26

18.4K 1.6K 125
                                    

Eby menatap malas pada Saga, sudah hampir setengah jam temannya ini tak mengambil keputusan.

"Kau bisa meminta maaf padanya, lalu kau beli bunga ditoko ujung jalan sana. Kekasihku selalu kubujuk seperti itu, aku yakin Sean akan memaafkanmu," tutur Eby. Baru kali ini Saga meminta sarannya, ia tahu semuanya. Ya tentu saja, selain masa lalu yang ia tahu sekarang ia juga tahu kekeliruan Saga, baru saja temannya ini menceritakannya. Saga bukan tipe orang yang selalu meminta saran atau bahkan banyak bicara terlebih bercerita tapi kali ini Saga sedikit terbuka, Eby merasa senang akan hal itu.

"Apa aku mencintainya?"

Lagi pertanyaan yang entah berapa kali terlontar dari dominan itu, Saga masih terlihat bingung akan perasaannya. Eby tahu Saga bukan tak merasakan apapun, tapi temannya ini tak paham bagaimana mendefinisikan dan ia tak tahu disebut apa setiap rasa yang singgah dihatinya. Ia seperti buta akan setiap perasaan.

"Ya, kau mencintainya. Kau dengar kata ibumu, dia bilang Sean cintamu bahkan aku mengatakan hal sama. Percaya padaku." Eby menepuk bahu Saga, meyakinkan pria itu.

Saga menghela napas, banyak sekali yang ia tak mengerti. Banyak hal yang selalu membuatnya tertekan tapi entah apa, Saga bingung akan hal itu.

"Ga, jika kau merasa sesuatu yang kosong. Kau bisa mengatakannya padaku, kau bisa bertanya padaku. Kita teman," tutur Eby seakan mengerti akan isi kepala Sean. "Pulanglah dan minta maaf, semuanya belum terlambat," sambungnya.

Saga mengangguk, ia beranjak dari duduknya. Berterima kasih lalu pergi, saat diperjalanan pulang ia terus melapalkan jika Sean cintanya, itu yang ia tekankan pada hatinya. Saga juga mampir ke toko bunga, memilih secara acak bunga di sana, ia tak tahu bunga seperti apa yang Sean sukai.

"Cobalah tersenyum, Sean akan menyukainya."

Segaris senyum kaku terbit diwajahnya, Saga berusaha tenang kali ini. Ia tak bisa kehilangan Sean, Sean itu miliknya. Sean cintanya bukan? Maka karena itu Saga akan berusaha keras untuk menjadi apa yang Sean inginkan. Selama beberapa hari ia memikirkan hal ini, ia berusaha meyakinkan dirinya akan hal itu karena mendengar perkataan Ryka. Jadi selama ini Sean bukan yang melenyapkan Gea? Jadi dirinya yang salah. Tapi ini semua karena Sean juga, maka karena itu Sean harus tetap bersamanya.

Berbeda dengan si empu, submisif yang ia tekankan sebagai miliknya tengah menyeret koper. Hari ini ia putuskan untuk pergi setelah beberapa hari ia memikirkan segalanya.

"Kau akan baik-baik saja setelah ini. Kita akan hidup berdua, hanya berdua." Sean mengelus perutnya yang sebentar lagi menginjak delapan bulan.

Ditatapnya rumah besar yang sudah menjadi saksi penderitaan dan cintanya, walau terasa berat Sean akan melakukannya. Saga bukan lagi Saganya melainkan manusia iblis yang harus ditinggalkan. Ryka sendiri membubarkan para pelayan memecatnya tanpa alasan, Sean sempat bingung akan hal itu tapi wanita itu mengatakannya jika ini demi kebaikan bersama.

Napas lelah terhembus, dilangkahkan kaki menyeret koper meninggalkan segala kenangan pahit.

"Selamat tinggal Saga."

Kalimat perpisahan yang hanya bisa di dengar angin. Submisif itu menaiki taxi, yang akan membawanya jauh dari jangkauan manusia bajingan yang sayangnya ayah dari anaknya.

__________

Keningnya mengerut saat mendapati rumah terasa sepi, hening bagai tak ada manusia. Suara hentakan sepatu dan lantai bahkan terdengar nyaring saking tak adanya suara.

Ini masih pukul sembilan malam tak biasanya rumah se-sepi ini, biasanya akan ada Sean yang duduk di sofa menonton televisi dengan cemilannya.

Saga menatap cermin di sudut ruangan, menatap dirinya yang berusaha memberi senyuman terbaik.

"Maaf Sean," ucap Saga. Dengan segaris senyum yang belum pernah ia berikan pada Sean.

