seventeen

30 7 1
                                    

Hari-hari berlalu begitu cepat, sudah sebulan terlewati semenjak walikelas memanggilnya tentang nilai. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya yang tidak begitu peduli, tapi kini dia benar-benar ingin merubahnya.

Tidak lucu bila dia mengulang dikelas tiga sementara teman-temannya sudah lulus. Apalagi Mona pasti akan terus-terusan mengejeknya. Sungguh, dia tidak akan terima itu. Walaupun sebenarnya Mona tidak jauh berbeda dengannya, tetapi gadis itu tidak pernah diceramahi soal nilai. Mungkin karena dia pandai menyontek atau memang dia memiliki kemampuan otak yang sedikit lebih tinggi dari Trisya. Catat, sedikit.

Trisya meluangkan lima belas menit waktunya untuk belajar. Nilainya sedikit membaik dari yang sebelumnya meskipun tidak ada perubahan yang drastis.

Trisya pikir untuk materi, dia masih bisa belajar sendiri lewat buku. Tetapi hitung-hitungan? Dijelaskan oleh guru saja, dia masih tidak paham apalagi belajar sendiri.

Dia memiliki permasalahannya dimana dia sulit paham dengan apa yang dijelaskan soal materi tentang per-angka-an.

Dia pernah meminta tolong kepada Yuna, dan teman-teman lain yang pintar, bahkan sampai mengambil les privat. Namun sejauh ini, tetap saja dia tidak paham. Jika mengerti pun, keesokan harinya dia akan lupa lagi.

Trisya menghela nafasnya sangat panjang, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Guru privatnya pun sudah menyerah untuk mengajarinya.

Entah bagaimana dia menghadapi permasalahannya yang satu ini, yang jelas dia cukup stress.

"Kenapa lo?" Suara seseorang yang datang tiba-tiba itu mengalihkan perhatiannya.

Dilihatnya entah sejak kapan Lionel sudah berdiri dihadapannya sambil memperhatikan air wajahnya yang tampak tidak seperti biasa.

"Gapapa, pusing doang."

"Minum obat lah, itu aja dipersulit."

Trisya berdecak. Laki-laki itu selalu berhasil membuatnya kesal.

"Bukan pusing itu! Tapi pusing karena masalah. Ah, bisa gila gue nih lama-lama."

"Kenapa emang?" Lionel seperti tertarik, ia sudah duduk tepat disebelah Trisya.

Trisya menceritakan dari awal walikelas memanggilnya karena masalah nilai sampai ke dirinya yang tidak bisa menyerap ilmu perangkaan dengan mudah.

Lionel menepuk lengan Trisya. "Calm down. Ada gue, as a good friend, I can help you! For your information, nggak hanya juara kelas, gue juga masuk juara satu umum. So, you can rely on me for this."

Trisya berdecih. "Pamer mulu lo!"

"Punya prestasi ya pamerin lah. Kalo disembunyikan, ya buat apa?"

Trisya tetap kesal mendengarnya meski faktanya memang begitu.

"Eh, tapi serius lo mau bantu gue. Gue nggak mau dibercandain."

"Iya, serius kok. Maunya kita mulai dari mana dulu?"

"Apanya?"

"Materinya, lah! Mau darimana dulu?"

Trisya menggaruk kepalanya dengan telunjuk. "Em, ngga tau. Emangnya materinya apa aja ya?"

***

Esok harinya, jadwal untuk musuh bebuyutan anak IPS, yaitu matematika.

Pembelajaran dilakukan selama tiga jam. Mereka belajar tentang materi yang Lionel ajarkan kemarin kepada Trisya.

Awalnya Trisya tidak percaya ini, tapi dia berhasil mengerjakan sebuah soal yang dibuat oleh guru dipapan tulis.

Sebuah keajaiban dia masih mengingat cara dan rumus yang Lionel ajarkan. Tapi bila diingat, penjelasan Lionel sangat jelas dan ringan. Mungkin oleh karena itu Trisya mudah memahami dan masih ingat setidaknya sampai detik ini.

Abyss of LoveWhere stories live. Discover now