22

16.2K 1.4K 174
                                    

Malam demi malam terasa semakin dingin bagi Sean. Ia terbebas dari rantai atau pelukan erat Saga di setiap malam, hanya saja ia sering kali merasa tak nyaman saat tak merasakan pelukan Saga. Ini bulan ketujuh masa kehamilannya dan Saga benar-benar mengabaikannya. Mungkin Sean tak masalah akan hal itu, tapi sudah hari ketiga selalu terdengar desahan dari kamar tamu, kamar yang selalu Saga tempati selama ia tak tidur bersamanya.

Sean mengetuk pintu yang tak seharusnya ia lakukan, tapi ia muak mendengar desahan menjijikan seorang wanita.

Tok

Tok

"Eunghh   .... "

"Sagah ... hhh ... "

Sean memberanikan diri sampai suara desahan itu berhenti beralih suara kunci dibuka, ia menelan salivanya mendapati Saga tengah bertelanjang dada. Sebelah alis tebal itu naik, menatapnya penuh tanya.

"Sa-saga mau tidur bersamaku?" cicit Sean, ia tak berpikir bisa seberani ini. Sampai mengajak Saga.

"Aku tak mau." Tolak si empu, membuat Sean menunduk memilin piyamanya. Ia tak suka Saga bersama yang lain, bukankah hidupnya milik Saga? Kenapa Saga justru bersama orang lain, kenapa tidak bersamanya saja?

"Lalu kenapa melakukannya bersama yang lain?" Sean mendongak, kedua matanya bersirobok dengan mata tajam itu.

"Itu hakku, mau aku bersama orang lain atau bahkan melakukannya di depanmu, apa urusannya denganku jika kau tak suka?" ucap Saga.

"Saga ... kau tak mau melanjutkannya?"

Suara wanita dari dalam kamar mengalihkan atensi keduanya, kedua tangan Sean mengepal ia mendorong Saga, menerobos masuk menatap wanita yang tengah telanjang tanpa rasa malu.

"Pergi dari rumahku!" Sean menarik lengan wanita itu, amarahnya sudah naik ke ubun-ubun, ia tak tahan lagi selama tiga hari ini mendengar alunan desahan menjijikan.

"Siapa kau?!" wanita itu menarik selimut hanya untuk menutupi tubuhnya.

"Aku pasangannya! Bagaimana bisa kau menjalang di rumah ini?!"

"Bisakah kau diam?" Saga menarik Sean agar menjauh dari jangkauan Julia, ya jalang yang tiga hari ini ia sewa.

"Bagaimana bisa aku diam?! Dia, dia mengangkang di depanmu, dan kau menikmatinya. Bagaimana bisa kau seperti ini Saga?" suara Sean mengecil di akhir. Ia ingin marah dan meluapkan segalanya, tapi jika ia marah air mata justru akan berlomba-lomba keluar.

"Keluarlah," ucap Saga.

Sean tak terima dengan sikap acuh Saga. "Kau selalu memperlakukan aku bak bukan manusia, kau boleh membenciku, tapi Saga apa kau harus melakukan ini?" ucapnya.

"Luka ini sudah membusuk Saga, kau terus memperlakukan aku objek balas dendammu, tapi apa kau pernah melihat aku sebagai Sean yang mencintaimu bukan Sean yang menjadi dalang Gea pergi?" sambungnya.

Saga hanya diam melihat Sean yang sudah menangis, submisif memang selalu lemah, entah apa yang mereka konsumsi sampai mudah sekali untuk menangis.

"Jika aku kejam, kau apa?" ucap sang submisif, ia sudah tak bisa menahan segalanya.

"Keluarlah." Saga berucap rendah, tatapannya kosong. Selalu seperti itu. Bahkan siapapun yang mengenal Saga lebih dekat pasti mereka tak pernah melihat senyuman si empu walau hanya segaris, diluaran sana Saga bagai manusia dermawan yang murah senyum tapi nyatanya jika dikenal lebih dekat bahkan tatapan itu tak pernah mengekpresikan apapun. Sean sendiri tak pernah melihat senyuman Saga setelah keduanya menikah.

"Aku tak mau," sahut Sean, ia ingin menjadi bebal walau sebentar.

Kedua netra sang dominan menatapnya tajam, ditariknya lengan si manis membawanya keluar dari kamar yang  beberapa hari ini si empu benci.

Saga membawa Sean ke kamar, Sean mengusap tangannya yang terasa panas karena cekalan Saga. Sean terduduk diranjang dengan rasa takut, salah ia sudah memancing singa sang dominan, sampai rasanya hawa kamar terasa dingin.

"Apa kau tak mengerti bahasa manusia huh?" Saga menekan bahu Sean.

