Bab 17

54 8 25
                                    

Antrian makan sudah mengular begitu panjang begitu Cecilia dan Espen tiba. Semua orang kelihatan tidak sabaran untuk segera mengisi perut.

"Kalian selalu seperti ini?" tanya Cecilia. "Menyiapkan makanan bersama dan lain sebagainya?"

"Segala sesuatu di desa ini memang bersifat komunal. Berhubung rumah kami lebih kecil dibandingkan desa utama, maka kami membuat dapur umum. Kegiatan seperti mengumpulkan makanan, memasak, dan mencuci peralatan makan akan dilakukan secara bergantian sesuai jadwal."

Beberapa peri menoleh ke belakang, lalu berlama-lama menatap karena penasaran pada sosok Cecilia. Mereka bertukar bisikan, mengerutkan dahi, lalu membuat orang-orang di depan mereka ikut menoleh.

Dengan susah payah, Cecilia menelan ludah, lalu melambai kecil sambil tersenyum canggung.

"Apa kau kenal Jaromir?" seorang perempuan di depannya bertanya.

Mendengar nama itu disebut-sebut masih membuat Cecilia jengkel, tetapi dia mencoba mengendalikan diri. "Aku adiknya, dan namanya Connor."

Lalu semua orang ber-oh bersamaan, seperti baru saja memecahkan misteri dunia. Mengingat semua orang di sini berambut hitam, pasti dirinya dan Connor adalah satu-satunya manusia berambut merah yang pernah mereka lihat.

"Ini berarti kau Putri Naterliva!" Pria yang terpisah dua orang dari Cecilia berseru. "Bisa kau sembuhkan luka di kakiku?"

Peri lain langsung mendesis ke pria itu, mengatakan sesuatu dalam bahasa Ravel yang kedengaran seperti teguran. Namun Cecilia mengangguk cepat dan mendekati pria itu dari samping. Dia menyiapkan doa penyembuh dalam kepalanya dan menundukkan tubuh di dekat kaki pria tersebut. Terdapat balutan luka pada bagian tulang keringnya, kelihatan masih cukup baru.

"Terjatuh saat mencari makanan," si peri berkata malu-malu. Cecilia menyentuhkan tangan ke atas perban, membiarkan kehangatan mengalir dari dalam dirinya ke tangan, jemari, lalu menyentuh luka tersebut. Setelah merasa yakin kekuatannya telah berhasil, baru dia melepas perban sang peri.

Tanpa disadari Espen sudah di sampingnya. Dengan sebuah belati, pria itu menarik perban di peri dan memotongnya. "Lepas sendiri. Kau bisa, kan?"

"Demi Inavaril, tidak perlu kasar seperti itu," dengus sang peri sambil menarik perbannya, lalu terkagum-kagum karena lukanya telah pulih, hanya menyisakan bekas putih samar semata di atas kulit gelapnya. "Luar biasa! Beribu terima kasih, Putri Naterliva. Kau bisa mengambil antrianku kalau mau."

Cecilia menolak sopan, memilih kembali ke belakang. Espen mengekorinya kembali. Tatapannya tertuju pada bagian bawah gaun Cecilia yang kotor.

"Tidak bisakah kau melakukannya sambil berdiri saja? Lihatlah gaunmu," pemuda itu mengoceh seperti ibu-ibu. Dia berlutut, dengan hati-hati menepuk-nepuk serpihan tanah dari gaun Cecilia.

"Espen, berdirilah! Gaunku memang sudah kotor sejak tadi." Cecilia menjauhkan diri dari pemuda itu. Denyut jantungnya terdengar hingga ke telinganya sendiri. Espen baru berdiri setelah merasa puas dengan pekerjaannya, itu pun dengan wajah mengerut kesal.

"Berhentilah mengerutkan wajah seperti itu dan tunggu giliran makan dengan tenang. Kau akan tua lebih cepat jika banyak mengomel," Cecilia menegur.

"Aku tidak akan cepat tua kalau tidak ada yang perlu diocehkan."

"Kau membesar-besarkan masalah kecil menjadi besar."

Pemuda itu menghela napas panjang. Semula dia pasti berniat tidak menjawab, tapi akhirnya berkata, "Apa kita sungguh akan berdebat di hari pertama bertemu?"

Apa pun yang Espen pikirkan, dia sudah tahu cara terbaik menghindari perdebatan dengan Cecilia. Mendengar pertanyaan itu, tentu Cecilia menggeleng dan keduanya kembali menunggu dengan tenang.

The Cursed Blessing [#2]Where stories live. Discover now