Bab 43

47 7 15
                                    

⚠️TW: Terdapat pembahasan soal kematian dan keinginan mengakhiri nyawa yang kemungkinan membuat sebagian pembaca merasa tidak nyaman.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Cecilia tidak tahu seberapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia memperoleh kembari kesadarannya pun, tubuh Cecilia terlalu sakit untuk digerakkan. Dia ingin kembali tidur.

Sebuah ingatan memasuki kepalanya, dan mendadak semua sakit itu tidak lagi berarti. Cecilia menggerakkan tubuhnya secara paksa, berjuang sedikit lebih keras untuk kembali merasa dengan anggota geraknya yang kebas.

Seseorang meraih bahunya, membantu Cecilia bangun. Sesuatu disodorkan ke mulutnya dan Cecilia meneguk air yang diberikan tanpa banyak tanya.

"Connor?" Cecilia meraih ke samping, mencoba melihat siapa yang membantunya dengan lebih jelas. Hanya ada Espen di sana. Wajah sedihnya membuat Cecilia muak.

"Vairkaj—"

"Di mana kakakku?"

Espen menjauhkan tatapannya, menoleh ke satu sudut di tempat gelap yang mereka huni. Cahaya dari api unggun membantu Cecilia untuk melihat tubuh kakaknya yang kini tidak lagi ditancapi tombak. Connor hampir kelihatan sedang tertidur sampai-sampai Cecilia mendapat tenaga untuk bergerak ke arah sang kakak, begitu bersemangat untuk membangunkannya. Atau lebih baik lagi, Cecilia akan menyembuhkannya.

Sang kakak telah ditutupi selendang dari kepala hingga dadanya. Sobekan pada kain yang lebar dan dikelilingi corak kecoklatan kering itu bagaikan mengejek Cecilia. Begitu menyentuh tangan Connor, langsung saja Cecilia tersentak. Kakaknya begitu dingin.

"Api unggunnya tidak cukup hangat." Cecilia mencari-cari ke sekitar, berharap bisa menemukan kayu bakar tambahan. Karena tidak kunjung menemukan apa pun, Cecilia mendekap kedua tangan kakaknya, mengabaikan darah kering yang mengerak di bawah kuku Connor dan kukunya sendiri. Cecilia menggosok kedua tangan Connor dan meniupinya dengan napas.

Espen beranjak ke sebelahnya. Tangan pemuda itu merangkul bahunya. "Cecilia."

Caranya menyebut nama Cecilia dipenuhi oleh pemohonan tersirat. Cecilia menggeleng kecil, mengabaikan panggilan Espen dan terus menghangatkan tangan Connor. Dia merapalkan doa untuk memanggil kekuatan penyembuhnya, tapi Cecilia tidak merasakan apa pun. Aneh, sebab Cecilia tahu kekuatannya masih ada di sana, tetapi tidak ada kehangatan. Cuma ada sensasi dingin menusuk yang membuat dirinya merinding.

"Kenapa dia tidak bangun?" Pandangan Cecilia memburam. Dia mencoba membohongi dirinya lebih lama, yakin bila dia berusaha lebih keras maka Connor akan bangun. Bukankah sang dewi pernah menyelamatkan Cecilia dari keadaan serupa? Dia pasti akan menyelamatkan Connor jika Cecilia berusaha lebih keras.

"Cecilia!" Espen meraih kedua bahunya, memberi guncangan yang cukup kuat untuk mengembalikan sedikit akal sehatnya. "Dia sudah tiada." Air mata mengalir di wajah Espen. Matanya yang berkaca-kaca memantulkan sinar api unggun.

Sesuatu dalam diri Cecilia retak, kemudian segala-galanya hancur. Ratap tangisnya memantul di dinding gua meskipun suaranya teredam oleh pelukan Espen. Dia turut merasakan getaran di bahu Espen dan mendengar isak pelan dari pemuda itu. Tetapi Espen lebih bisa mengendalikan diri.

"Aku minta maaf." Espen mengusap kepalanya.

Cecilia menggeleng. Bukan Espen yang menusukkan tombak ke arah Connor.

Dengan segera Cecilia memaksakan agar isakannya terhenti supaya dia bisa bertanya, "Di mana Nalita?"

"Tidak ada yang tahu. Kami segera membawamu dan Connor pergi setelah—"

The Cursed Blessing [#2]Where stories live. Discover now