19 # Pertemuan Pertama

307 85 29
                                    

100 vote
36+ komentar
                                                                       
🌸🌸🌸
                                                                       
Sesuai dengan yang sudah direncanakan, setelah makan dan berbelanja pakaian, Faiz tak mengarahkan mobil yang dikendarai menuju rumah.

Meski jarak yang ditempuh ke desa dimana neneknya Aiyana dimakamkan berada membutuhkan waktu berjam-jam menggunakan kendaraan, Faiz tak ingin meminta Alfa untuk menjadi supirnya hari ini. Jadilah, meski punggungnya terasa kaku karena duduk untuk waktu yang lama, Faiz masih bisa menahannya. Asalkan waktunya bersama Aiyana tak terganggu, bahkan Faiz bersedia untuk menyetir sendiri selama apapun itu.

Lalu, setelah akhirnya mereka sampai di area pemakaman yang cukup luas dan terdapat cukup banyak makam di sana, tak ingin kehadirannya membuat Aiyana merasa tidak nyaman untuk menuangkan segala isi hatinya kepada neneknya, Faiz pun berinisitif pergi ke sebuah banguan yang kecil yang dinding dan lantainya terbuat dari anyaman bambu, yang letaknya berada tak jauh dari sebuah makam, dimana sekarang Aiyana sedang duduk berjongkok di dekatnya.

Pikirnya, karena di wilayah ini tidak akan mungkin ada orang yang berniat jahat dan juga karena posisi duduknya saat ini cukup dekat, meski ada sebuah dinding anyaman bambu yang menghalangi, Faiz merasa bisa mengendorkan sedikit kewaspadaannya.

Sambil memeriksa beberapa berkas yang dikirimkan Abyan melalui email, Faiz duduk di sana sembari menunggu Aiyana selesai bercakap-cakap dengan neneknya.

Sudah tentu tindakan pria itu yang meninggalkannya sendiri di dekat makam neneknya ini tidak Aiyana sia-siakan.

Merasa lega karena tidak ada lagi sepasang mata tajam yang selalu mengawasi pergerakannya, Aiyana mengulurkan tangan kanannya ke arah batu nisan yang bertuliskan nama neneknya dan mengelusnya lembut.

Tidak satu pun ada kata yang mampu Aiyana ucapkan demi mengatakan segala isi hatinya. Hanya air mata saja yang tiba-tiba mengalir tanpa bisa Aiyana tahan.

Sungguh, sebenarnya banyak sekali yang ingin Aiyana katakan kepada neneknya. Tapi, saking banyaknya kesedihan yang ingin diceritakan, Aiyana takut malah membuat neneknya tidak bisa beristirahat dengan tenang di alam sana.

Jadinya Aiyana memilih menahan. Menyimpan segala kesedihan yang dialaminya selama tiga terakhir. Dan hanya membiarkan air matanya yang mengalir, sebagai ungkapan bahwa hidup yang dijalaninya sejak sepeninggalan neneknya tidaklah mudah. Bahkan bisa dibilang jauh lebih sulit ketimbang saat neneknya masih ada.

"Kalau mau nangis, sebaiknya tidak usah ditahan begitu. Selain menyakiti diri sendiri, orang yang sudah meninggalkan akan turut sedih bila melihatnya dari atas sana."

Aiyana terlonjak terkejut. Bahkan karena terkejut, Aiyana yang awalnya hendak langsung berdiri usai mendengar kata-kata yang suaranya terdengar dari balik punggungnya itu malah jatuh terduduk. Sehingga suara mengaduh terlepas dari bibirnya kala rasa sakit terasa di pantatnya yang bertubrukan cukup keras dengan keras.

"Hati-hati... "

Suara lembut yang seolah menyimpan kekhawatiran di dalamnya itu membuat Aiyana terpaku. Niatnya yang ingin segera bangkit akhirnya ia urungkan dan digantinya dengan mendongakkan kepala demi melihat siapakah orangnya yang sedang berbicara dengannya itu.

Senyum lembut di bibir pria itu seketika membuat Aiyana tak mampu mengalihkan pandangan. Tampilan pria itu yang hanya mengenakan kemeja berwarna hitam yang lengannya digulung hingga ke siku serta celana bahan yang juga berwarna serupa dengan pakaiannya, pada kenyataannya tak membuat kelembutan di senyum pria itu berkurang.

Selamanya [ON GOING]Место, где живут истории. Откройте их для себя