23. Angan Yang Menari

2.6K 145 3
                                    

"HAAAH, Senin lagi Senin terus."

Bukan sapaan lembut kepada dunia melainkan Nara mengeluh tentang waktu yang berputar dengan begitu cepatnya, tentang bahagia yang 'tak ia hitung, tentang hembusan napas yang kadang menguat mewakili lelahnya.

Langkah yang berat ia ambil untuk melewati rutinitas pagi ini, rambut yang basah dengan pengering di tangan kanannya. "Potong aja apa?" Monolog Nara kepada cermin yang menampilkan dirinya. Wajah segar dengan rambut hitam panjang yang lepek, Nara selalu memberikan effort lebih untuk merawat rambutnya.

Terdengar notifikasi di ponsel, ia baca tanpa mebuka room chat.

"Siapa yang nikah? Gue?"

Nara dengan cepat melakukan panggilan suara ke Dean yang berada di Bandung.

"Hallo Kak?" Belum mendapat jawaban Nara langsung menanyakan tujuannya, "lo dapet gosip dari siapa?"

"Woy santai dong, Ra," ucap Dean di ujung sambungan.

"Gue kaget lo chat gitu, Kak."

"Si Junajing upload foto lo trus bilang mau undangan nggak? Ya gue kira lo mau nikah, perasaan gue lo lamaran aja belum ternyata kita dikerjain, dia bilang foto lo pemanis doang."

Nara tertawa mendengar penjelasan Dean, sepagi ini Arjuna niat sekali mengerjai teman-temannya.

Nara mulai menjelaskan sedikit tentang undangan tersebut bahwa hari ini Gama dan Ina sudah mulai menyebar undangan untuk pernikahan mereka. Ia juga berpesan untuk tidak lupa membawa Bella ke pernikahan Gama dan Ina.

...

Siang ini Nara mengunjungi ruangan Ina untuk berdiskusi kembali tentang gaun pernikahan yang akan digunakan.

design yang pasti sudah dipilih hanya saja ada beberapa detail yang Ina inginkan, semua itu Nara catat dengan rapih.

Ketukan pintu terdengar membuat Nara melangkah, terlihat salah satu staff membawakan minuman dan cake pesanan Nara.

"Pusing banget ya, Kak?" tanya Nara yang melihat Ina sibuk mengetik di layar ponselnya.

"Pusing, dan lo tau yang bikin makin pusing tuh apa?" Nara menunggu kalimat yang akan Ina lanjutkan. "Gue sama Gama malah sering ribut."

Jemari Nara bergerak memberikan satu cup minuman dingin dengan rasa manis, ia juga mengeluarkan cake dari tempatnya dan menaruhnya tepat di hadapan Ina.

"Itu yang orang-orang bilang."

"Apa?" tanya Ina.

"Ujian sebelum menikah, kata orang-orang kalau sebelum nikah ujiannya itu makin banyak, entah dari pasangan, diri sendiri atau bahkan orang tua."

Ina menghela napasnya saat mendengar kata orang tua.

"Kalau boleh tau, kendala lo di mana, Kak?"

Calon pengantin itu mulai menjelaskan kendala yang ia alami, bukan tentang restu melainkan keinginan orang tua Gama akan warna dekorasi yang akan digunakan.

Di saat keinginan Ina dan Gama yang bertolak mereka rundingkan untuk mencari jalan tengah lantas tiba-tiba h-14 orang tua Gama dengan mudahnya berucap tidak suka dengan warna yang akan mereka gunakan.

"Gue mau nangis, Nar."

"Kak gimana kalau lo bilang nanti saat ngunduh mantu baru kalian gunain yang orang tua Kak Gama mau?" Nara menghentikan ucapannya, "Eh jangan deh nanti malah ribut, nanti kalau kalian nggak jadi nikah gimana?" Nara ketakutan akan kalimat yang ia keluarkan.

"Jangan ikut pusing. Ini gue udah minta ke Gama buat yakinin orang tuanya."

Rasa syukur jelas terlihat di wajah Nara saat mendengar rentetan kata yang Ina ucapkan.

Di tempat yang sama pikiran Nara menjelajah jauh ke depan.

Nanti gue gimana menghadapi orang tuanya Kak Juna? Cara apa yang harus gue pakai buat ngambil hati mama-papanya Kak Juna? Nara menggelengkan kepalanya berharap pikiran itu pergi jauh.

Hari ini Nara menemani Ina hingga jam makan siang, mendengarkan segala keluh kesahnya tentang persiapan pernikahan, tentang uang yang telah dikeluarkan juga tentang pertengkaran kecil yang terjadi di antara sepasang kekasih tersebut.

Banyak sekali informasi yang Nara terima dari percakapannya dengan Ina, persiapan apa yang akan ia gunakan nanti jika dirinya dan Arjuna melangkah ke jenjang yang serius.

Menjadi pemeran utama untuk satu hari memang membutuhkan kegigihan yang bukan main, banyak waktu, uang, tenaga bahkan air mata yang menjadi bayarannya.

Nara suka mendengar celotehan Ina tentang Gama, tentang pernikahan, tentang pertemuan pertamanya dengan masing2 orang tua, bahkan tentang usaha Ina mengambil hati calon mertuanya.

Lancar sekali percintaan seorang Ina Adiyaksa, bertemu, saling mengaku, menjalin hubungan, dan akhirnya menikahi orang tersebut, sedikit berbeda dengan Nara yang menyimpan rasa lalu kehadirannya yang tidak diinginkan, pergi dan bertemu kembali. Nara berdoa perjalan ceritanya dengan Arjuna yang panjang ini berakhir dengan akhir yang sama dengan Ina dan Gama.

...

Bohong jika Arjuna tidak memikirkan kalimat yang adiknya ucapkan, susunan kata demi kata yang cukup membuat dirinya bergidik takut, tentang masa depan yang akan dirinya hadapi bersama Nara, tentang dosa yang sudah ia perbuat kepada keluarganya, saat ini seperti raganya berdiri memandang kabut yang mempersempit jarak pandangnya.

Rangkaian cerita yang sudah ia tuliskan bersama pujaan hati, hari-hari gulita juga pernah dirinya lewati, tumpukan rindu dan rasa bersalah sudah dijalani dengan harap yang bermakna, tentang masa depan yang bahagia, tentang senyum yang akan menyambutnya setiap pagi, namun saat ini seketika menjadi kelabu.

"Puput nggak akan setuju jika Abang sama perempuan itu, perempuan yang ngerebut pikiran Abang selama enam tahun, sekalinya hadir bukan hanya pikiran Abang yang direbut tepi raga Abang juga dia ambil." Kalimat itu terus terekam di ingatan Arjuna.

Tumpukan kertas menjadi saksi hembusan napas yang berat. Rasa bahagia yang pernah tertoreh karena sang mama dengan yakin meminta bertemu Nara ternyata tidak menjadi kekuatan yang cukup besar untuk mematahkan kalimat yang Putri ucapkan.

Ingin rasanya Arjuna beranjak saat ini dengan membawa Nara ke hadapan keluarganya, menceritakan tentang arti nyaman dan berartinya seorang Nara di kehidupan putra satu-satunya. Bercerita akan senyum dan kehidupannya yang perlahan kembali, menyebutkan banyaknya warna yang mulai mengisi monochrome yang pernah ada.

Arjuna memupuk yakin bahwa bahagianya itu bahagia keluarganya.

fine lineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang