15

17.5K 1.4K 61
                                    

"Mama melupakan satu hal, waktu itu mama meminjam uang Sean sebagian." Ryka merasa bersalah, ia melupakan hal itu. Waktu itu ia menggunakan uang Sean dulu untuk membayar bahan makanan yang ia beli di swalayan.

"Sean?" Saga mengerutkan kening, sejak kapan ibunya ini dekat dengan Sean.

"Ya, waktu itu mama belanja bersama dengannya dan mama meminta Sean membayar dulu sebagian belanjaan mama," jelas Ryka.

Saga menghela napas, jadi foto yang dikirim Vanya saat itu Sean pergi dengan ibunya?

"Ada apa sayang?" Ryka mengelus tangan sang putra, yang mendapat gelengan pelan si empu.

"Kenapa tak bilang jika mengajaknya?" ucapnya.

Ryka tersenyum tipis, pasti putranya bertengkar kerena masalah itu. Ryka jadi semakin merasa bersalah.

"Maaf, mama pikir Sean sudah meminta izin. Terlebih mama tak bilang padamu, karena mama pikir Vanya tak mengajaknya juga," ucap Ryka.

Saga menghela napas lagi, ia beranjak dari duduknya. Membuat Ryka mengekorinya.

"Saga mau kemana?" Ryka menarik tangan Saga.

"Aku mau pulang ... terima kasih, jamuan mama tak pernah gagal. Aku selalu senang, titip salam pada nenek dan semuanya. Jika aku pulang duluan." Saga mencium pipi wanita yang masih cantik itu.

Ryka hanya mengangguk membiarkan anaknya itu pergi, ia tak tahu bagaimana pernikahan Saga dan Sean, yang ia tahu keduanya bahagia karena saling mencintai. Kalaupun keluarga menentang, jika Saga mencintai Sean Ryka bisa apa? Ia hanya bisa mengikuti kemauan Saga, Ryka harap keduanya bahagia, ia masih berusaha menerima Sean dan berharap keluarga besarnya pun begitu. Walaupun tak ada ke unggulan dari Sean, setidaknya anak itu tak memiliki keburukan. Selama belanja waktu itu, Sean buka tipe orang yang boros, ia sedikit pendiam. Ryka tak melihat akan sikap buruk Sean selama ini, jadi wajar bukan jika ia berusaha menerima Sean?

_____

Sean menatap jalanan dari kaca kamar, untung saja walau di rantai ia masih bisa berjalan walau sekedar dalam ruangan saja, karena jika keluar rantai itu tak sampai.

Helaan napas terhembus entah untuk ke berapa kali. Sean ingin lari dari sini, tapi sepertinya tidak bisa. Sedari tadi, kepalanya berdenyut sakit.

Krek

Suara pintu membuat atensi Sean teralihkan, Saga pulang dengan wajah kusut. Apa sesuatu sudah terjadi?

"Saga ... bagaimana makan malamnya?" Sean menghampiri sang dominan, menyeret rantai membuat suara gemericik terdengar.

"Kau sudah makan?" Saga tak mengubris ucapan sang submisif, ia seakan mengalihkan pembicaraan.

"Sudah," sahut Sean seadanya yang di angguki Saga.

Tak ada lagi perbincangan, Sean hanya diam saat Saga pergi ke kamar mandi, rutinitas Saga setiap sebelum tidur, membersihkan diri dulu.

Sean memilih membaringkan tubuhnya, kepalanya terasa berat. Ia sepertinya akan jatuh sakit, itu akan merepotkan.

Saat Saga keluar dari kamar mandi, Sean sudah terlelap. Ia menghampiri sang istri, duduk di sisi ranjang melihat lebih jelas guratan lelah dari wajah manis itu.

Diusapnya, kening yang sesekali mengerut seakan tak nyaman dalam tidurnya. Sean itu manis, dia juga selalu baik selama bersamanya. Tapi masa lalu membuat Saga enggan untuk mengakuinya, jika saja Sean tak ada keterlibatan atas kematian Gea, mungkin Saga akan dengan mudah menyukai Sean.

"Kau demam?" Saga menangkup pipi dan kening Sean bergantian. Rasa panas menjalar ke tangan, Seannya demam.

Sean melenguh tak nyaman merasa tak nyaman.

"Aku ... tak apa," sahut Sean dengan mata masih terpejam. Ia tak apa, hanya merasa pening sedikit.

Saga mendengus, tak apa? Sudah jelas Sean demam, ia beranjak dari duduknya. Saga akan mengompres Sean, mungkin bisa membantu mengurangi demamnya, besok pagi baru ia akan membawa Sean ke dokter.

Hari ini Saga sepenuhnya bersikap lembut, bahkan ia dengan telaten merawat Sean yang tiba-tiba saja demam, Saga mengusap kepala Sean sampai si empu bisa terlelap dengan nyaman.

Tapi sikap Saga yang seperti ini semakin menyakiti Sean, jika saja Saga bisa bersikap sepenuhnya kasar, maka Sean yakin ia akan dengan mudah menghilangkan perasaannya. Saga akan berubah menjadi diri yang lain jika amarahnya terpancing, Sean rasa Saga seperti memiliki dua kepribadian, itu menakutkan dimana Sean tak tahu kapan Saga akan merubah dirinya dengan diri yang lain.

Malam ini Sean terlelap ditemani dengan usapan lembut dan pijatan kecil, ia tak tahu sampai kapan Saga melakukannya. Semalaman ini Sean juga tidur dalam dekapan Saga, suaminya itu merelakan tangannya sebagai bantal, rasanya nyaman.

Namun kenyamanan itu seakan tak mau berpihak padanya, malam terasa cepat. Matahari terbit mengeluarkan sinarnya.

"Eunghh ... " Sean melenguh, matanya terasa berat untuk dibuka. Pening semakin menderanya.

"Ayo kita ke dokter sekarang," ucap Saga, ia sudah siap dengan setelannya. Ia tak tidur dari semalam, Sean terus saja melenguh dan bergerak tak nyaman dalam tidurnya, bukan sekali dua kali submisifnya itu bergumam tak jelas.

Saga langsung membawa Sean dalam gendongannya, demam Sean belum turun juga dari semalam.

Selama perjalanan ke rumah sakit, tak ayal Saga mengumpat karena macet. Wajar saja pagi hari banyak pegawai, terlebih pegawai pabrik yang berangkat ditambah anak sekolah yang juga waktunya berangkat, Saga sedikit menyesal memutuskan pergi dipagi hari, tapi ia juga sudah terlanjur izin pada ayahnya untuk tak masuk hari ini.

"Sial!" umpatnya.

"Saga ... tak apa, tak usah buru-buru." Sean menatap Saga yang mengeraskan rahang, seakan ingin menebas siapa saja yang menghalangi mobilnya.

"Hey ... kau itu sakit, dan perlu penanganan dokter. Bisa saja kau mati karena aku terlambat membawamu, jalan sialan! Hah ... kepalaku ikut sakit karena macet."

Ucapan Saga membuat Sean terkekeh, sudah lama sekali ia tak melihat kekesalan ringan Saga, pria itu tak berubah dalam hal kesal karena macet.

"Sayang ... kenapa marah, biarkan saja macet. Itu bukan masalah besar,"

"Buka masalah besar? Sean kita akan terlambat, demi Tuhan jangan terlalu sabar,"

Cup

Sean mengecup pipi Saga agar lebih tenang, ia tak suka Saga yang terus mengumpat. Kecupannya berhasil, membuat Saga diam.

"Sudah ... kita tak akan terlambat."

Sean tersenyum getir, mengingat moment dimana mereka masih pacaran, persis seperti sekarang, Saga yang kesal karena macet tapi sekarang Sean tak berani untuk mengecup Saga, bisa saja kepalanya di hantamkan pada setir mobil dan membuat kepalanya pecah mungkin.

"Saga ... bisakah bersikap lembut selamanya? Jangan berubah-berubah, aku takut. Saga aku tahu dan yakin jika kau pria baik dan lembut, jika saja masa lalu itu tak ada, aku yakin kau akan tetap menjadi Sagaku yang baik."


_____

Link shopee DLP ada dibio


Broken [END]Where stories live. Discover now