Bagian 20 || Bintang, Memori, dan Kerinduan

208 23 3
                                    

[ Halilintar POV ]

Aku mengusap keringat yang terus mengalir. Pagi ini mentari tidak terlalu memancarkan sinar, jadi aku memutuskan untuk lari pagi. Ini memang jarang aku lakukan semenjak aku kuliah. Aku membuka tutup botol yang aku bawa dari rumah, meminumnya seperti orang yang sangat kehausan.

Aku mengerjapkan mataku, lihatlah pemandangan di depan ini. Pasangan suami-istri dan anak yang mungkin berusia satu tahun. Apakah aku dan Yaya akan seperti itu?

Eh.. apa yang aku pikirkan?

Aku menggeleng, semenjak Yaya pergi, pikiranku terus menuju Yaya. Lelah, itu yang ku rasakan. Aku tidak tau harus mau bagaimana lagi. Beribu cara agar Yaya hilang dari pikiranku, tapi Tuhan seakan tidak mengizinkan agar Yaya hilang dalam pikiranku. Mungkin agar aku terus mengingat perilaku yang jahat pada Yaya? Aku juga tidak tau.

"Paman.." aku menoleh.

"Apakah paman ingin bermain?" tanya anak itu dengan mata berbinar.

Aku menaikkan alisku, kemudian menghela nafas. "Kamu kekurangan pemain?" tanyaku selembut mungkin. Anak itu menggeleng, "tidak juga, paman. Kami hanya kurang wasit saja." Oh, menjadi seorang wasit juga tidak buruk, baiklah.. aku akan menerima ajakannya.

"Aku akan ikut bermain." Anak itu bersorak, kemudian ia berteriak kepada teman-temannya. Teman-temannya juga ikut bersorak. Tanganku digenggam, ia menarikku dan aku hanya pasrah saja. Kemudian ia menyuruhku untuk duduk dan menonton, "paman harus jujur ya menjadi wasitnya!" aku tertawa dalam hati dan hanya mengangguk-angguk saja.

Selama permainan, aku hanya diam saja dan menonton mereka bermain. Lucu, satu kata untuk mereka. Kemudian ada salah satu anak berhasil memasukkan bolanya ke gawang lawan. "Lihat, aku sangat hebat bukan?!" ada yang mencibir dan ada yang tertawa.

Aku hanya tersenyum melihatnya.

"Paman, aku sangat hebat!" aku hanya mengangguk.

Kemudian mereka lanjut bermain. Di tengah-tengah permainan, tiba-tiba ada seorang anak menarik tangan anak yang sedang menendang bola hingga terjatuh. Lantas teman tim-nya tidak terima sehingga memukul anak yang tadi menarik temannya. Suasana menjadi ricuh. Aku cepat-cepat memisahkan mereka.

"Hentikan, hentikan." Ajaib, mereka langsung berhenti. Tapi mata mereka saling melirik sinis.

"Paman, dia curang." Anak yang menarik tadi maju dengan emosi dan mau memukul, tanganku otomatis menggenggam tangannya. "Tidak ada emosi, bukankah menang kalah itu sama saja?" semuanya mengangguk kecuali anak yang aku genggam tangannya. "Hei, bersikaplah sportif, kau bisa kehilangan teman jika kau bersikap emosi karena perihal kecil saja. Kau tidak ingin kehilangan teman, bukan?" anak itu menggeleng.

Aku tersenyum bangga, "bagus, sekarang kau minta maaf kepada mereka." Tetapi anak itu tidak bergerak untuk meminta maaf. "Dia tidak akan pernah meminta maaf pada kita, paman." Aku menoleh, "kenapa?"

"Sifatnya memang begitu." Ucap anak lainnya.

Aku langsung menoleh kembali ke anak yang ku genggam. "Betulkah?" anak itu mengangguk, "kenapa begitu? Apa karena sifatmu?"

"Bukan, hanya saja aku tidak pernah diajarkan cara meminta maaf. Ayah ku sudah pergi bersama perempuan lain sedangkan mama, dia hanya sibuk bekerja dan melupakanku." Aku terdiam begitu juga dengan anak lainnya. Itu membuatku sedikit tertohok. Pantas anak ini tidak bisa meminta maaf, orang tua-nya saja tidak ada yang peduli padanya. "Aku akan mengajarkan cara meminta maaf."

Anak itu hanya diam. "Pertama-tama, turunkan gengsi. Kedua, hatimu harus benar-benar berniat meminta maaf. Ketiga, saat kau meminta maaf, pelankan suaramu dan ingat jangan sekali-kali mengeraskan suara saat minta maaf."

ᵃᵏᵘ ᵃᵗᵃᵘ ᵈⁱᵃ? || Hᴀʟɪʟɪɴᴛᴀʀ × Yᴀʏᴀ × IᴄᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang