Part 20

3K 213 17
                                    

Menuruti dan membenarkan apa yang Michael katakan, aku mengendarai mobilku sepulang kerja untuk kerumah Bunda. Aku gak mengabari siapapun. Aku memang melakukannya dengan spontan. Padahal jam sudah menunjukan pukul delapan saat tiba dirumah Bunda. Aku dikejutkan dengan banyaknya kendaraan dirumah Bunda. Terpasang juga beberapa tenda dan kursi yang berderet dihalaman rumah Bunda. Aku menepikan mobilku disudut halaman.

Perlahan aku mendekati keramaian. Banyak saudara dan juga tetangga berkumpul. Beberapa tetangga yang aku kenal menyapaku dengan singkat.

"Mba Rayana baru sampe, tho?" Bude Karina menyapaku dihalaman rumah Bunda.

Aku mengangguk singkat. Bude karina itu adalah tetangga rumah Bunda. Aku kerap kali mengobrol sama beliau saat berkunjung kerumah Bunda. "Iya bude. Memang ada acara apa ya bude?"

"Lho Mba gatau toh?" Bude Karina terkejut saat aku menggeleng. "Ini syukuran kesembuhan Mas Ega yang udah bisa jalan walau pake tongkat masihan sekaligus syukurannya Mba Shaina yang mau nyalon anggota dewan. Kata Eyangmu Shaina ini udah kaya cucung sendiri makanya sekalian dibuat syukuran." Bude Karina menjelaskan kepadaku. Aku tersenyum lega, syukurlah Ega udah berangsur angsur sembuh.

"Yasudah ya Bude, aku masuk dulu." Pamitku kepada Bude.

Bude Karina tersenyum sungkan, "Oh iyaa, mari Mba kok malah bude halangin." Lanjutnya sambil tertawa.

Aku juga tertawa ngilu. Rasanya sungguh menyakitkan berdiri disini dengan setelan baju kantor disaat orang lain menggunakan baju gamis dan koko dengan rapi.

Tapi aku memantapkan diri untuk berjalan memasuki rumah Bunda. Aku tahu aku akan menjadi pusat perhatian dengan tampilanku. Beberapa keluarga menatapku dengan heran dan beberapa lainnya tersenyum hangat.

"Lho, Mba." Bunda kaget saat melihat keberadaanku. Bunda kemudian berjalan cepat kearahku. "Kok gak bilang bilang mau kesini?" Kata bunda seraya mengangsurkan tangannya untuk aku salimi.

Aku mencium tangan Bunda dengan cepat. "Bunda yang gak bilang bilang kalau lagi ada acara."

Bunda sedikit terkejut saat mendengar ucapanku. "Lihat bun, aku bahkan masih pakai pakaian kantor." Lanjutku lagi. Jujur rasanya aku sedikit kecewa sama Bunda. Aku pikir Bunda gak akan mengecewakanku. Tapi nyatanya aku salah. Bahkan bunda gak ngabarin aku kalau lagi mengadakan syukuran buat Ega. Dan Ega itu suamiku, astaga.

"Maafin Bunda, ya Mba? Bunda gak ngabarin Mba. Bunda pikir Mba emang lagi sibuk. "

Aku menggeleng. "Sesibuk apapun aku, aku pasti bakal nyempetin dateng kalau bunda ngadain acara begini." Aku tersenyum sendu. " Tapi its oke bun, Aku juga cuma sebentar disini." Lanjutku lagi.

Bunda tersenyum dengan wajah menyesalnya, lalu mengusap bahuku beberapa kali. "Mba jangan merasa tersinggung karna bunda gak ngabarin. Bunda bener bener berpikir Mba lagi sibuk makanya Bunda gak bilang. Mas Ega juga ngelarang Bunda buat bilang, katanya Mba bakal capek kalau bolak balik harus kesana kesini." Bunda menjelaskan lagi. Dan aku malah ngerasa aku semakin menyedihkan.

Tersenyum maklum sambil menahan perasaan sedih dan terluka, aku mengambil tangan bunda. "Makasi bun udah perduli sama aku. Tapi aku gak tahu kali ini rasanya aku beneran kecewa sama bunda." Aku menggeleng tegas saat Bunda berusaha menyangkal perkataanku. "Tapi gak apa apa bun, aku kayanya emang lagi sensitif. Its oke aku ngerti. "

Bunda berdiri lesu, aku masih melihat Bunda ngerasa bersalah dari tatapan matanya. Aku memejamkan mataku. "Beneran gak apa apa bun. Aku paham kok. Aku emang gak sepenting itu buat tahu semua masalah keluarga Bunda." Kali ini aku bener benar mengungkapkan perasaan yang kurasakan selama ini. Gak tahu tapi aku ngerasa kali ini aku bener bener kecewa banget sama diriku dan kehidupanku.

"Mba..." Bunda memohon, "Tolong jangan bilang gitu. Bunda beneran minta maaf."

"Aku emang kekanakan ya bun? Kayanya Eyang bener deh. " Aku menghentikan ucapanku sesaat. Sebenernya rasanya gak tega harus mengatakan hal jahat ke bunda. Tapi gimana ya? Aku juga tuh lama lama ngerasa capek. Ngerasa gak dianggep. Gak dibutuhkan. Dan menyedihkan.

