Part 17

2.4K 160 8
                                    

Setelah aku memikirkan banyak hal dan merenungkan semua yang terjadi, masalah ini gaakan pernah selesei kalau aku dan Ega sama sama saling menghindari. Aku pikir kalau kita terus terusan lari dari masalah yang terjadi maka itu akan semakin menyakiti kita.

Pertama kali yang membuatku jatuh cinta dari sosok Ega adalah dia laki laki yang bertanggung jawab. Dia menolongku disaat dia bahkan tak mengenalku sama sekali. Dia mengantarkanku pulang dan membawa mobilku kebengkel. Dia bertanggung jawab dan bisa diandalkan itulah hal pertama yang aku nilai dari dirinya.

Aku merasa tidak sulit untuk menyukai sikapnya. Aku bahkan sudah jatuh hati kepadanya saat dia mengantarkanku sampai didepan pintu apartementku. Dia tersenyum tulus dan itu kali pertama aku melihat ada laki laki yang sangat tulus dan lembut kepada perempuan, tentunya selain Papaku.

Aku pikir Ega sampai semarah ini karna memang aku berbuat salah. Aku merasa marah sama dia tapi aku juga merasa bersalah. Mungkin karna memang sudah terbiasa bersama aku bisa memaklumi sikap Ega. Dan memang aku juga salah. Aku terus terusan bermain main dengan pikiranku sendiri tanpa membicarakan kepadanya.

Makanya setelah tidur dengan perjuangan memaksakan memejamkan mata dan bangun dengan kondisi kesiangan aku langsung mengecek handphoneku saat beberapa kali aku mendengar hapeku bergetar.

Puluhan panggilan tak terjawab dari Anya, Bunda dan Eyang. Aku semakin kalut saat membaca pesan terakhir dari Anya.

Divanya
Lo kemana sih susah banget dihubungin?

Ega kecelakaan semalem pas mau kerumah bunda. Sekarang masi di rs dan lo gausa khawatir dia udah siuman setelah pingsan tiga jam. Lukanya ga terlalu serius, kepalanya cuma dijahit dengan sembilan jahitan dan kakinya harus dipasangkan pen karna memang kata dokter Ega patah tulang. Tapi lo ga perlu khawatir kata dokter bisa sembuh.

Dan lo kemana?

Bunda nanyain lo terus nih.

Aku langsung mendial nomor divanya dan menghubunginya. Tak butuh waktu lama untuk Anya menerima panggilanku.

"Nya" Aku menyebut namanya dengan bergetar, aku takut banget terjadi hal buruk dengan Ega. Bahkan kami bertengkar di jam sembilan malam dan aku membiarkan Ega pergi begitu saja dengan kondisi marah dan kalut.

"Sumpah Ega gapapa, ini lagi ngobrol sama eyang. Keluarga yang lain juga pada dateng. Lo gausah nangis dulu oke? " mengerti dengan kondisiku Anya berusaha menenangkanku. Tapi aku semakin histeris, astaga aku istri macam apa sih? Bahkan aku menjadi orang terakhir yang mengetahui kondisi suamiku.

"Anya" Aku kembali tergugu, rasanya mau marah sama diri sendiri. "Tolong jagain Ega buat gue. Gue kesana sekarang juga. " Setelah mendengar jawaban singkat dari Anya aku buru buru mematikan panggilan telepon dan bergegas membersihkan diri untuk menemui Ega.

Butuh waktu dua jam untuk sampai dirumah sakit yang Anya sebutkan kepadaku. Aku sudah merasa mengendarai mobil dengan cepat tetapi masi terasa lama. Buru buru aku mencari ruangan yang ditempati Ega. Beberapa kali juga aku harus bertanya tanya dengan para nakes perihal ruangan.

Sampai didepan ruangan aku menghembuskan nafas pelan. Menarik nafas panjang dari hidung dan menghembuskannya dengan perlahan menggunakan mulut adalah caraku untuk menenangkan diri.

Aku membuka pintu dan disambut dengan banyak orang. Oke, ini terlalu banyak. Aku melihat Bunda, Anya, Eyang bahkan ada Ayahnya Ega dan Ibu tirinya Ega. Dan dari banyaknya orang aku menangkap satu orang yang menurutku sangat tidak asing dan kenapa dia bisa disini?

