Bab 10. Rengkuh

307 25 0
                                    

Bab 10. Rengkuh

"Janji ya, Om jangan bilang ke Nenek masalah ini," rengek Arasha pada Elang saat mereka dalam perjalanan pulang dari klinik.

"Cerita dulu ke Om, kenapa kamu sampe berkelahi, apalagi kamu yang mulai duluan." ucap Elang. Matanya awas menatap jalanan di depan dan sesekali melirik spion.

"Cindy yang mulai ngatain aku duluan. Dia bilang aku anak yang terbuang. Nggak punya ayah dan ditinggalkan ibu," ucap Arasha mengulangi apa yang dikatakan Cindy padanya.

Dada Elang bergemuruh mendengar itu. Ingin rasanya ia melakukan hal yang sama seperti yang Arasha lakukan. Namun, ia tidak mau memberi contoh buruk pada Arasha.

"Om, apa benar aku nggak punya ayah?" tanya Arasha. Suaranya lirih nyaris tak terdengar oleh Elang.

"Yang bilang begitu mungkin selalu bolos pas pelajaran Biologi," canda Elang sengaja untuk sedikit mencairkan suasana.

Arasha menyunggingkan senyum kecil mendengar jawaban Omnya itu. Ia tahu Omnya sedang bermaksud menghiburnya.

"Apa mungkin aku anak haram, jadi Mama malu dan nitipin aku di sini sama Nenek dan sama Om."

Suara lirih dan datar Arasha terdengar menyayat hati Elang. Ia tahu cepat atau lambat Arasha pasti akan sadar dan bertanya-tanya.

"Ra, untuk kisah lebih lengkapnya biar nanti Mama kamu aja yang cerita semuanya, ya. Karena dialah yang wajib dan berhak untuk kasih tahu ke kamu. Akan ada waktunya untuk kalian saling berbicara dari hati ke hati. Sementara itu, abaikan saja mereka yang ngomong macam-macam tentang kamu. Jangan penuhi pikiran kamu dengan omongan orang yang nggak penting." Elang menoleh dan tersenyum pada Arasha dengan lembut.

Arasha balas tersenyum dan mengangguk. "Iya, Om."

"Dan satu lagi, Mama kamu punya alasan khusus kenapa menitipkan kamu di sini. Dia melakukannya justru karena sayang sekali sama kamu, bukan karena malu atau membuang kamu."

Mendengar itu, Arasha tampak sedikit lega. Senyumnya mengembang.

"Iya Om. Eh, Tapi, benar, kan? Om janji nggak bakalan kasih tahu Nenek soal panggilan ke sekolah?" Arasha meminta kepastian.

"Iya, kamu tenang aja. Lagian untuk urusan dengan sekolah, kan emang Om yang ngurusin. Biarlah Nenek nggak usah mikirin hal sepele begini." Elang mencoba meyakinkan Arasha.

Tidak mungkin Elang akan membebani pikiran ibunya dengan masalah Arasha di sekolah. Terlebih lagi berkaitan dengan status ayah keponakannya itu. Belasan tahun keluarganya berusaha melupakan kejadian buruk yang menimpa Nuri, kakak perempuan Elang. Mereka berusaha menerima kenyataan dan melangkah menjalani hidup ke depan.

"Makasih, Om. Jadi, Om besok ketemu Bu Indana, nih. Ciee." Arasha menggoda Elang yang tampak salah tingkah dibuatnya.

***

Pagi ini Elang lebih bersemangat dari biasanya. Ia akan mengantar Arasha ke sekolah, sekalian memenuhi panggilan dari guru BK. Ia memilih kemeja polos warna biru navy dipadu dengan celana warna khaki dan sepatu kets yang senada dengan kemejanya. Tidak lupa menyemprotkan parfum beraroma wood favoritnya.

Sesampainya di sekolah, Elang memarkir mobilnya di halaman parkir yang tersedia. Ia turun dan berjalan berdampingan bersama Arasha. Belum juga sampai ke ruang BK jantungnya sudah mulai berpacu. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan lalu mengulanginya lagi beberapa kali. Ia juga berkali-kali menyentuh kacamatanya dan membetulkan posisinya.

"Ini, Om, ruangannya," kata Arasha.

Elang berdehem sebelum mengetuk pintu ruang BK.

"Permisi," Elang menyapa sambil mengetuk pintu yang sedikit terbuka.

PATAHWhere stories live. Discover now