8 # Hampir Mendekati

370 85 29
                                    

Sore semuanya...

Sebelum baca, saya mau kasih tau sedikit kalau di bab kemari ada sedikit yang saya ubah, tepatnya pembicaraan Aiyana dengan neneknya. Yang semula 40 jadi 37. Biar pas aja gitu.

Nah... mulai bab ini juga, saya bakalan ngasih target. Target terpenuhi, baru saya akan update bab selanjutnya. Tapi bila nggak terpenuhi, maka ditunggu aja kapan updatenya. Capek soalnya, nunggu jumlah komen yg keliatan sulit untuk mendekati cukup memuaskan tanpa gunain target.

Target untuk bab ini 150+ vote dan 40+ komentar.

Segitu aja. Selamat membaca dan semoga makin deg-degan karena nggak lama lagi kita akan segera sampai ke bagian 'peristiwa' itu.
                                                                         
🌸🌸🌸
                                                                         
Pada malam harinya, dimana biasanya Faiz selalu sibuk dan sulit untuk berkumpul bersama para sahabatnya di rumah orang tuanya Andi, kini pria yang tampak santai dengan mengenakan baju kaos lengan panjang serta celana jeans sebagai bawahannya itu telah duduk diapik diantara Kaiven dan juga Andi.

Kedua sahabatnya yang sangat penasaran dengan sikapnya yang tak biasa itu langsung mengangkat kedua alis demi menggoda dirinya.

Sedangkan Aiman sendiri, karena demi menemani malaikat kecilnya yang masih membutuhkan waktu untuk penyesuaian, tidak bisa datang dan hanya menitipkan salam, agar Faiz bersabar diri apa bila dijadikan sebagai bahan godaan oleh Kaiven maupun Andi.

Sekarang baru akhirnya Faiz mengerti, betapa dongkolnya perasaan Aiman saat terus diganggu dan mendapat godaan dari sahabat mereka, terutama oleh Kaiven yang bibirnya tersenyum lebar, siap untuk terus menggali dibalik tingkahnya yang tak biasa ini.

"Ayo, Iz, ceritakan kepada kami, apa yang membuat pengusaha super sibuk seperti kau ini, yang sangat sulit untuk menyempatkan waktu, sekarang malah sudah lebih dulu datang ke sini?" Kaiven memulai godaannya. Sifat usilnya, karena Aiman yang biasanya digoda tidak berada di sini, Kaiven pun mengarahkannya kepada Faiz.

"Betul itu." Andi ikut menimpali. "Bahkan kata Hafizh, sahabat kita yang satu ini juga beberapa kali menemui Aiman di club. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, yang pasti Hafizh nggak pernah bisa mendengarnya."

"Hayo... cepat katakan. Kalau nggak mau kami gelitiki sampai kau nggak bisa berhenti ketawa, jawab rasa penasaran kami tanpa ada yang ditutupi. Lagi pula, sahabatmu itu bukan cuma Aiman. Masa dia boleh mendengar masalahmu dan kami nggak boleh."

"Kalau kita nggak dianggap seperti ini, sudah seperti bini tua yang ditinggalin karena adanya bini muda."

Perkataan Kaiven dan Andi yang diucapkan secara bergantian tersebut membuat Faiz menutup sejenak matanya karena kesal.

Tidak seperti Aiman yang kesabarannya patut diacungi jempol karena bisa sabar menghadapi kekonyolan kedua sahabat mereka, Faiz tentunya tidak bisa berlaku seperti itu. Kesabarannya setipis tipu, yang mana bisa langsung tersulut andai Faiz tak kuat menahan dirinya.

Namun, dikarenakan saat ini Faiz menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah orang dan saat ini sang tuan rumah sedang duduk di depannya dengan meja kaca sebagai pembatas, Faiz memutuskan untuk memegang erat tali kesabarannya.

Sebagai gantinya, setelah menghela napas panjang berulang kali, Faiz kembali membuka matanya dan menanyakan, "Kalian kenal dengan Haidar Aziz, nggak?"

Perubahan topik pembicaraan yang tiba-tiba tersebut pastinya membuat Kaiven dan Andi bingung. Setelah sempat saling melemparkan pandangan, kedua pria pun mengedikkan bahu pasrah karena tidak bisa memaksa sahabat mereka yang sangat tertutup dan tak jarang membicarakan masalah pribadi itu untuk jujur mengatakan apa yang ada di hati juga pikirannya.

Selamanya [ON GOING]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant