3 # Yang Terpenjara

522 99 31
                                    

Vote dan komennya jangan lupa ya...
                                                                   
🌸🌸🌸
                                                                   
Kembali Aiyana merenung. Sejak dibawa kerumah ini, hingga dirinya sekarang sudah berumur lebih dari enam belas tahun, Aiyana tidak bisa lagi menghitung sudah berapa banyak dirinya merenung sambil memandangi apa yang berada di luar jendela sana.

Taman yang sangat luas serta pagar menjulang tinggi yang mengelilingi tempat dimana dirinya berada saat ini membuat Aiyana tidak bisa memandangi apa saja yang berada di luar pagar sana.

Selain taman yang ditanami beberapa bunga serta beberapa pohon yang daunnya sangat lebat, tidak ada hal lainnya lagi yang bisa Aiyana lihat. Dirinya yang terpenjara di tempat yang entah berada dimana ini membuat Aiyana bahkan tidak tahu seperti apa perubahan yang terjadi di luar sana.

Dulu, sewaktu tinggal di desa bersama mendiang neneknya, meski semua teman-teman seusianya menjauhi dirinya, setidaknya Aiyana masih bisa duduk di teras rumahnya yang sangat sederhana sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang di jalan setapak depan rumahnya.

Tapi kini, Aiyana hanya bisa tersenyum sedih membayangkan seperti apa rasanya hidup bebas tanpa harus terpenjara di dalam kamar yang seperti penjara baginya.

Nasibnya benar-benar sangat menyedihkan.

Bukannya Aiyana ingin membuat dirinya tampak memelas. Hanya saja pada saat ia tak mengerti mengapa harus dirinya yang berada di tempat ini, Aiyana memikirkan seperti apa reaksi ibu kandungnya saat tahu jika Aiyana harus membayar entah dosa apa yang telah ibunya buat.

Selama di sini, Aiyana hanya mendengar bahwa wanita yang telah melahirkannya itu menjadi penyebab kematian seseorang yang merupakan ibu dari pria yang selalu melampiaskan amarah padanya.

Dari perkataan serta amarah yang begitu besar terpancar dari sorot mata pria itu, Aiyana sedikitnya menyadari jika kesalahan yang dilakukan ibu kandungnya pastilah tak termaafkan. Namun, apa bentuk kesalahan yang ibunya lakukan serta bagaimana seseorang itu kehilangan nyawanya, Aiyana tidak mengetahuinya. Ingin bertanya, Aiyana tidak mampu untuk melakukannya.

Dan di sini, pada waktu sudah menunjukkan tengah hari, Aiyana hanya bisa kembali merenung sembari menatap warna hijau membosankan di luar sana dari balik jendela, dimana sofa tunggal yang menjadi tempat favoritnya untuk mengalihkan sejenak kesedihannya.

"Nona Aiyana belum makan siang, bukan?"

Suara lembut yang menyapa telinganya tersebut membuat Aiyana segera menoleh.

Berdirinya bik Minah, yang entah sejak kapan sudah berdiri di muka pintu kamar yang telah dibuka, yang mana hanya satu-satunya pekerja di rumah ini yang diizinkan untuk berinteraksi dengannya pada akhirnya berhasil menerbitkan seulas senyum di bibirnya.

"Kalau nanti tuan Faiz nelpon anak buahnya yang berjaga di depan dan tahu kalau nona belum makan, nanti beliau bisa marah lagi."

"Saya masih belum lapar, bik." cepat Aiyana menimpali. Begitu dilihatnya wanita paruh baya itu mulai melangkah masuk dan berjalan ke arahnya, Aiyana menambahkan, "Saya janji, sebentar lagi saya pasti akan makan."

"Baguslah kalau begitu." wanita paruh baya yang rambutnya mulai tampak memutih itu mengulas senyum keibuan. Sikap santun gadis muda itu serta nada suaranya yang terdengar lembut mendayu membuat bik Minah merasa iba melihat nasib gadis itu yang menyedihkan.

Di usianya yang masih begitu muda dan dengan wajah yang begitu cantik, seharusnya gadis yang tiap hari akan menghabiskan waktunya dengan merenung itu bisa seperti gadis seusianya di luar sana. Bermain serta bercanda tawa bersama teman-temannya seharusnya menjadi rutinitas sehari-harinya.

Selamanya [ON GOING]Where stories live. Discover now