Bab 2. Rapuh

516 36 0
                                    

Bab 2. Rapuh

"Iya, aku sudah sampai. Belum, Indana belum datang. Kamu tenang saja, aku tidak akan mengungkapkan soal kita."

Elang sedang duduk menikmati kopinya saat telinganya tak sengaja mendengar percakapan seseorang yang melintasi tempat duduknya. Bukan maksud Elang menguping, tapi memang suara lelaki yang sedang menelepon itu cukup keras.

Tidak mau peduli dengan orang tadi, Elang kembali menyesap kopinya sambil membaca buku. Sekalian ia menunggu waktu untuk menjemput Arasha, keponakannya yang sedang les. Elang sengaja datang ke kafe ini karena dekat dengan tempat les. Selain itu, setelah sekian lama hidup merantau rasanya rindu juga menikmati pemandangan kotanya.

Itulah salah satu alasan Elang datang ke Kafe Romans. Kafe minimalis dengan dinding yang didominasi kaca ini menawarkan pemandangan yang beragam. Dari lantai atas bisa leluasa memandang gunung Slamet yang gagah. Selain itu juga bisa melihat sebagian pemandangan kota Purwokerto, melihat lalu lalang kendaraan yang lewat di underpass, dan kereta yang sesekali melintas. Bahkan, jika beruntung bisa mendapatkan golden hour. Sayangnya, langit sore ini terlihat kelabu karena tertutup awan mendung.

Elang tidak pernah merasa terusik meski sendirian karena biasanya ia akan tenggelam dengan bukunya. Tapi, seorang perempuan dengan terusan warna hitam dipadu kardigan panjang warna mocca, dengan jilbab warna senada dan sneakers mengusik perhatiannya. Hanya beberapa detik saja Elang terpana dan langsung menundukan pandangan kembali pada bukunya. Ia memegang kacamatanya seperti biasa jika sedang merasa gugup.

Dari ekor matanya, Elang melihat perempuan itu menghampiri lelaki yang tadi ia dengar berbicara ditelepon. Elang mengerutkan kedua alisnya, mencoba menghubungkan apa yang ia dengar tadi dengan kehadiran perempuan itu. Elang mengangkat bahu mencoba tak peduli dan konsentrasi pada bukunya lagi.

Namun, entah mengapa tidak biasanya ia terusik dengan sesuatu yang bukan urusannya. Saat tiba-tiba ia ikut mendengar suara perempuan di seberang telepon. Sontak Elang menoleh ke sekitar yang ternyata di lantai dua hanya ada dirinya dan pasangan yang tadi ia lihat. Sepintas Elang melihat ada yang tidak beres, mereka tidak tampak seperti pasangan yang sedang berbahagia. Dugaannya benar saat ia lagi-lagi tak sengaja mendengar percakapan mereka dengan perempuan di telepon yang pengeras suaranya dinyalakan.

Karena merasa tidak enak hati Elang memutuskan untuk turun setelah lebih dulu menghabiskan kopinya. Ia segera mengemasi barangnya dan memasukan semuanya ke ransel hitam miliknya. Elang memang sengaja tidak membawa mobil dan memilih menggunakan motor, jadi ia gunakan ransel untuk membawa barang miliknya. Saat ia baru berdiri, terdengar jelas suara perempuan itu sedang mengatakan sesuatu.

"Aku bukan malaikat, Ran. Aku sangat terluka, kalau kalian mau tahu. Kalian selingkuh di belakangku. Bayangin jadi aku, dikhianati dua orang terdekat itu sangat menyakitkan. Sedekat apa pun kita, Ran, bagiku selingkuh dan pengkhianatan adalah kejahatan. Jadi, masih pantaskah kalian minta maaf?"

Tak sengaja mendengar hal itu membuat Elang ikut berempati. Ia juga pernah merasakan hal yang kurang lebih sama, sebuah pengkhianatan.

Lelaki berkacamata frame hitam itu cepat-cepat turun dari lantai dua. Ia tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Sesampainya di bawah, Elang masih belum mau pergi, hanya pindah tempat duduk saja dan kali ini memilih duduk di luar.

Elang meletakkan tasnya di sebuah kursi kosong lalu duduk di kursi sebelahnya. Ia hanya termenung sembari memandang kereta yang sedang melintas. Apa yang didengarnya di atas tadi ditambah pemandangan kereta yang melintas, mengingatkan Elang pada peristiwa kelam yang dialaminya dulu. Ia pernah melepaskan kepergian seseorang yang sangat berarti baginya.

Ia melepas kacamatanya, mengusap wajahnya dan menarik napas dalam mengingat kejadian yang lalu.

"Maaf, Lang. Aku nggak bisa menentang perjodohan ini."

Elang masih teringat jelas hari terakhir pertemuannya dengan perempuan yang ia cintai saat itu. Kekasihnya memilih untuk menerima perjodohan dengan pengusaha muda.

"Seandainya aku sudah mapan, apakah kamu mau bertahan?" tanya Elang kala itu hanya untuk memastikan bahwa ia tidak mencintai sendirian.