"Aku hanya tak tahan dengan perlakuanmu selama ini! Saga, Kau memperlakukan aku layaknya aku tak memiliki rasa sakit, Gea mati bukan karena aku!"

pertama kalinya Sean seberani ini, ia sudah muak dengan kehidupannya yang terus menjadi objek balas dendam saja.

Saga berdecih, darahnya mendidih saat bibir jalang dihadapannya terus menyebut nama Gea.

"Tutup mulutmu! Kau terlalu kotor untuk menyebut nama Gea," ucap Saga dingin.

"Aku mencintaimu Saga, bisakah kau lupakan masa lalu?" ucap Sean lirih.

Bugh

Bukan jawaban yang Sean terima melainkan bugeman mentah dipipinya, belum ia protes atas sikap Saga, dominaj itu lebih dulu memukul pipi kirinya lagi.

"Jangan karena kau hamil, aku akan kasihan. Bahkan aku bisa mengeluarkan bayi itu sekarang," cetus Saga dibarengi kekehan ringan.

Sean menggeleng ribut, perkataan Saga terlalu mengerikan. Lain dengan Saga yang semakin merasa senang melihat wajah ketakutan si manis, diusapnya perut yang sudah berusia tujuh bulan ini, Saga baru sadar ia tak melakukan hal menyenangkan selama tujuh bulan ini. Sean beringsut takut, merasakan usapan Saga.

"Mau dikeluarkan sekarang? Bukankah membawanya kemana-mana itu berat?" ucap Saga, ia sedikit menekan perut si manis.

"Saga!" Sean mendorong Saga membuat si empu sedikit terdorong ke belakang.

"Apa kau gila?! Ini anakmu juga!" Napas Sean memburu, tidak, ia tak akan takut untuk menjaga anaknya. Tak peduli jika nyawanya menjadi taruhan.

"Kau kejam! Kau iblis, kau bukan manusia. Kau mengerikan Saga! Menyesal aku mengenalmu." Sean beranjak, ia akan meraih gagang pintu tapi na'as tubuhnya lebih dulu ditarik paksa oleh Saga.

"Kau baru tahu huh?" Saga mencekik leher si manis, membuat Sean berontak.  Saga menghimpitnya di dinding, Saga mengunci pegerakannya dengan kaki dan tangan satunya sedang tangannya yang lain mencekik Sean semakin erat.

"Aku iblis? Lalu kenapa kau mencintaiku?!"

Nyali Sean yang tadi menggebu kembali menciut mendengar bentakan dan raut wajah dingin tanpa ada belas kasihan itu.

"Aku iblis, aku bukan manusia begitu? Lalu kenapa jalang sepertimu mencintaiku huh?"

Sean merasa hidupnya akan berakhir, ia butuh oksigen. Tubuhnya sudah lemas untuk berontak.

Saga menyambar bibir pias sang istri, meraupnya tanpa kelembutan. Tangan yang tadi mencekik Sean kini beralih menekan bahu sang submisif, Saga membelit lidah Sean tak membiarkan submisif ini melawan.

Sean hanya bisa meringis saat bibirnya di gigit sampai berdarah, ia merasa tubuhnya melayang karena Saga menggendongnya, tubuh ringkih Sean dibaringkan kasar.

"Aku akan membuatmu melihat seperti apa iblis yang kau katakan ini," bisik Saga, membuat Sean merinding dibuatnya.

Saga mengikat lengan dan kaki Sean dengan tali kawat, Sean sudah pasrah ia lemas tak ada energi untuk melawan Saga, bayangkan saja orang hamil harus melawan dominan brutal macam Saga, jangankan orang hamil, orang yang dalam keadaan biasa saja akan kalah.

Saga berdecak kagum melihat bagaimana indahnya maha karya Tuhan, apalagi setelah ia telanjangi si manis. Lihat bagaimana perut bulat itu menonjol, kulit putih bersih ditambah kaki yang dipaksa mengangkang.

"Akan indah jika ayahmu sendiri yang melakukannya, aku yang menonton." Saga merogoh ponselnya menghubungi mertua gilanya.

"Saga kumohon! Jangan! Tidak, ak-aku tak mau. Aku tak mau!" Sean menggeleng ribut, air matanya semakin deras. Tapi bukan kasihan Saga malah semakin bersemangat dengan raut ketakutan itu.

Jangakan ditawarkan uang, Alex dengan semangat akan datang ke rumah Saga jika disuruh menyetubuhi anaknya, hey siapa yang tak mau diberi makanan lezat? Apalagi Saga menawari sang mertua dengan uang juga, Alex meng-iyakan tawaran Saga untuk datang.

Saga mematikan ponselnya setelah mertuanya setuju, ini akan menyenangkan. Bukankah begitu? Ini adil, Saga bersama wanita lain dan Sean bersenggama dengan ayahnya.

"Benar-benar sempurna," gumam Saga.



Broken [END]Where stories live. Discover now