30

19.5K 1.6K 240
                                    

Uapan napas dikaca dipermainkan oleh tangan membentuk pola abstrak, musim dingin entah sudah dilewati berapa kali dengan kesendirian. Lalu lalang mobil di jalan sedikit menghiburnya dikala sepi mendatang. Ini sudah tahun ke lima, tapi tak ada yang berubah. Hanya saja ia tahu segalanya dengan baik dan mengerti dengan keadaannya.

Tok

Tok

Tok

Pintu diketuk, digulirnya mata melihat siapa yang meminta masuk. Di sana, wanita yang dengan sabar dan penuh kasih selalu merawatnya dan selalu ada disampingnya, empat tahun lalu ibunya resmi berpisah dengan sang ayah. Terkadang perpisahan adalah jalan terbaik, daripada bertahan namun terus-terusan tertancap duri.

"Waktunya makan," ucap wanita yang tak pernah pudar akan kecantikannya, setiap hari tetap saja cantik. "Apa yang kau pikirkan?" sambungnya.

"Tidak ada, hanya saja. Kau sangat cantik," ungkap sang putra kesayangan membuat Ryka terkekeh.

"Bagaimana harimu? Nenek sakit, jadi aku mengurusnya dulu," jelas Ryka, ia menyuapi Saga. Anaknya pendiam tak berubah dalam hal itu, hanya saja sekarang Saga tak terlalu berontak, dokter mengatakan dia sedikit lebih baik dari sebelumnya.

"Seperti biasa," jawab Saga seadanya. Ryka hanya mengulas senyum tipis.

"Kau siap menggantikanku dikantor besok?" Ryka menggenggam tangan sang anak dengan lembut.

"Aku tak yakin tapi aku akan mencoba." Saga membalas genggaman Ryka.

Rasanya senang bisa berbicara dengan Saga sesantai ini, putranya tak perlu di bius untuk tenang.

"Aku sudah tak selera makan," cetus Saga membuat Ryka merengut.

"Baiklah, kau tidur saja." Ryka berdiri, berniat menyimpan nampan.

"Apa kau tak lelah selalu merawatku?" tanya Saga tiba-tiba, Ryka mendongak dengan senyuman.

"Tentu saja tidak, kita keluarga. Aku menyayangimu, cepatlah istirahat setelah ini. Nenekmu yang cerewet semakin cerewet jika aku mengabaikannya," tutur Ryka yang di angguki Saga.

Setelah kepergian Ryka kini kembali hening, Saga beranjak dari sofa beralih ke ranjangnya. Ia berbaring, menatap langit kamar yang masih sama seperti tahun-tahun lalu.

"Bagaimana kabarmu?" gumamnya, bohong jika ia lupa dengan Sean, ia bahkan menyimpan foto Sean dibalik bantalnya. Selama ini ia tak pernah membahas Sean bersama Ryka, Saga seolah berlaku lupa akan kejadian masa dimana ia bersama Sean.

Apa ia seorang ayah sekarang? Tapi rasanya itu berbeda, ia bukan ayah yang baik dan membanggakan. Pasti anaknya sudah besar dan Sean membesarkannya sendirian. Saga meringkuk, memikirkan itu. Selama ini ia sulit menangis, tapi setelah Sean pergi Saga kembali menjadi manusia lemah yang hanya bisa menangis, menahan isakan agar tak terdengar seperti masa kecil dulu. Ia lupa rasa sakit, tapi saat ini yang menemaninya setiap hari adalah rasa sakit.

"Aku tak yakin bisa sembuh ... terkadang aku selalu ingin melakukan hal-hal yang tak kau sukai ... " Saga meremat selimutnya, berkata seolah Sean dihadapannya, padahal ia hanya fotonya saja. Ia selalu rajin meminum obat dari dokter bahkan ber-olah raga dan menjaga pola hidup sehat, hanya karena ingin sembuh dan tak mau jika suatu saat bertemu Sean, ia malah melukai submisif itu. Terkadang ada  waktu tertentu ia akan berontak, membuatnya akan kesakitan setelahnya. Melihat bekas-bekas gigitan dilengannya yang masih membiru bekas kemarin.

Terakhir pertemuan dengan Sean di rumah Alex masih membekas, bagaimana Sean menatapnya penuh benci dan lontaran kata penuh kebenaran dari mulut si manis, semuanya masih terekam jelas di otaknya. Saga memang pecundang, ia berhati dingin seperti apa yang dikatakan Sean, iblis tetap jadi iblis tak akan menjadi malaikat sekuat apapun ia berusaha.

Broken [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum