23

17.3K 1.5K 110
                                    

Tubuh Sean mengejang saat tangan dingin Alex mengusap perutnya, yang bisa membantunya saat ini hanya Saga, ia menatap pria itu sendu, memohon agar bebas.

Saga menyesap nikotin di sofa menatap Sean yang tengah di gerayangi dengan datar, ia merasa kembali ke masa lalu, dimana ayahnya melakukan itu bersama orang lain di depan ibunya, apa itu menyenangkan?

"Saga! Tidak, menjauh dariku brengsek!" Sean meneriaki Alex yang berani mengendus lehernya.

Tangan dan kakinya sudah terluka, darah mengotori sepre putih itu, bayangkan saja tangannya di ikat tali kawat dan ia sedari tadi berontak, demi neptuna ia berharap ini hanyalah sebuah mimpi.

"Saga ... aku mohon, Saga!" teriak Sean tapi seakan angin lalu bagi Saga. Pria itu duduk santai seakan tengah menonton sebuah acara menyenangkan.

Saga menatap Sean tampak kosong, ia tak merasakan apapun. Ia sama sekali tak merasa sebagai mana mestinya, ia tak merasa tega atau bahkan kasihan, menyenangkan? Itu juga tidak, rasanya kosong, Saga tak suka dengan hal ini. Selalu seperti ini.

"Saga ... aku percaya kau memiliki hati, kau bisa mencintai Gea, kau juga pasti memiliki empati, kau bukan monster atau bahkan iblis ... kau tidak kejam Saga ... "

Isak tangis Sean semakin menjadi, tapi Saga masih berlarut dalam lamunannya, mencari rasa yang dimaksud Sean. Apa ia iblis? Apa ia kejam?

"Dia berbahaya, ia tak bisa bermain anak se usianya. Itu akan buruk bagi yang lain,"

"Apa putraku menjadi kejam? Dia bukan iblis!"

Tangan Saga mengepal, sekelibat bayang masa lalu menghampirinya. Ia menggulir matanya melihat Alex yang sudah mengeluarkan penisnya, bersiap menerobos anal si manis.

"Aku lebih baik mati daripada kau menyentuhku brengsek!"

Mati?

Mati?

Saga beranjak, di tendangnya pria paruh baya itu. Matanya nyaris bagai elang yang siap memakan mangsanya.

"Apa yang kau lakukan menantu?!" Alex berdiri dengan susah payah, pinggangnya terasa ngilu karena tendangan Saga.

"Keluar," ucap Saga rendah, ia berusaha mati-matian mengontrol emosinya yang siap mengeluarkan lahar.

"Bagaimana? Aku belum memasukinya, kau sendiri yang menyuruhku," sahut Alex tak terima, ia sangat menantikan ini.

"Pergi sebelum penismu kujadikan makanan anjing," ucap Saga penuh penekanan. Alex merasa ciut dengan ancaman Saga, ia bergegas pergi dengan cepat.

Sean percaya itu, ia percaya Saga tak akan sekejam itu. Saga memiliki hati, ia tak akan sampai membiarkan semuanya terjadi.

"Kau puas huh?" Saga menghampiri Sean, duduk di sisi ranjang. Sean menggeleng pelan, ia tahu sekarang jangan pernah menyebut Saga iblis atau kejam, agar ia tak melakukan hal layaknya iblis.

"Saga ... maaf," ucap Sean lirih. Rasanya seperti orang lain yang menusukmu dengan pisau tapi kau sendiri yang harus minta maaf karena ia terkena cipratan darahmu. Saat ini yang bisa melukainya Saga dan Saga juga yang bisa melindunginya. Sean harus menerima akan takdir ini.

"Iblis tak menerima kata maaf." Saga melepas ikatan kawat Sean, lengan dan kaki Sean benar-benar terluka karena kawat. Melihat darah Sean yang masih menetes Saga menjilatnya, menyedot darah itu agar berhenti menetes membuat Sean sedikit meringis.

"Shhh ... itu menjijikan Saga." Sean mencegah Saga agar tak menjilat kakinya, tapi si empu menulikan telinganya.

"Dimana saja tua bangka itu menyentuhmu?" tanya Saga, bibirnya memerah karena darah. Sean rasa Saga bukan manusia melainkan vampir penghisap darah, itu mengerikan.

Dengan tangan bergetar ia menunjuk bagian tubuhnya yang disentuh Alex, hatinya sakit sangat mengingat itu. Alex adalah luka terdalamnya, ia bahkan masih belum lupa kejadian masa lalu. Sean membiarkan Saga menjilat setiap titik dimana Alex menyentuhnya, setidaknya ini saga, walau Saga begitu mengerikan nyatanya dihatinya masih ada Saga.

Sean tak bisa menahan tangisnya, kenapa kehidupan begitu kejam. Hari ini ia rasa dalam hidupnya keburutungan itu saat Gea menyukainya, setidaknya masih ada manusia yang menyayanginya dengan tulus selain sang ibu.

"Apa lagi sekarang? Kau tak jadi dilecehkan sampai kau harus menangis." Saga mengelus pipi Sean, yang sudah basah akan air mata.

"Saga ... aku mencintaimu yang dulu, aku tak berani jamin akan mencintai Saga yang sekarang. Maaf," ucap Sean dibarengi tangis. Sosok yang ia anggap cahaya, hanyalah sebuah lilin yang sudah habis. Saganya bukan lagi Saga yang baik hati.

"Saga." Sean mengelus pipi Saga yang terasa dingin, menyelam netra kelam yang tak bisa ditebak apa yang si empu pikirkan. "Kau bukan ibliskan? Kau tidak kejam, kau anak baik. Kau pria hebat, anak kita akan bangga memiliki ayah seperrimu," sambung Sean.

"Kenapa kau yakin anak itu akan lahir," sahut Saga membuat segaris senyum Sean lenyap. "Apa kau tak takut jika ia lahir, ia akan seperti aku?" sambungnya.

Sean meremas sepre, apa yang dikatakan Saga berhasil menusuk ulu hatinya. Anaknya tak akan seperti Saga, ia yakin akan hal itu.

"Kau takut bukan?" ucap Saga lagi. "Maka dari itu lebih baik dia tak lahir," sambungnya.

Setelah mengatakan hal itu, Saga beranjak pergi.

"Kau tak tahu hidup tanpa merasakan apapun, kau bagai zombie hidup yang tak memiliki rasa. Kau seakan memakan apapun yang kau lihat. Aku tahu bagaimana hidup dengan keadaan seperti itu, tak pernah lahir ke dunia itu jauh lebih baik."

____

Yang mau masuk gc readers, bolehh ya.

Broken [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang