Bab 13. Gayuh

250 18 0
                                    

Bab 13. Gayuh

"Apakah sejelas itu saya terlihat kesepian?" tanya Indana sambil tersenyum.

Biasanya Indana tidak suka jika ada orang lain yang membaca dirinya. Indana tidak mau terlihat rapuh kecuali pada Sasti sahabatnya.

"Maaf, Bu. Buat saya, jelas. Entah yang lain apakah bisa melihatnya," sahut Arasha.

"Ralat, mungkin bukan melihat, tapi kamu bisa merasakan. Biasanya orang yang merasakan hal yang sama itulah yang bisa memahami," Indana menambahkan.

Mereka berdua saling tersenyum, menyadari bahwa mereka sebenarnya merasakan hal yang sama.

"Terima kasih, Bu. Rasanya saya seperti dapat teman baru," ucap Arasha dengan senyum menghias wajahnya.

"Lho, kebalik. Saya yang terima kasih sudah menemani saya ngobrol. Kapan pun kamu butuh cerita atau konsultasi jangan sungkan, ya. Silakan konsultasi apa saja atau sekadar curhat, kapan dan di mana saja boleh." Indana mencoba membuka jalan agar Arasha merasa nyaman dengannya.

Sebagai guru BK memang sudah menjadi tugas Indana menjadi tempat para siswanya untuk bimbingan konseling.

"Serius, Bu? Ibu bisa jaga rahasia dari siapa pun?" Arasha mulai tertarik.

"Yup, dari siapa pun termasuk dari wali kamu jika kamu tidak berkenan. Tapi tentu lihat dulu masalahnya apa," jelas Indana.

Biasanya para siswa konsultasi tentang pilihan study lanjutan seperti mau kuliah di mana, jurusan apa, dan sebagainya. Ada juga yang datang hanya sekadar mencurahkan isi hatinya dari masalah yang berat seperti masalah keluarga sampai masalah cinta-cintaan.

"Baik, Bu. Kalau saya ada perlu nanti saya hubungi ke nomor Ibu, boleh?"

"Silakan, kapan saja saya terbuka 24 jam," canda Indana yang disambut tawa oleh Arasha.

"Sudah kayak minimarket aja buka 24 jam. Lagi pada ngobrol apa asyik bener?" Tiba-tiba Elang muncul dari dalam ruanganya.

Wajahnya tampak agak lelah setelah menangani beberapa pasien.

"Ih, Om ngagetin aja. Rahasia perempuan," jawab Arasha sembari menjulurkan lidahnya.

"Syukurlah, Bu Indana sudah bisa tersenyum. Ternyata ponakan Om bisa jadi penghibur juga," sela Elang, mengabaikan ledekan Arasha.

"Apaan, sih, Om. Masa Ara dibilang penghibur," protes gadis berbadan kurus itu.

Indana tersenyum melihat interaksi mereka berdua, seperti Tom and Jerry, jauh kangen pas dekat ribut terus kerjaannya. Arasha memang seperti dirinya, kaum introvert yang bisa ekspresif kalau di depan orang-orang tertentu saja.

"Jangan neting dulu donk, maksudnya tuh bisa menghibur Bu Indana. Ngurangin rasa bersalah, Om jadinya." Elang memang merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Muezza.

Sebagai dokter, Elang sebenarnya sudah biasa mendapati kasus serupa. Ia memang akan ikut berempati jika hewan yang ditanganinya ada yang mati. Namun, berbeda untuk kasus Indana kali ini. Entah kenapa kesedihan Indana menganggu pikirannya.

"Bukan salah Dokter, kok. Memang sudah waktunya saja. Saya tetap berterima kasih karena Dokter sudah berusaha menyelamatkan Muezza," timpal Indana.

Indana memang merasa sangat kehilangan Muezza, tapi ia juga tidak mau menyalahkan siapa pun atas kematian kucing kesayangannya itu.

"Permisi," sebuah suara perempuan mengusik mereka bertiga dan serempak menoleh ke arah pintu.

"Oh, itu teman saya sudah datang," ujar Indana yang sudah berdiri sambil membawa Muezza.

PATAHWhere stories live. Discover now