Bagian 21

226 26 17
                                    

Empat bulan.

Sudah empat bulan berjalan, Ice menjadi dingin dan pendiam. Ia tidak pernah berbicara pada siapapun, ia masih kecewa dengan semua perilaku teman-temannya. Ice yang sedikit ramah sekarang menghilang. Bahkan disaat dosen menyuruhnya untuk memaafkan perilaku teman-temannya, ia tidak mau, sampai Yaya-pun ditemukan ia tidak akan pernah memafkan teman-temannya.

"Ice.. apa kau ingat toko bunga yang dulu aku pernah ceritakan padamu?" Ice mengangguk. Syifa tersenyum, "toko itu sudah buka, dua hari yang lalu grandopening. Sayang aku tidak kesana, kau tidak mau kesana?"

"Untuk apa?"

"Membeli bunga untuk saudaramu yang sudah mati." Ice hanya sempat bercerita bahwa ia adalah dari anak lima bersaudara dan satu saudaranya ada yang sudah meninggal.

Ice menegang, perasaan bersalah itu mengakar, ia tidak pernah mengunjungi makam Blaze. "Aku akan kesana, mungkin."

"Jangan mungkin, harus! Kau harus kesana!" Ice mengembuskan nafas, "baiklah, aku akan kesana." Syifa tersenyum, senang bisa mempertemukan Ice dengan seseorang dan juga Ice menuruti ucapannya.

"Kapan kau akan kesana?"

Ice mengembuskan nafas, "mungkin setelah kerja." Syifa mengacungkan jempol.

"Kau harus kesana atau kau akan menyesal."

•••

[ Ice POV ]

Menyesal tidak kesana, untuk apa aku menyesal? Memangnya bakal ada apa disana?

Aku masih diam di dalam mobil. Sekali-kali aku menatap bangunan toko yang dibangun oleh Taufan. Bangunan itu sangat sederhana tapi luas. Di depan toko terpajang beberapa bunga. Lalu aku keluar dari mobil. Aku mengenal bunga yang dipajang, itu semua kesukaan Yaya.

Kebetulan saja atau bagaimana?

Aku menggeleng, mungkin memang kebetulan saja. Aku masuk, wah.. tercengang melihat desain interior dari toko ini. Taufan pasti sangat menghabiskan uang untuk membayar arsitek agar bangunan ini sangat bagus dipandang. Aku mulai berkeliling untuk menemukan bunga tulip, Blaze suka itu, aku masih mengingatnya.

Dan aku menemukan bunga tulip di dekat bunga mawar. Membeli beberapa tangkai mungkin cukup. Tapi aku masih terdiam sesaat, melihat tulip mengingatku pada Blaze. Andai saja Ying tidak dendam, Blaze masih hidup dan kami tentu tidak akan seperti ini.

"Ada yang bisa ku bantu?"

Deg!

Suara ini..

Ya.. suara yang aku rindukan empat bulan ini.

Aku menoleh, dan itu benar.. Yaya disini, ia juga mematung melihatku. "Uhm, hai Ice." Aku langsung memeluk Yaya, rasa rinduku akhirnya terobati. Tanpa sadar, aku menangis, Yaya menepuk-nepuk punggungku.

"Jangan menangis, Ice. Itu bukan dirimu." Aku menggeleng pelan. Aku menaruh kepalaku di kepalanya, memeluknya sangat erat takut dia akan pergi lagi.

"Ja- jahat." Yaya tertawa kecil.

"Iya, aku jahat, maaf ya."

Jadi maksud Syifa adalah ini? Dia takut aku menyesal tidak kesini karena ini? Ah.. bersyukur sekali aku mengikuti ucapannya, andaikan aku tidak mengikuti ucapannya, aku tidak tau apa yang terjadi di masa depan.

"Taufan juga jahat." Dan jangan lupakan Taufan, dia sangat jahat. Mengapa dia tidak memberitahu ku dari awal?

"Dia kakakmu, astaga. Semuanya disini salahku, jangan kau salahkan Taufan." Aku cemberut, kenapa Yaya jadi membela Taufan?

ᵃᵏᵘ ᵃᵗᵃᵘ ᵈⁱᵃ? || Hᴀʟɪʟɪɴᴛᴀʀ × Yᴀʏᴀ × IᴄᴇWo Geschichten leben. Entdecke jetzt