"Kata Bude Karina, Ini juga sekaligus syukuran karna Shaina nyalon anggota dewan ya bun? Aku pikir bener deh" Aku menengok kearah kiri, dimana beberapa sembako bertumpuk dengan poster pemilihan yang aku yakini milih Shaina. "Shaina tuh memang siapa bun? Sampe bunda repot repot ngadain syukuran buat dia juga?"

Bunda menarikku mendekat. "Kita ngobrol didalem aja ya Mba?" Kemudian Bunda menarik tanganku untuk mengikutinya kekamar Bunda. Memang dipikir pikir kami tadi sempat menjadi pusat perhatian saat berdiri diruang tamu yang dipenuhi dengan banyak orang.

"Bunda akan jelasin. Mba duduk dulu." Bunda memintaku duduk disofa kamar Bunda. Kemudian bunda duduk disampingku dan memegang tanganku untuk digenggam.

"Bunda tahu ini akan mengganggu perasaan Mba. Makanya bunda gak bilang ke Mba. Eyang yang mengadakan syukuran buat Shaina sekaligus buat Mas Ega. Bunda udah bilang buat misahin harinya atau setidaknya kita bisa adakan syukuran buat Shaina dilain waktu. Tapi Eyang bersikeras dan kamu tahu eyang kaya gimana. Shaina itu memang udah kaya keluarga buat Eyang nduk. Dulu eyang sakit, Shaina yang rawat sampai sembuh makanya eyang sesayang itu sama Shaina. Bunda juga udah anggap Shaina sebagai keluarga."

Penjelasan Bunda gaada satupun yang bisa menyangkal perasaan sakit hatiku. Pengakuan dan perlakuan istimewa yang diberikan keluarganya Ega kepada Shaina yang membuatku semakin sakit. Apa mereka gak memikirkan perasaan aku sedikit saja?

Aku manarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. "Oke, bun. Aku ngerti seberapa besar pengorbanan Shaina buat keluarga ini. Tapi bun, Shaina itu dulu masa lalunya Ega. Apa Bunda sama sekali gak memikirkan itu? Bunda gak memikirkan perasaan aku?"

Bunda menatapku lembut. "Shaina sama Mas Ega udah berakhir, Mba. Sekarang kamu yang jadi isterinya. Bunda akui bunda salah, harusnya bunda mikirin perasaan kamu. Tapi Shaina memang udah seperti keluarga Mba. "

Aku mengangguk. "Bun, Shaina sekalipun seperti keluarga buat Bunda. Tapi gimana dengan Eyang? Gimana kalau ternyata Eyang masih berharap bahwa Shaina yang menjadi istri Ega dan bukan aku?"

Bunda menyergit, kemudian tersenyum jenaka. "Gak mungkin Mba. Kamu kan yang sekarang jadi isterinya. "

Aku menggeleng. "Kenyataan seperti itu bun." Balasku lagi. Bunda menatapku tak percaya. "Bunda gak mungkin tahu, tapi aku tahu. Eyang beneran mau Shaina yang jadi isteri Ega. "

Bunda memundurkan badannya, menatapku tak percaya. "Kali ini kamu kelewatan, Mba." Bunda mengatakannya dengan perasaan tersinggung.

Tapi aku pun sama. Aku sama tersinggungnya dengan Bunda. "Eyang sendiri yang bilang ke aku Bun. Eyang yang bilang kalau aja Ega nikahnya sama Shaina mungkin Ega udah punya keturunan. Iya kan bun? Aku yang gak bisa kasi Ega keturunan? Aku yang salah kan bun?" Aku mengatakannya secara langsung. Aku bisa melihat bunda terluka. Aku menghapus air mataku sendiri.

"Bunda gak pernah paham apa yang aku rasain. Bunda, kalaupun bunda ngerasa aku kelewatan. Bunda bener. Kayanya aku udah jadi menantu kurang ajar yang mengatakan hal menyakitkan ke bunda. Tapi Bunda harus tahu, dua tahun bertahan dengan omongan yang menyakitkan juga gak mudah buat aku bun. Aku tahu Eyang sayang banget sama Ega. Aku tahu bun." Aku tergugu hebat, tangisku tak lagi bisa kubendung. "Tapi aku capek bun. Aku capek terus terusan disalahin. Aku mungkin gak sempurna bun, tapi aku punya perasaan bunda." Aku mengambil tangan bunda, kemudian meletakannya didadaku. "Disini bun, rasanya sangat menyakitkan. Aku gak pernah cerita kesiapapun tentang apa yang aku rasakan sekaligus dengan Ega. Karna aku pikir-" Aku menarik nafas panjang saat aku merasakan dadaku semakin sesak.

Bunda menarikku kedalam pelukannya. Bunda juga menangis tergugu sepertiku. "Maafin bunda. Maafin bunda, Mba."

Aku semakin histeris sampai aku gak bisa merasakan apa apa dan semuanya semakin gelap.

































Lirik lagunya relate banget deh. "people think that they know me, but damn they dont."
Liriknya buat Mba Rayana aja deh.

Jalan PulangWhere stories live. Discover now