kamu tahu Na, memutuskan mau melakukan bayi tabung itu adalah suatu keputusan yang besar. Kita perlu memikirkan matang matang konsekuensinya. Kita butuh pendapat keluarga dan yang terpenting kamu seharusnya membicarakannya semuanya sama aku."

Aku menatap Ega tak habjs pikir setelah dia mengucalkan perkataannya. "Kamu tadi bilang apa?" Aku menggeleng. "Tolong tarik ucapan kamu, Ga." Aku menuntutnya. Tadinya aku pikir aku bisa bicara baik baik kepadanya. Tapi kemarahan dia seakan tak memikirkan perasaanku.

"Kamu bilang ga sabar, Ga? Gasabar punya anak? Kok kamu tega banget bilang gitu ke aku? Kamu tahu aku begini karna memikirkan kamu juga, Ga. Aku menggila kaya gini karna kamu! Aku memikirkan perasaan kamu, aku kaya gini tuh buat kamu jelek ya, Ga? Aku usaha loh, Ga. Dua tahun kita diam diam aja sama semua masalah ini. Dan sekarang aku mau usaha buat mewujudkan impian kita!"

Ega menatapku bengis, "Mewujudkan impian Na? Bagi kamu punya anak tuh suatu perlombaan? Kamu mengartikan pernikahan kita tuh sebagai apa sih, Na? Sebagai ajang untuk mewujudkan impian kamu untuk punya anak?"

"Ga!" Aku membentaknya kencang. Sumpah ya dia tega banget bilang gitu ke aku. "Sebagai ajang untuk mewujudkan impian aku untuk punya anak?" Aku mengulang perkaatan yang Ega ucapkan kepadaku. "Kamu anggap aku gitu selama ini? Kamu anggap aku sebatas itu, Ga? Shit. Kamu bajingan banget ya, Ga! Aku bener bener gak nyangka kamu bakal bilang gitu ke aku." Menghapus air mata yang tiba tiba membanjiri wajahku, aku bangkit dan menatap Ega untuk kali terakhir.

"Mungkin kalaupun perkataan kamu benar, gak seharusnya kamu bilang gitu." Kemudian aku meninggalkannya keluar dari kamar.

Aku berjalan cepat kearah dapur kemudian dengan beringas meminum air putih dengan cepat. Sumpah rasanya dadaku sesak banget. Aku semakin histeris, tangisku tak terbendung lagi. Padahal aku begini karna memang aku benar benar memikirkan perasaan Ega dan gak cuma aku. Aku begini karna ingin membuatnya bahagia. Tapi dengan teganya dia bilang semua ini hanyalah sebuah ajang yang aku perlombakan.

Dan see? Dia bahkan gak perlu repot repot mengejarku dan meralat semua ucapannya.

Aku kembali menangis dan menumpahkan semua perasaan yang aku pendam. Makin lama semakin kencang, aku tahu ini bentuk keputusasaanku.

Selang beberapa lama aku mulai merasa lebih tenang, aku mendengar derap langkah kaki mendekat. Dan tidak perlu berpikir lama aku tahu itu adalah Ega.

Aku mendongakan kepalaku kearahnya karna memang saat ini aku sedang terduduk dilantai. Ega menarikku berdiri, aku menepis tangannya yang berusaha membantuku berdiri. Dia mundur perlahan dan aku berdiri tepat dihadapannya.

Ega sudah terlihat lebih menusiawi dengan ekspresi lembut yang dia tujukan kepadaku. Tapi aku balik menatapnya dengan tajam dan benci.

"Masalah bayi tabung kita pikirkan nanti. Kamu perlu waktu sendiri begitupun aku. Sementara waktu aku akan tinggal dirumah lama. Kamu tetap disini Rayana. Kita butuh saling intropeksi diri dan menenangkan diri."

Aku tertawa, aku pikir dia akan minta maaf tapi ternyata ucapan omong kosong yang keluar dari mulutnya. "Yang butuh itu kamu. Kamu yang perlu sendiri, pikirkan baik baik semua tindakan aku yang salah dimata kamu."

"Fuck, Rayana!"  Ega membentakku. Dia menarik tanganku dan dengan paksa mendudukanku disisi kursi. "Tolong jangan pancing emosi aku. Aku udah berusaha menahannya tolong kamu diam."

Aku semakin menatapnya sengit. "Marah aja, Ga. Tampar aku atau pukul aku sekalian!" Aku balik menantangnya walau sebenarnya aku sedikit takut.

Ega menghempaskan tangannya dariku. Kemudian mendur seraya menendang kaki meja dengan bringas. Dia menyugar rambutnya kasar sambil menatapku tajam. "Okay, aku pergi sekarang." Ucapnya dan berbalik meninggalkanku.

Dan Ega benar benar pergi.

Aku menghempaskan tubuhku dan bersandar pada sisi meja. Rasanya luar biasa, ini adalah pertengkaran terbesarku dengan Ega selama dua tahun ini. Dia emang gak pernah menyakitiku secara fisik dan aku yakin itu gak akan terjadi.

Aku pikir aku bisa bicara baik baik. Kami bisa membicarakannya dengan lebih terbuka, tapi nyatanya tidak. Aku tahu kami masih sama sama egois, kami belum bisa mengalah satu sama lain. Dan aku rasa Ega benar, kita memang butuh waktu untuk sendiri. Ega selama ini gak pernah secara terang terangan melampiaskan emosinya kepadaku dan baru kali ini aku melihat dia menendang meja dihadapanku. Aku rasa masalah ini ga sesederhana yang aku pikir?





































Hadeh berantem terus pasutri ini. guys, jangan lupa vote dong yang banyak biar aku semangat nulisnya. Ok sangkyu.

Jalan PulangWhere stories live. Discover now