08-Awal

68 28 36
                                    

"Where one cannot speak, thereof one must be silent."
Ludwig Wittgenstein

Hari kedua masuk sekolah pun usai, sebagian murid langsung pulang menuju rumah gua, sementara sebagian lagi ada yang nongkrong, ekskull, atau hanya sekedar menunggu jemputan.

Silvia adalah salah satu orang yang sedang menunggu jemputan. Silvia berdiri di depan pintu gerbang sembari menyenderkan tubuhnya di tembok dekat gerbang sekolah. Setelah cukup lama ia menunggu jemputan datang, tiba-tiba handphone miliknya pun berbunyi.

Ternyata itu adalah sebuah pesan WhatsApp dari ayahnya. Silvia lalu menatap layar handphone miliknya itu.

~Ayah

~Maaf Silvi, ayah belum bisa jemput sekarang.

~Ayah ada rapat mendadak, jadi ayah bakal telat, kamu tunggu sebentar ya.

Silvia tidak membalas pesan ayahnya itu, ia lalu menutup handphone miliknya.

"Klasik," batinya mengeluh.

Kejadian seperti ini sebetulnya sudah menjadi makanan sehari-hari Silvia, ia sudah biasa harus menunggu sedikit lebih lama di sekolah ketika ayahnya sedang ada rapat penting yang tak bisa ia tinggalkan.

Biasanya, Silvia menonton tim ekskull basket latihan di atas court bangku penonton. Namun karena hari ini tim basket belum memulai latihan mereka, alhasil Silvi tidak bisa menghabiskan waktunya dengan menonton tim basket.

Maka dari itu pilihan terakhirnya adalah atap sekolah, yang mana pada dasarnya tempat tersebut adalah tempat favorit Silvia di SMA Pancasila. Karena Silvia merasa di sana ia bisa mencari udara segar dan ketenangan di tengah keramaian SMA Pancasila. Atap sekolah juga menjadi tempat untuk Silvia merenungkan hidupnya itu.

Silvia pun sampai di atap sekolah. Sesampainya di sana, ia disambut dengan hembusan angin yang sangat kencang serta indahnya pemandangan langit berwarna biru cerah kala itu.

Terdapat sebuah pagar pembatas usang yang mengelilingi setiap sisi atap sekolah SMA Pancasila. Suara getaran pagar yang begetar hebat karena angin yang sangat kencang kala itu terdengar sangat jelas di telinga Silvia, ia lalu berjalan maju menuju pagar pembatas yang bergetar itu.

Silvia kemudian memegangi pagar pembatas yang bergetar itu seraya kemudian menempelkan wajahnya di sana. Ia lagi-lagi menghela napasnya panjang.

"Sampe kapan gua begini terus." Pikirnya seraya memandangi langit biru.

Lalu dikala renungannya itu, secara begitu saja sosok Milas muncul di dalam pikirannya itu.

"Itu orang maunya apasih." Pikir Silvia seraya membayangkan wajah Milas yang tersenyum ke arahnya tadi pagi.

Silvia yang tak mau memikirkan Milas pun, mengalihkan pandangannya, dari atas sana, sebetulnya Silvia bisa melihat banyak orang dari atas sana. Silvia kala itu bisa melihat tim sepak bola yang sedang latihan di lapangan, orang yang sedang berkumpul bercanda di dekat lapangan, orang yang sedang berpacaran di bawah pohon rindang, dan bahkan juga bisa melihat orang yang sedang berguling-guling di aspal karena sakit perut. Semua terlihat sangat jelas jika dilihat dari atas sana.

Ketika melihat mereka, Silvia mulai membayangkan dirinya berada di sana.

"Apa mungkin gua bisa bersenang-senang kayak mereka ya?" Pikir Silvia seraya tersenyum sedih, saat memandangi sekumpulan anak yang sedang bercanda.

Ia lalu mengalihkan pandangannya ke pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran di bawah pohon rindang.

"Seandainya gua punya pacar, apa gua bakal kayak orang itu ya? apa gua bakal mesra-mesraan sama orang yang gua sayang?" Silvia menghela napasnya kasar seraya tersenyum sedih.

Kelas Fir'aunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang