7

14.6K 1.3K 43
                                    

"Saga ... yang dikatakan Nenek kemarin malam itu benar, rasanya aku tak layak denganmu, tolong izinkan aku menempuh karir agar aku pantas," ucap Sean, jujur saja setelah makan bersama kemarin malam, ia terus memikirkan hal ini. Walaupun ia ragu, tapi tetap saja ia ingin berusaha. Ia juga lelah jika terus dibandingkan.

"Coba bicara sekali lagi," ucap Saga, wajahnya sudah masam, bukti jika pria itu tak menyukai ucapan Sean, "Katakan lagi sialan!" teriaknya, membuat Sean terhenyak.

"Kau pikir kau siapa hah?" Saga mencengkram pergelangan tangan sang submisif, membuat Sean berontak.

"Lepaskan Saga ... ini sakit." Sean menarik tangan Saga agar tak mencekalnya begitu erat.

Tanpa perasaan Saga mendorong tubuh yang lebih kecil darinya itu sampai terdorong beberapa langkah.

"Jangan pernah menentang atau melawan, jika aku katakan tidak ... kau harus menurutinya, jika tidak akan ku rantai kau digudang agar tak kemana-mana," ucap Saga, emosinya selalu tak terbendung jika dengan Sean.

"Aku bukan anjing!" teriak Sean tak terima dengan pernyataan Saga.

Plak

Lagi-lagi Saga menamparnya, ia menekan pipi sang submisif. Amarah sudah membungbung siap meletus.

"Kau ingin membangkang sialan?!"

"Jalang ini, demi Tuhan ... selain anak jalang, pembunuh kau juga sungguh menyebalkan, kenapa kau bisa ada di dunia ini?!"

Sean menelan saliva-nya, salahnya telah membuat singa terbangun sampai rasanya ia tak ada harapan hanya untuk membuat Saga tenang saat ini.

"Saga ... tenanglah, apa dikantor ada masalah? Cerita saja, tapi jangan seperti ini. Maaf jika aku ... membuatmu marah," ucap Sean, ia masih berpikir positif jika yang membuat Saga marah adalah masalah kantor.

Saga bukanlah pria pemarah, ia pria yang lembut dengan tatapan teduh. Sean sudah mengenal suaminya jauh sebelum pernikahan, tapi entah kenapa Saga berubah, ia bukan lagi seperti Saga yang dulu. Ya, Sean harus mencari tahu sendiri jika tidak, sampai kapan ia kebingungan seperti ini, dimarahi namun tak tahu salahnya apa.

Saga pergi begitu saja, ia tak mau sampai menyakiti Sean semakin jauh. Amarahnya selalu tak bisa dikontrol jika didekat Sean, rasanya ia ingin mencekik Sean sampai menyusul Gea, apalagi prilaku Sean bak manusia suci tanpa tahu rasa bersalah. Jika Sean mati, ia tak bisa lagi menekan atau bahkan menyiksa submisif itu.

Sean hanya diam tak bergeming sampai lamunannya buyar karena getaran ponsel disakunya. Ia menghembuskan napas berat, ayahnya kembali menghubunginya.

"Bisakah jangan menghubungiku terus?" Sean mengangkat panggilan dengan kesal.

"Ayolah anak manis. Aku ingin uang, cepat minta suamimu atau aku sendiri yang datang ke sana,"

"Jangan macam-macam, aku bisa melaporkanmu ke polisi karena terus-terusan mengancamku,"

"Coba saja. Maka kau akan menyesal, kau sekarang bukanlah seorang Sean si anak jalang tapi kau sudah menyangdang status sebagai istri pengusaha, media akan geger jika mereka tahu istri pengusaha besar adalah seorang jalang ayahnya."

Sean meremat ponselnya, dadanya bergemuruh. Ia ingin melubangi kepala ayahnya itu jika bisa. Sean tak bohong jika ia tak punya uang, apalagi dalam jumlah besar. Saga akan marah jika ia tahu. Sean mematikan sambungan telepon, ia kembali memblokir nomer sang ayah.

Apa ia harus mencari kerja diam-diam? Sean menggeleng ribut, mengenyahkan pikirannya, ia tak mau sampai Saga kecewa karena tak bisa menurut. Soal ayahnya, pria tua itu tak akan berani datang, Sean yakin akan hal itu.

Di kamar Saga tengah menatap foto Gea yang menjadi walpaper laptopnya, ia selalu merindukan gadis itu. Setiap kali memikirkan Gea, rasa kebenciannya semakin bertambah pada Sean.

Andai dulu ia bisa merebut Gea dari Sean, mungkin ia tak perlu kehilangan gadis ini.

Suara pintu terbuka, membuat Saga buru-buru menutup laptopnya.

"Eum ... aku membuatkan kopi, maaf telah membuatmu marah." Sean menyimpan kopi di atas nakas. Saga tak menyahut, mengabaikan sang empu.

Keduanya sama-sama diam, mereka sudah enam bulan tinggal satu atap tapi seakan ada tembok besar yang menghalangi keduanya. Sean tak berani pada Saga dan Saga yang selalu memperlakukan Sean dengan buruk.

"Saga apa kau benar-benar mencintaiku?"

"Tentu saja, bahkan aku melawan keluargaku hanya untukmu. Kita akan bahagia Sean, kau jangan khawatir,"

"Aku takut suatu hari nanti kamu berhenti mencintaiku."

Sean menggigit bibir bawahnya, ia masih ingat perbincangan itu pada malam hari setelah pulang dari rumah besar Saga, saat suaminya itu meminta restu, bagaimana Saga meyakinkannya saat itu, benar-benar membuat Sean percaya.

Tapi sekarang nyatanya Saga berbohong, Saga bilang ia akan bahagia dan tak akan pernah berhenti mencintainya. Saga berhasil membuatnya bergantung tapi Saga dengan mudah juga mengulurnya jauh dari dekapan sang suami.

Sean menatap sendu Saga yang acuh tak acuh akan keberadaannya, sekarang Saga bahkan sering mengungkit masa lalunya. Pekerjaan ibunya dan ayahnya yang pernah melecehkannya.

"Saga ... cepatlah kembali, aku merindukanmu. Kau ada disampingku, tapi aku merasa kita berjauhan, kau selalu mengabaikanku, rasanya sakit. Aku ingin Saga yang tak pernah berhenti mengatakan 'aku mencintaimu', sekarang kalimat itu tak pernah kau ucapkan lagi. Apa salahku? Kenapa kau berubah tanpa aku tahu apa penyebabnya."


_______

Lanjut or unpublish lagi?

Udah gak semangat nihh ... komen ya huftt ....

Tahun depan gak tau bisa bikin story lagi, atau enggak. Gue usahain tamat semuanya, but gak tahu juga.

Broken [END]Where stories live. Discover now