Bab 36 : Semestinya

4K 202 11
                                    

36

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

36. Semestinya

Mata Caca terus menatap ke pantulan cermin di depannya, tatapan heran akan keberadaan Anin yang tiba-tiba ada di kamarnya selepas dirinya keluar dari kamar mandi. Bahkan dia terus mengeluarkan kalimat yang sama sekali tidak Caca pahami konteksnya menuju ke arah mana. Kakak perempuannya itu mendadak membantunya bersiap-siap, mulai dari memilih baju sampai dirinya membantu Caca berias dengan alat make-up yang dia miliki. Pertanyaan Caca hanya satu, sejak kapan tas make-up kakaknya ini ada di atas meja riasnya?

"Bunda sama Ayah udah tau soal ini?" pertanyaan yang sebenarnya sudah pasti menjurus pada Acara Caca malam ini baru Caca sadari. 

"Baru kenal, lagian dia cuma ngajak Caca jalan doang bukan ngelamar."

"Tetep aja dong, Ca. Harusnya kamu kasih tau Mbak atau Bunda, kalau gini kan jadi terkesan mendadak."

Iya, kayak Mbak yang mendadak dilamar Mas Marel. Caca meringis bila mengingat bagaimana dirinya dikejutkan dengan kabar lamaran antara Marel dan Anin, bahkan rasanya dia masih belum percaya dengan itu. 

"Caca belum yakin juga, lagian wajar kali Mbak kalo Caca diajak PDKT."

"Ya emang wajar, tapi-,"

"Udah, Mbak. Makasih bantuannya, Caca bisa atasin yang lainnya. Mbak kan sibuk, mending lanjutin aja urus-urus persiapan nikahnya." Caca mendorong Anin keluar dari kamarnya lalu mengunci rapat pintu kamarnya. 

Anin menatap kecewa sikap adiknya ini, padahal dia berniat baik memperbaiki hubungan mereka yang entah sejak kapan merenggang. Anin hanya ingin kembali dekat dengan adiknya sebelum dia akan sibuk dengan kehidupan setelah pernikahan, namun rasanya itu tidak mudah untuknya. 

"Dek? Kamu udah selesai bantuin Caca?" Marel muncul di belakangnya, Anin mencoba memperbaiki ekspresi sedihnya namun dia kalah cepat dengan calon suaminya yang tanggap membaca wajah Anin. "Caca nggak ada bentak kamu kan?"

"Hah? Enggak kok, kenapa aku harus dibentak adikku, mas?"

"Tapi tadi wajah kamu-,"

"Udah yuk mending kita makan aja, bukannya tadi mas mau makan lontong sayur buatan Bunda kan?" Anin tidak mau membahasnya lebih lanjut, dia tidak ingin Marel menganggap Caca memusuhinya. 

Caca menatap cermin, berusaha mengatur wajahnya yang terlihat frustasi. Dia merasa bersalah karena bersikap kasar pada Anin. Caca tidak ada niat memusuhi kakaknya itu, hanya saja dia benci mengakui bahwa dia cemburu dengan apa yang Anin miliki saat ini. Dia cemburu karena pada akhirnya cinta pertamanya malah jatuh ke Kakaknya sendiri. 

"It's okey, Ca. Cukup buka lembaran baru sama orang yang baru."

Dentingan notif dari ponsel Caca terdengar, satu pesan singkat masuk dengan nomer tidak dikenali. 

Unknown : Malam, Caca. Ini saya, Zafran. Malam ini, kita jadi kan?

Pesan singkat yang berasal dari orang asing untuk Caca nyatanya dapat membangkitkan semangat hidup Caca. Senyumnya manis yang memudar karena konflik batin kini terukir kembali, semua itu berkat kalimat yang Zafran rangkai dalam pesan tersebut. 

Three Little WordsWhere stories live. Discover now