Saga sedikit bersemangat menaiki tangga, membayangkan bagaimana ekspresi Sean yang mungkin akan terkejut.

"Sean ... "

Hening, tak ada sahutan. Saga tetap tenang tak ada ekspresi berlebih. Ia membuka pintu kamar mandi yang sama kosongnya.

"Kemana dia?" monolog si empu.

Beberapa ruangan Saga cek hanya untuk mencari Sean, para pelayan bahkan tak terlihat satupun membuat Saga heran, terlebih kamar para pelayan sama kosongnya. Namun Saga tak menyerah, ia mengelilingi rumah besarnya sampai ke halaman belakang tetap saja, kosong.

Jantunngnya berdetak dua kali lipat, tangannya mengepal membuat bunga di genggamannya teremat erat.

Saga kembali ke kamar, ia lupa melihat lemari Sean.

Kosong.

Semua pakaian submisifnya kosong, hatinya mencelos rasanya aneh. Saga tak tahu bagaimana rasanya, tapi ini terasa tak nyaman. Secarik kertas terlihat di atas nakas. Saga membukanya dengan pikiran kacau.

Saga ....

Aku pergi ... maaf.
Aku takut, aku selalu ketakutan. Sudah kukatakan aku tak bisa menjamin bisa mencintai Saga yang sekarang.

Aku memutuskan pergi bersama anak kita, tak apa jika kau tak mau mengakuinya. Dia hanya anakku, aku akan mengatakan hal itu padanya.

Aku mencintaimu Saga, aku terpaksa pergi demi diriku. Maaf jika aku egois, aku tak mau sampai anakku terluka, aku ingin ia hidup bahagia.

Aku bersumpah Saga, bukan aku yang membuat Gea bunuh diri. Mungkin setelah aku meninggalkan rumah ini, dengan leluasa aku akan mencari siapa dalang dari semuanya sampai Gea memutuskan melompat dari gedung.

Rasanya sakit saat kau terus memaki bahkan mengatakan membenciku, aku berusaha bertahan tapi hari ini kita usai, tidak lagi. Aku tak bisa lagi bertahan dengan sosok yang mengerikan, kau menakutkan bagiku Saga. Selama ini aku berharap kau berubah tapi nyatanya tidak, kau terus membuatku terluka dan ketakutan.

Mari berpisah. Aku pergi, maaf.

Sean pramugya

"Dia pergi?" Saga terkekeh setelah membaca deretan kalimat perpisahan itu, dilihatnya bunga yang ia genggam kini ia lempar, merusaknya sampai hancur.

"Bukankah dia tak akan pergi?" Saga menjambak rambutnya, ia kehilangan? Ia ditinggalkan, di abaikan?

Saga meninju cermin, sampai tangannya terluka. Persetan dengan luka, ia hanya memikirkan miliknya yang pergi.

Saga tak tahu harus bagaimana, ini terasa menyakitinya tapi ia tertawa, bukankah tawa untuk orang bahagia? Apa Saga bahagia Sean pergi? Tidak, Sean cintanya tak ada yang akan bahagia saat ditinggalkan.

Saga menyeret kakinya, tak peduli menginjak serpihan kaca. Bercak darah menetes di setiap langkahnya, ia akan mencari Sean.

"Seharusnya aku merantaimu, dan tak melepaskanmu." Saga bergumam terus-menerus.

Ia membawa mobilnya dengan amarah dan juga rasa lain yang tak ia mengerti.

"Akan kupatahkan kakimu jika aku menemukanmu," ucapnya lagi, tangannya meremat setir dengan kuat. Cairan bening meleleh dari kedua pelupuknya, kapan ia terakhir merasakan ini? Rasanya aneh, ia menangis?

Tangannya bergetar, Saga tak bisa melanjutkan menyetir. Ia membawa mobilnya ke pinggir.

Tatapannya kosong tapi kali ini keluar air mata dari sana, hanya saja tak ada isakan atau lirihan hanya sebatas lelehan air mata yang sejak lama tak keluar.

"Aku ini kenapa sebenarnya?" Saga menggigit lengannya, melampiaskan rasa yang singgah kembali setelah sekian lama.

Malam ini pewaris Gradyal merasakan kehancuran kembali, merasakan sakit seperti waktu dimana semua orang seakan meninggalkannya.

Selama ini ia selalu tak bisa menahan diri, bahkan terkadang ia termenung memikirkan siapa dirinya? Kenapa setiap saat selalu ada yang berbeda pada dirinya, memory tentang masa kejuruan seolah lenyap, ia ingat tapi alurnya bisa berubah-rubah kapan saja, semua berubah seakan mengikuti apa yang ia dengar.




Broken [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora