Bab 3. Rusuh

427 30 0
                                    

Bab 3. Rusuh

"Jadi gimana, Na, sama temen guru yang naksir kamu? Kira-kira ada klik nggak di hati?" Sasti ikut duduk di sebelah Indana yang sedang istirahat setelah lari lima putaran.

Sudah jadi rutinitas bagi Indana dan Sasti setiap Minggu pagi, mereka akan jogging ke gelanggang olahraga dikotanya yang lebih dikenal dengan sebutan GOR Satria.

Indana hanya mengedikkan bahu sambil membuka botol minum yang dibawanya, lalu meminumnya dalam tiga kali tegukan.

"Serius, Na. Aku nanya beneran, nih. Kalau emang kamu nggak nerima temen guru itu, aku ada temen yang lagi minta dicariin jodoh," ungkap Sasti dengan mimik wajah serius.

Indana menatap tajam pada Sasti, menunjukan rasa tak suka seperti biasa jika Sasti sudah mulai berbicara tentang jodoh. Indana selalu jujur mengekspresikan perasaannya di hadapan sahabat terbaiknya itu. Tidak ada jaim atau pura-pura. Sasti sendiri paham kalau Indana sebenarnya tidak marah. Mereka memang sudah saling mengerti satu sama lain.

Pasca putusnya hubungan Indana dengan Raka, Sasti semakin gencar berusaha mencarikannya pengganti Raka. Bukan sekali dua kali Sasti berusaha mengenalkan Indana dengan seseorang, tapi gagal. Makanya Sasti semangat sekali saat Indana bercerita ada teman sesama guru di sekolah tempat Indana mengajar, tertarik pada sahabatnya itu.

"Aku nggak klik sama temen guru itu dan aku nggak minat juga sama temen kamu." Indana mengatakannya acuh tak acuh.

Wajahnya santai menatap Sasti yang saat itu mengenakan setelan olahraga berwarna abu-abu, lalu kembali berpaling memandang orang-orang yang ramai lalu lalang.

Pikirannya dibayangi kejadian tempo hari di ruang guru selepas jam sekolah. Saat itu Indana sedang berkemas dan Pak Guntur guru olahraga menghampirinya.

"Bu Indana, boleh minta waktunya sebentar?"

Indana paham maksudnya, lalu menghentikan aktivitas beberesnya dan menoleh pada sumber suara.

"Silakan," jawabnya singkat.

Ada jeda cukup lama seolah Guntur ingin menata apa yang akan disampaikannya.

"Gimana, Bu. Sudah ada jawaban buat saya?" tanya Pak Guntur langsung pada tujuannya menemui Indana.

"Maaf, Pak. Jawaban saya masih sama. Saya tidak bisa." Sengaja Indana menjawab dengan tegas tanpa basa-basi karena ia tidak mau memberi harapan palsu.

Pak Guntur tampak kecewa. "Apakah sudah ada calon? Kalau memang sudah ada saya akan mundur. Jika belum ada, bisakah memberi saya kesempatan untuk berusaha?"

Indana menatap lelaki di depannya itu. Di usianya yang menginjak 30 tahun, dengan tubuh atletis, wajah oval dengan mata sayu yang meneduhkan, attitude-nya juga baik nggak neko-neko, tentu akan dengan mudah mendapatkan pasangan. Mungkin seharusnya Indana merasa beruntung dicintai orang seperti Pak Guntur. Tapi sebaliknya, ia merasa terbebani karena tidak bisa membalasnya.

Indana menggeleng. "Maaf, Pak, saya tetap tidak bisa. Semoga hal ini tidak mempengaruhi hubungan kita sebagai sesama guru di sini."

Indana mengembuskan napas panjang, mengingat kejadiaan tersebut. Ada rasa tidak enak di hati saat mendapati wajah kecewa Pak Guntur kala itu.

Namun, bukan hanya Pak Guntur saja, sudah kesekian kalinya ia menolak maksud baik laki-laki yang ingin berkomitmen dengannya.

"Sampai kapan, Na, kamu mau nutup hati kamu terus?" Suara Sasti menyadarkannya.

Jika bukan Sasti yang mengatakannya, Indana pasti sudah menegur orang tersebut. Baginya perihal pilihan jodoh adalah ranah privasi. Tapi Indana paham benar sebesar apa kepedulian Sasti padanya. Semua yang Sasti katakan dan upaya yang dilakukan untuknya semata karena rasa sayang yang besar. Karena Indana bagi Sasti lebih dari sekadar sahabat, pun sebaliknya, bagi Indana, Sasti sudah seperti saudaranya sendiri.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang