twenty nine

22 6 0
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA
HAPPY READING

***

MENGINGAT kejadian kemarin malam, Trisya jadi canggung begitu bertemu dengan Selna. Bila biasanya mereka akan saling menyenggol satu sama lain, maka hari ini mereka hanya berlalu tanpa saling memberi muka. Tapi dalam hati, mereka saling merutuk, merasa malu, dan geli kepada diri mereka sendiri.

Bagaimana mungkin mereka bisa berakhir mabuk bersama? Mereka tidak sedekat itu untuk minum-minum bersama. Seingat Trisya dia datang berdua dengan Mona ke club, lalu Selna dan teman-temannya datang membuat keributan dengan mereka berdua. Kondisi semuanya dalam keadaan mabuk termasuk Trisya dan Mona sendiri.

Dia tak tahu bagaimana mereka bisa berakhir seolah mereka adalah teman. Yang jelas Trisya malu dan geli sendiri ketika mengingatnya.

" Ah, bodo amat lah anjir." Gadis itu tak mau pusing lama-lama. Dia mengeluarkan liptint dan memolesnya bermodal kamera ponsel sebagai cermin.

Naas, dia harus tersandung sehingga menabrak seorang laki-laki yang berjalan dari arah berlawanan. Alhasil, liptintnya belepotan, namun yang membuatnya terlihat syok adalah bekas liptinnya menempel pada seragam laki-laki itu.

"Ck, lo—!!" Lelaki itu tampak kesal. "Punya mata, kan? Liat-liat dong kalo jalan. "

Trisya mengerjabkan matanya. Memang ini sepenuhnya salahnya, tapi dia harap Tuhan dapat menolongnya untuk kabur. Dia membersihkan liptintnya yang belepotan itu lebih dahulu.

" Sori, gue nggak sengaja. Sori ya." Trisya buru-buru berjalan meninggalkan ketua geng yang masih kesal soal bercak pink diseragamnya.

" Mau kemana lo?" Vernon menahan tangannya, seakan tidak membiarkannya untuk pergi tanpa pertanggungjawaban.

Trisya gelagapan. Dia langsung memegang perutnya seolah sedang kesakitan. " Aduh, perut gue sakit. Gue udah minta maaf sama lo. Tolong biarin gue pergi, gue harus ke UKS."

Bukannya meloloskannya, Vernon justru mengeratkan cengkeramannya. Tatapan matanya tajam dan menusuk sehingga Trisya sempat terintimidasi.

" Gue bukan orang yang bisa lo bodoh-bodohi dengan mudah, " gumamnya, namun tajam.

Kesal aktingnya tidak berakhir baik, Trisya langsung menyentak tangan Vernon. "Kenapa sih lo?"

Laki-laki itu tertawa smirk, lalu merendahkan tubuhnya agar wajah mereka saling berhadapan. " Jangan bersikap seenaknya, lo harus tau posisi lo sekarang."

Tidak mau menunjukkan sisi lemahnya, Trisya melawan. " Lo yang jangan seenaknya, gue nggak takut sama lo"

Vernon menaikkan sebelah alisnya. " Lo cukup nggak tau diri untuk orang yang baru aja ngelakuin kesalahan. Lo pikir maaf aja cukup?"

" Terus gue harus apa? Cuciin seragam lo? Atau mau di beliin yang baru?" Trisya berkacak pinggang sambil mendengus malas. " Denger, ya. Jaman sekarang udah ada yang namanya laundry, lo bisa kesana, udah deh beres. Seragam lo udah balik kaya baru lagi. Sori ya untuk beliin seragam baru, gue nggak bisa, gue nggak kaya. Tapi gue bakal bayar laundry lo." Trisya memberi selembar uang dua puluh ribuan. Dia bisa saja membeli seragam baru untuk Vernon, tapi daripada membuang-buang uangnya, lebih baik berhemat dikondisinya yang masih hanya memegang uang tiga ratusan dibulan ini. Lagipula membeli seragam baru itu agak berlebihan.

Vernon hanya menatap uang itu tanpa minat, dia merotasikan bolamatanya. "Lo pikir uang segalanya?"

Trisya berdecak. " Terus lo maunya apa?"

" Jadi bawahan gue."

Gadis itu diam, tak lama ia tertawa. " Bawahan cuma bahasa halusnya. Bahasa kasarnya jadi babu lo? Gitu, kan?"

Abyss of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang