28 # Penyesalan Yang Terlambat

351 84 34
                                    

Sebelum baca, saya mau ingatkan dulu kalau ini hanyalah sebuah karya fiksi dan nggak benar2 ada di dunia nyata. Juga, tolong dimaklumi jika masih banyak sekali kekurangannya.

Seperti biasa, meski targetnya nggak terpenuhi, saya tetap ingin memberikan target untuk bab ini.

100 vote
37+ komentar

Segitu aja deh yang mau saya sampaikan. Selamat membaca dan jangan lupa untuk terus meninggalkan jejaknya ya...
                                                                         
🌸🌸🌸
                                                                         
Sejak menghentikan mobilnya tepat di depan pintu lobi gendung apartemen ini, Gunanta tak tahu lagi bagaimana ia bisa menghentikan detak jantungnya yang berdebar sangat kencang. Yang mana detakkannya juga menimbulkan rasa nyilu yang membuatnya merasa sedikit kesulitan bernapas.

Ditambah lagi, seorang petugas resepsionis memberikan kunci candangan serta menyebutkan angka untuk sebuah unit yang berada dalam gedung apartemen ini, Gunanta sadar bahwa dirinya bisa mati di tempat bila dirinya tidak terus memaksakan diri untuk bersikap tegar.

Langkah yang Gunanta ambil sudah sejauh ini. Ingin mundur pun rasanya percuma.

Maka, dengan menguatkan diri, Gunanta yang telah berdiri tepat di depan sebuah pintu yang tertera angka 25 tepat di depan matanya selama lebih dari lima menit lamanya itu pun mulai menggerakkan kartu yang tadi digenggamnya dengan erat.

Bisa Gunanta rasakan bulir-bulir keringat mulai mengalir menuruni kening dan menjalar turun melalui pipinya. Dan, begitu pintu di hadapannya tersebut telah berhasil dibuka, Gunanta hanya bisa tersenyum sedih kala merasa bahwa 'jebakan' yang telah disiapkan untuknya ini ternyata telah disiapkan dengan sangat matang.

Ketika merasa tidak ada gunanya lagi merasa ragu, perlahan dan seolah tidak ingin ada siapapun yang menyadari kedatangannya, sambil menekan bagian dadanya yang terasa nyeri, Gunanta membuka pintu di hadapannya itu dan mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Ruang tamu yang bisa dibilang cukup luas tersebut adalah apa yang Gunanta lihat begitu dirinya melangkah masuk.

Beberapa detuk lamanya Gunanta tetap berdiri di ambang pintu yang terbuka. Sambil memindai keseluruhan ruangan, tak lupa juga Gunanta mencari apakah ada yang aneh di ruangan tersebut.

Kemudian, pada saat sepasang mata Gunanta yang diselimuti kesedihan terarah tepat ke tumpukan pakaian yang tergeletak begitu saja di atas lantai, kembali senyum pedih menghiasi bibirnya. Dengan hanya sekali lihat saja, Gunanta bisa mengenali di balik tumpukan pakaian yang tergeletak tersebut, salah satunya merupakan pakaian terusan yang tadi pagi dikenakan istrinya.

Kekehan pelan Gunanta terdengar. Rasa sakit di dadanya pun juga membuat Gunanta semakin menekan kuat dadanya.

Namun, rupanya kesedihan yang Gunanta rasakan tidak sampai di situ.

Di balik sebuah pintu yang pintunya tidak tertutup rapat, suara kikikan tertahan yang terdengar dengan segera membuat Gunanta memaksakan kakinya untuk melangkah perlahan ke arah sana.

"Memangnya kamu nggak pernah merasa kasihan terdapat suamimu?"

Satu pertanyaan yang berasal dari balik pintu tersebut membuat Gunanta semakin menajamkan pendengarannya. Suara pria yang sama sekali tak dikenalnya itu pada akhirnya membuat Gunanta menggeretakkan gigi demi menahan diri agar tak menerobos masuk.

Bukannya apa, Gunanta masih memiliki sedikit harapan. Jika seandainya saja nanti jawaban yang didengarnya atas pertanyaan tersebut bisa diterima, maka setidaknya Gunanta masih memiliki maaf untuk wanita yang tadi pagi meminta izin untuk bertemu dengan teman-teman arisannya.

Selamanya [ON GOING]Where stories live. Discover now