"Maaf, Lang. Carilah perempuan yang lebih baik dari aku."

Klise. Frasa yang selalu digaungkan mereka yang akan mengakhiri sebuah hubungan agar terkesan tidak terlalu menyakitkan. Namun, sehalus apa pun kalimat itu tetap menghancurkan hati Elang.

Pada akhirnya, kereta membawa kekasih yang Elang cintai, yang memilih untuk pergi dan menjadi jodoh orang lain. Tidak ada pilihan lain baginya saat itu yang masih berstatus mahasiswa koas, selain melepaskan dengan tidak rela. Sejak saat itu, Elang tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Meskipun kini ia sudah menjadi seorang dokter hewan.

Sekarang ia kembali pulang ke kota kelahiran dan berniat untuk membuka praktik di petshop milik keluarganya. Ia merasa sudah cukup belajar di tempat lain dan saatnya berdiri sendiri. Terlebih lagi ia harus menjaga ibunya yang hidup sendirian bersama keponakannya, anak dari kakak perempuannya yang kini tinggal di Jakarta. Elang merasa bertanggung jawab menjaga mereka sebagai satu-satunya lelaki dalam keluarganya.
***
Mendung semakin tebal menyelimuti langit yang semula biru menjadi kelabu. Elang masuk kembali ke dalam sekalian untuk membayar di kasir. Bersamaan dengan itu, perempuan yang tadi dilihatnya sedang menuruni tangga dari lantai dua dan menuju kasir. Elang membiarkan perempuan itu membayar lebih dulu. Sekilas ia bisa melihat wajah perempuan itu begitu mendung melebihi langit di luar seolah menahan air mata untuk tak jatuh.

Setelah Elang membayar di kasir, segera ia mencari keberadaan perempuan tadi. Ia keluar dan disambut oleh gerimis yang mulai turun. Ternyata perempuan itu sudah berjalan kaki di pedestrian entah menuju ke mana. Sungguh di luar akal sehat, dengan menaiki motornya Elang mengikuti perempuan itu dengan tetap menjaga jarak cukup jauh. Bukan maksudnya untuk menguntit, tapi wajah penuh kesedihan perempuan itu tidak mampu ia abaikan begitu saja. Seperti ada dorongan untuk menjaganya, ia pun merasa aneh sendiri.

Tidak jauh di depannya, perempuan itu berhenti di bawah pohon Tabebuya. Awalnya, Elang mengira perempuan itu ingin memungut sesuatu, tapi ternyata sedang menangis. Elang menghentikan motornya di tepi jalan dengan tetap menjaga jarak aman. Ia bermaksud berjaga-jaga siapa tahu terjadi sesuatu. Untunglah apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Perempuan yang menanggung luka itu kembali melanjutkan perjalanan meski masih dengan langkah pelan hingga sampai di halte bus trans.

Elang memarkir motor ninja warna merah-hitam miliknya di halaman parkir sebuah toko dekat halte. Dengan santai Elang berjalan menuju ke halte seolah akan menunggu bus seperti penumpang yang lain. Ia menutup kepalanya dengan hoodie jaketnya yang berwarna abu silver, agar terlindungi dari hujan. Sesekali dari balik kacamatanya, Elang memperhatikan perempuan itu yang kini hanya menatap kosong tetes hujan. Semua gerak-geriknya tak luput dari perhatian Elang, termasuk saat tangan perempuan itu terulur menadah hujan.

Sampai akhirnya, suara rintihan kucing menyadarkan Elang. Secepat kilat Elang menghampiri kucing yang baru saja terserempet pengendara sepeda motor yang tetap melaju kencang. Elang mencoba memberikan pertolongan pertama pada kucing berwarna putih orange tersebut.

Ia mengecek pada luka apakah ada pendarahan dengan menekannya selama tiga menit. Dilanjutkan dengan menekan bagian dada mana tahu ada tulang rusuk yang patah. Ternyata Elang menemukan ada patah tulang di bawah siku. Segera ia mengambil peralatan medis di tasnya. Sebelum itu lebih dulu ia meminta kardus bekas di toko tempat ia memarkir motornya. Dengan cekatan Elang membalut luka kucing tersebut dengan perban dan penguat dari potongan kardus agar tulang yang patah tidak bergeser. Setelahnya ia memasukan kucing tersebut ke dalam kardus untuk ia bawa pulang ke klinik.

Sebagai dokter hewan, Elang memang terbiasa membawa beberapa kebutuhan medis untuk pertolongan pertama. Ia juga selalu membawa makanan kucing. Itulah kenapa ia lebih sering menggunakan tas ransel ke mana-mana.

Karena terlalu konsentrasi merawat kucing, Elang tidak sadar kalau Indana sudah naik ke bus trans. Saat Elang menoleh ke arah bus yang mulai berjalan melewatinya, sekian detik mereka saling bertatapan dan lagi-lagi Elang segera berpaling. Hingga bus yang ditumpangi perempuan itu melintas, Elang kembali memperhatikan hingga bus itu menjauh.

PATAHWhere stories live. Discover now