twenty eight

30 6 2
                                    

VOTE SEBELUM MEMBACA
HAPPY READING

***

HARI ini, Trisya memasang ekspresi tidak biasa sepanjang perjalanan menuju ke kelas. Dia terlihat begitu ceria, senyumnya tidak pernah lepas semenjak menginjak kaki dilingkungan sekolah.

Begitu sampai dikelas, dia memekik heboh menuju sahabatnya. "Monaaa!"

" Apaan, sinting!" Desis Mona dengan wajah julidnya melihat temannya bertingkah seperti orang gila.

Tidak meladeni Mona, Trisya justru memamerkan kunci mobil barunya yang sukses membuat Mona membelalak, menutup mulutnya sambil terpekik. Reaksinya tidak kalah heboh.

" Anjir, sekaya itu ya bokap lo. Sekali minta, belum seminggu juga udah langsung ada." Sebenarnya Mona tak begitu terkejut karena selain berprofesi sebagai dokter spesialis jantung yang gajinya sendiri tidak main-main, papi Trisya juga anak dari seorang pembisnis kaya yang mendirikan perusahaan di London.

Trisya menghela. " Walau nggak semahal punya Timothy, tapi oke lah, yang penting dibeliin."

" Walaupun nggak semahal punya kakak lo, tapi gitu-gitu mobil lo Porche anjing."

" Hehehe," Trisya cengengesan.

" Hoki lo kepake tahun ini. Udah dibeliin Iphone baru, sekarang Porche. "

Trisya hanya tertawa. Ngomong-ngomong beberapa hari yang lalu, dia dikirimi paket kiriman dari seseorang. Betapa senangnya gadis itu ketika Box Iphone dengan seri terbaru itu adalah isi dari paketannya.

Kebetulan iPhone 8 miliknya yang sudah lama sekali ia beli itu memang sudah layak untuk diganti baru. Bahkan ponselnya itu sudah retak dimana-mana, baterai health-nya yang sudah darurat, juga beberapa aplikasi tidak dapat berjalan normal. Dia tak punya cukup uang untuk mengganti baru, dia malu jika harus meminta pada papi saat itu.

Itu ponsel kiriman dari Timothy karena lelaki itu meninggalkan note, 'balikin hp cowo lo -T. Calvin Smith.'

Kalau begini hasilnya, Trisya tidak menyesal sudah berbohong mengenai ponsel Lionel tempo hari.

" Btw Yuna nggak sekolah lagi hari ini?" Trisya mendecak, geleng-geleng kepala. Bel sudah berbunyi semenit barusan, tapi batang hidung perempuan itu tidak terlihat sama sekali.

" Tadi udah dateng kok. Cuma bilangnya mau ke WC, tapi nggak balik-balik daritadi. "


***

Yuna bertumpu lutut, ngos-ngosan setelah lumayan lama keliling sekolah untuk mencari seseorang. Dia pergi ke kelas Liam, tidak peduli ketika Arion, Stefan, dan Alsen yang gencar menggodanya perihal ia yang bertanya tentang keberadaan Liam.

Yuna lelah, dia duduk dianak tangga sebentar. Belum semenit, gadis itu langsung berlari ketika melihat seorang lelaki diujung koridor sepi.

"Liam!"

Lelaki itu menoleh ketika seseorang memanggilnya. Matanya sedikit melebar dengan jantung yang berdebar melihat Yuna berlari menghampirinya. Gadis itu... masih secantik dahulu. Liam tidak pernah bisa melupakannya sekuat apapun ia berusaha, seakan Yuna bukan sekedar perempuan biasa untuknya.

Biarkan sebentar saja ia menatap wajah yang begitu dirindukannya. Terbuai dalam kecantikan yang membuatnya terbang menarik alam bawah sadarnya. Sampai dirinya tersadar akan keadaan saat Yuna mendorong tubuhnya membentur tembok—tidak sakit karena Yuna mendorongnya pelan.

Matanya melebar sempurna tatkala dirasakan sesuatu lembut mendarat dibibirnya. Yuna menciumnya.

Meski bukan ciuman yang sebenarnya, tapi cukup membuat jantungnya meledak karena sebuah kecupan itu. Tidak lama setelahnya, Yuna berganti memeluknya erat. Menyembunyikan wajah cantiknya kedalam dekapan, sembari berujar dengan lirih.

Abyss of LoveWhere stories live. Discover now