Bab 6

47 8 6
                                    

Papa tidak menyambut Cecilia dan Connor setibanya mereka di rumah. Pria itu pasti sibuk di ruang kerjanya, menyelesaikan tumpukkan pekerjaan yang tidak pernah tuntas. Sebagai gantinya, Norle yang ternyata menunggui mereka. Kucing itu langsung melompat ke pelukan Cecilia begitu dia baru saja melangkah masuk dari pintu depan.

"Papa masih bekerja?" tanya Cecilia.

"Dia sudah begitu sejak kembali dari Dragenmore." Norle menguap. "Memangnya dia tidak bosan, ya?"

Cecilia pun pernah mempertanyakan hal serupa. Connor bilang pekerjaan-pekerjaan membosankan tersebut justru membantu mengalihkan pikiran ayah mereka. Cecilia tidak tahu dokumen sebanyak apa yang bisa mengalihkan rasa pusing Papa bila sampai mendengar soal masalah baru yang muncul bersamaan dengan kehadiran Shadrick.

Dia dan kakaknya memutuskan untuk membicarakan ini setelah Marcus pulang. Yang berarti, percakapan akan dimulai setelah makan malam—harus setelah, kecuali mereka mau piring dan gelas melayang serta makanan terbuang sia-sia.

Sambil menantikan waktu tersebut tiba, Cecilia menghabiskan lebih banyak waktu menyendiri di pintu belakang rumah ditemani Norle yang bergelung dalam pangkuannya. Mereka duduk di undakan tangga, bersandar di bingkai pintu seraya menikmati rintik hujan yang mulai membasahi tanah Ameryth.

Dalam tangannya, Cecilia masih menggenggam sekuntum hypericum yang meranggas. Jemarinya mengusap kelopak bunga yang telah mengerut sedih, kehilangan warna kuning cerahnya. Norle yang penasaran mulai menyentuh-nyentuh kelopak kecokelatan itu dengan wajah ingin tahu. Tingkahnya memberikan sedikit penghiburan bagi Cecilia.

Kehangatan melingkupi tubuh Cecilia tatkala Connor menyampirkan selendang baginya. Dengan segera Cecilia menggenggam kain wol hangat itu dan meringkuk di baliknya.

Connor duduk bersandar pada bingkai pintu seberang. Tatapannya terarah pada halaman belakang, ikut mengamati rinai hujan yang bertambah deras dari waktu ke waktu.

"Connor," Cecilia menyandarkan kepala pada lututnya, "bila aku menghancurkan dunia, apa kau akan membenciku?"

Kepala Connor bergerak cepat, menoleh kembali pada sang adik. "Pertanyaan macam apa itu?"

Ibu jari Cecilia kembali meraba bunga kering di dalam genggamannya. Dia tidak menjawab pertanyaan Connor. Malahan, kini dia merasa konyol karena menanyakan hal semacam tadi.

Tetapi, Marcus telah mengalami hal serupa. Tidak menutup kemungkinan Cecilia akan mengulangi kesalahan pendahulunya.

Tanpa disadari, Connor meraih kepalan tangan Cecilia dan menariknya perlahan. Dibukanya jemari sang adik yang mengatup di sekeliling kuncup layu hypericum.

"Kau tidak akan menghancurkan dunia," Connor meyakinkan. Dia mendekatkan posisi duduk ke Cecilia, memastikan suaranya direndahkan. "Kita sudah tahu kenapa kekuatan Marcus pernah mengakibatkan Tahun Api. Hal itu bisa dicegah."

"Menurutmu begitu?" Cecilia tidak serta-merta percaya. "Karena bunga-bunga ini berkata sebaliknya."

"Cecilia, ini hanya beberapa kuntum bunga." Connor mengusap tangan adiknya. "Aku akan membantumu. Kalau kau merasa mulai marah, katakan."

Kepala Cecilia menggeleng kuat. "Kau tahu cara kerjanya bukan seperti itu."

"Aku akan menjagamu," tegas Connor. "Kau tidak perlu mencemaskan yang aneh-aneh, mengerti?" Tangannya meremas jemari Cecilia. "Dan bila hal tidak diinginkan terjadi pun, aku akan selalu bersamamu, Cecil. Kau paham? Kau tidak perlu ketakutan."

Sulit menghilangkan kerut risau di wajah Cecilia, walau kata-kata kakaknya meringankan beban hati. Dulu, ketika hidupnya masih tenang, dia tidak pernah mengkhawatirkan sisi kelam dari kekuatannya. Tetapi keadaan terus bertambah rumit. Terdapat berbagai permasalahan yang belum mereka tuntaskan; banyak musuh yang masih menanti kesempatan menyerang.

The Cursed Blessing [#2]Where stories live. Discover now