BAB 3

738 138 12
                                    

Salju kembali turun kali ini, di pertengahan Maret di mana seharusnya musim semi telah hadir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salju kembali turun kali ini, di pertengahan Maret di mana seharusnya musim semi telah hadir. Namun, tampaknya musim dingin menyukai bumi untuk tahun ini, memberikan waktu lebih lama untuk tinggal dan memperlihatkan keindahannya. Benar, seharusnya salju adalah bagian dari keindahan yang menyusuri setiap sudut kota.

Sayangnya, tidak bagi rumah mewah yang berada di persimpangan. Musim dingin membuat rumah ini semakin dingin, entah karena penghangat kurang bekerja atau memang kenangan yang tertinggal menjadikan rumah itu dingin tanpa ada kesan hangat untuk sekedar mengelabui dunia.

Sepi. Hanya satu kata yang mampu menggambarkan situasi rumah dari pagi hingga malam nya dan kembali bertemu pagi. Tengah malam kali ini tampaknya penghuni masih setia memejamkan mata, begitu juga seorang pemuda yang kini bersembunyi dibalik selimut hangat dengan tubuh yang menyamping.

Raut wajahnya terlihat tenang walaupun tubuhnya meringkuk seorang kedinginan. Namun, dapat dipastikan jika penghangat di ruangan itu menyala dengan baik hingga raut wajah nya pun kini berkerut, kepalanya bergerak tak nyaman seolah ingin sembunyi. Seketika detak jantungnya berirama cukup cepat dan lengan mengepal.

"Ayahmu berselingkuh dengan gurumu sendiri." Kata dan tawa itu menggema di alam bawah sadarnya, memancing kenangan lain untuk mengganggu tidur untuk kesekian kalinya. Ruang kelas itu terasa begitu nyata, dirinya tengah mengenakan pakaian sekolah menengah pertama dan berdiri di depan kelas.

"Ibumu pasti sangat buruk," Suara itu memasuk indera pendengarannya, membawanya untuk menyusuri belasan pasang mata yang menatapnya menyeramkan. Inginnya berteriak dengan kaki yang kini mengambil langkah mundur, jemari nya mengepal kuat dan tubuhnya mulai gemetar.

"Ayahmu membencimu." Ucapan itu berhasil menyerang dadanya, terasa begitu sakit membuat air mata nya menetes di dalam mimpi yang tampaknya tak ada akhir hingga iris nya melebar ketika ia menyadari berada di sebuah lapangan besar dan bola sepak mengarah ke tubuhnya membuat nya merunduk hingga belasan bola terus menyerang tubuhnya.

"Andai saja jika kau tidak memilih sekolah itu, Jeon Jungkook!"

Kelopak matanya terbuka dengan iris yang melebar serta napas yang terhenti selama beberapa detik dalam hidupnya. Jantungnya berdetak cepat, iris nya menyusuri ruangan yang kini begitu gelap hingga napas yang begitu cepat pun perlahan mereda dengan kelopak mata yang terpejam sejenak sebelum ia menatap langit- langit kamarnya.

Jemari nya setia untuk menggenggam erat selimut, pikiran tengah mengabur pada masa lalu yang telah ia coba lupakan sebanyak yang ia bisa. Ia kembali memejamkan mata, mencoba untuk meringkuk bersama pikirannya yang begitu berisik. Entah apa yang pikirannya bicarakan, ia tidak mengerti.

Mungkin pikirannya tengah bertengkar mengenai apa yang seharusnya ia lakukan, mengenai apa yang seharusnya ia dapatkan membuat Jungkook menghela napas dan kembali memperlihatkan iris sehitam jelaga miliknya. Tatapannya terlihat sayu seperti biasa, tampak lelah walaupun hanya dinding yang ia lihat.

Glimpse Of The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang