Bab 40 : Perbaiki Yang Lebur

4.6K 279 29
                                    


Maaf karena harus menunggu lama, selamat membaca!

Maaf karena harus menunggu lama, selamat membaca!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

40. Perbaiki Yang Lebur

Keputusan Caca untuk pulang tidak serta merta menguraikan rasa sakit hatinya kemarin, dirinya memang berupaya untuk berdamai dan menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi. Namun untuk melupakan bagaimana dirinya dibenci oleh seisi rumah karena terungkapnya fakta bahwa putri bungsu rumah tersebut memendam rasa pada calon suami putrinya yang lain membuat hati Caca begitu sakit.

Awalnya Caca hanya berdiri saja setibanya di depan rumah, dia merasa enggan untuk masuk ke dalam rumah yang semalam dilanda badai besar. El sebagai sosok yang menjanjikan benteng pembelaan untuk Caca gesit memahami apa yang terjadi pada adiknya itu. Dia merangkul adiknya bersama memasuki rumah mereka.

Tapak kaki Caca merasakan dinginnya lantai rumah yang tidak hangat seperti biasanya, entah memang semalaman rumah dibiarkan kosong atau memang Caca merasakan keheningan yang amat menusuk relung hatinya. Matanya melirik kanan-kiri, menanti kedatangan orang rumah yang barang kali baru saja bangun dari tidurnya. Yang diharapkan mungkin bukan seluruh anggota rumah yang menyambutnya, paling tidak dia ingin bertemu ibunya yang semalaman dia ketahui menangisi putri bungsunya.

Alih-alih sang ibu, sosok yang pertama kali Caca temui adalah kakak perempuannya. Sebagai putra sulung keluarga, El berusaha bijak dalam mempersatukan kedua adiknya ini.

"Ayah Bunda kemana?" tanya El mencairkan suasana.

"Pergi ke rumah nenek, di rumah cuma aku," ungkapnya sambil sesekali melirik Caca.

"Walah, pasti kalian belum makan kan? Yaudah Mas beliin sarapan dulu."

El berlalu pergi meninggalkan kedua adiknya dengan harapan adanya tali komunikasi yang baik dalam menyelesaikan kesalahpahaman keduanya. Namun, nyatanya bagi kedua perempuan itu ekspetasi kakak sulung mereka sulit untuk dilakukan. Konon katanya, ego dua wanita mampu menghancurkan seisi dunia. Alhasil, hanya sunyi senyap yang tercipta diantara Caca dan Anin.

Merasa tidak akan ada yang mengalah, Caca bergerak meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya. Namun langkahnya terhenti setelah tangannya ditahan oleh Anin.

"Ayo kita selesaikan dengan dewasa, Ca."

Caca menghela napas, dia lantas kembali ke tempatnya dengan tatapan yang lelah. Penuh keraguan, Caca mulai mengutarakan rangkaian cerita masa lalunya yang berhubungan dengan dirinya, Marel, dan perasaan yang muncul tanpa Caca sadari. Tidak ada yang Caca tutupi, semuanya Caca luapkan kepada kakak perempuannya yang sekaligus calon istri dari pria yang pernah menjadi sosok paling dia cintai. Seakan, luapan cerita yang dibalut emosi itu ingin Caca hempaskan ke udara agar tidak memenuhi hatinya yang kini benar-benar sesak akan fakta bahwa dirinya tidak akan membagi kisah itu kepada pemiliknya.

Anin tidak bisa membendung air matanya, walaupun dirinya sangat kecewa pada adiknya namun dia tidak pernah menyangka harus mendengar cerita tragis dari kisah cinta adiknya. Anin yang selalu bermimpi mendengar kisah Cinderella dari adiknya malah menerima kisah cinta yang tidak terbalaskan. Tetapi, siapa yang harus Anin salahkan dari setiap air mata yang keluar dari adiknya itu terhadap kisah tragis tersebut? Marel? atau bahkan dirinya yang sudah memadamkan harapan Caca dalam menggenggam cinta Marel?

Three Little WordsWhere stories live. Discover now