Disudut ruangan aku bisa melihat Shaina duduk bersanding dengan Bunda sambil bercengkrama hangat. Oke sedikit menyakitkan buatku melihat pemandangan ini. Aku memaksakan diri untuk melangkah masuk. Mereka semua menyadari kedatanganku termasuk Anya yang langsung berdiri dan memelukku dengan hangat. Aku balas memeluknya dan dari sini aku bisa melihat Ega menatapku sebentar lalu memalingkan wajahnya dari hadapanku.

Oke aku tahu dia kecewa kepadaku. Dan aku juga kecewa dengan diriku sendiri.

Aku menghampiri bunda tak lama setelah Anya melepaskan pelukan kami. "Bunda, maaf baru datang." Aku menatap bunda bersalah dan menyaliminya. Bunda balas memelukku dengan hangat.

"Kata Mas Ega, Mba lagi sakit ya? Gapapa Mba bunda ngerti." Setelah bunda mengatakan itu, aku kembali menangis dalam diam. Ega bahkan masih perduli dan memikirkanku disaat dia lagi marah denganku.

Aku menengok kearah Ega, lagi lagi kami bersitatap walau cuma sebentar karna lagi lagi Ega memutuskan tatapan kami.

"Bunda aku minta maaf" Aku mengatakannya sekali lagi dan kali ini aku gagal menahan tangis. Bunda kaget saat melihatku menangis, aku buru buru menghapusnya.

"Kenapa Mba? Ada yang sakit?" Bunda bertanya dengan khawatir sambil menempelkan tangannya didahiku. "Memang hangat Mba. Sini duduk dulu, capek kan tadi nyupir sendiri? Lagian kalau gak enak badan bisa kesini nanti nanti Mba. Mas Ega pasti ngerti toh juga ada Bunda yang temenin." Bunda menarikku mendekat untuk duduk disebelahnya. Aku kembali menenangkan diriku. Dan tersenyum kearah bunda.

"Gapapa bun. Aku baik baik aja." Walau perasaanku hancur babak belur bunda.

"Baguslah kamu datang, lagian jadi istri kok gak siaga toh Nduk. " Eyang menyahut singkat sambil menatapku, aku meringis tak enak hati.

"Maafin aku Eyang." Ucapku tulus, kali ini aku gak tersinggung dengan ucapam Eyang karna memang perkataan Eyang benar.

"Udah, Ma. Mba juga kan lagi kurang sehat." Bunda menegur Eyang. Eyang hanya membalas lirikan singkat.

"Rayana udah kenal kan sama Shaina?" Eyang kembali bersuara, aku reflek menengok kearah Shaina. Dia mengulurkan jabatan tangannya kepadaku dan aku membalasnya.

"Shaina ini udah kaya cucu sendiri bagi eyang." Eyang kembali menjelaskan dan aku mengangguk singkat. Shaina itu merupakan cucu dari sahabat Eyang sewaktu masih muda. Aku tahu karna Anya sudah menceritakan perihal Shaina kepadaku secara detail. Karna memang Shaina itu adalah mantan pacar Ega yang sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Ega. Anya bilang dia gak tahu pasti kenapa Ega dan Shaina bisa putus, karna menurut Anya hanya mereka yang tahu alasan pastinya.

"Senang bisa bertemu Mba Shaina secara langsung. " Aku berbasa basi sedikit setelah jabatan tangan kami.

Shaina tersenyum sungkan, "Panggil Shaina aja, kayanya usia kita gak jauh beda kan? Kamu dua tahun di bawah Ega kan?" Shaina bertanya dengan kesan akrab kepadaku.

Aku mengangguk singkat. "Dua tahun dibawah Ega."

Anya menghampiriku dan menarikku menjauh dari kerumunan orang yang memang sedang duduk disofa dan sebagian duduk dikarpet karna memang cukup banyak orang.

"Shaina tadi kesini bareng Eyang. Gue rasa dia lagi mampir dirumah Eyang makanya bisa kesini." Anya menjelaskan kepadaku, aku rasa dia takut aku salah paham. Aku mengangguk mengerti.

"Cakep banget aslinya ya Nya?"

Anya menggelengkan kepalanya, "Lo gausah jealous. Ega dan Shaina bener bener udah berakhir."

Aku tersenyum singkat. Kali ini yang perlu kulakukan cukup mempercayai perkataan Anya aja kan?

Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang