Bab 24. Tasamuh

198 16 1
                                    

Bab 24. Tasamuh

Tangis Arasha mereda bertepatan dengan Elang yang kembali ke tempat mereka makan.

"Gimana, udah lega? Maafkan sikap Om tadi, ya. Om hanya berpikir satu arah saja, karena mereka salah, ya dilaporkan. Tanpa Om pikirkan apa akibatnya dan gimana perasaan kamu," tutur Elang, setelah ia duduk di hadapan Arasha dan Indana.

"Aku juga terbawa emosi, Om. Jujur, sampai sekarang pun aku nggak tahu harus gimana ngadepin mereka," tutur Arasha dengan suaranya yang lemah.

"Biar itu jadi urusan Ibu. Percaya saja semua akan baik-baik saja. Kita hadapi sama-sama dan kamu harus tahu bahwa kamu tidak sendirian. Oke?" sahut Indana sembari memegang tangan Arasha untuk membuatnya lebih tenang.

"Tapi, saya takut, Bu. Kalau mereka marah dan tidak terima dengan saya, gimana?" tutur Arasha, kekhawatiran tampak di wajahnya.

Indana tersenyum, maklum. "Sekarang Ibu tanya, kenapa kamu harus takut dengan mereka? Memangnya apa yang sudah atau pernah kamu lakukan pada mereka sampai kamu takut?"

Arasha menggeleng, "Seingat saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan terhadap mereka. Tapi, apakah mungkin mereka bersikap begitu karena saya orangnya pendiam, tidak terlalu suka berinteraksi dengan mereka jika memang tidak perlu?"

"Bisa jadi begitu. Mungkin sejak awal mereka yang tidak memahami bahwa kamu seorang introvert menganggap kamu sombong dan pilih-pilih teman." Indana tahu Arasha seorang introvert dari hasil tes kepribadian yang pernah ia berikan pada siswa di kelasnya.

Tanpa tes pun Indana bisa membacanya karena sedikit banyak Arasha mirip dengannya.

"Saya memang tidak nyaman berada di tengah orang-orang, rasanya melelahkan. Saya tidak suka berbasa-basi ke sana kemari. Mungkin karena saya terbiasa sendiri, membuat saya jadi seperti sekarang." Arasha mencoba menarik kesimpulan sendiri.

Indana dapat memahami, sikap dan tingkah laku Arasha terbentuk karena lingkungannya. Arasha merasa ditinggalkan oleh orang tuanya, merasa anak yang tidak diharapkan ada. Hal itu juga yang membuat gadis kurus itu menjadi tidak percaya diri.

"Tidak apa-apa, Arasha. Jangan memaksakan diri berubah menjadi bukan kamu hanya untuk bisa diterima di sebuah lingkungan," ujar Indana.

Arasha tersenyum, merasa diterima apa adanya dan dimengerti.

"Terima kasih, Bu. Jujur selama ini rasanya sakit sekali mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari mereka. Tapi, sejauh ini mereka belum pernah melakukan kekerasan fisik, kecuali saat perkelahian waktu itu. Selebihnya, mereka menyerang saya dengan kata-kata yang memang sangat menyakitkan. Sampai kemudian beberapa hari yang lalu mereka mengatakan hal-hal yang tidak bisa saya terima lagi." Arasha menarik napas dalam seolah mencari udara untuk dadanya yang sesak.

Indana menyodorkan tisyu saat Arasha terlihat kembali meneteskan air mata.

Kemudian, dia melanjutkan,
"Sesuatu itu hal yang bahkan saya belum ketahui secara pasti. Saya pun belum mendengar fakta yang sebenarnya dari orang tua dan keluarga tentang asal usul saya. Bagaimana bisa mereka punya kesimpulan seperti apa yang mereka ungkapkan pada saya?"

Indana menatap Arasha pilu, hatinya ikut merana mendengarnya. Tentu sangat berat bagi Arasha menjadi orang yang tidak tahu apa-apa sementara orang lain seolah lebih tahu. Indana juga belum tahu pasti apakah kabar itu benar atau tidak. Sengaja ia tidak bertanya pada Elang, sementara Arasha pun belum tahu. Rasanya seolah diam-diam membicarakan di belakang.

"Karena orang lain lebih mudah berasumsi dari pada mencari kebenarannya. Lebih suka mengumbar aib orang ketimbang diam menjaga perasaan. Kita hanya harus lebih kuat menghadapinya. Lari dan menghindar semakin membuat mereka yakin dengan asumsi mereka sendiri," jawab Indana sembari mengusap punggung Arasha pelan.

"Jadi, saya harus gimana, Bu?" tanya Arasha memelas.

"Keinginan kamu apa terhadap mereka? Kalau Ibu sebagai guru BK jelas akan menindak mereka dengan tegas. Tapi, saran ibu buat kamu mulai sekarang, hadapi mereka. Toh, selama ini kamu juga tidak berteman dekat dengan mereka. Jadi, anggap saja angin lalu omongan mereka. Lebih baik kamu jalani hari-hari kamu di sekolah dengan nyaman bersama teman-teman yang benar tulus sama kamu," tutur Indana.

Arasha tampak merenungi apa yang dikatakan oleh Indana.

"Mungkin benar apa yang Ibu katakan. Sebenarnya, bisa jadi bukan karena mereka, tapi saya yang kesal dengan hidup saya sendiri. Kadang saya bertanya untuk apa saya ada di dunia ini. Kenapa hidup saya nggak seperti anak lain dengan keluarga utuh? Rasanya nggak mudah untuk dijalani." Jeda sejenak, Arasha meneguk habis minumnya.

"Kadang saya juga berpikir, mungkin orang-orang akan lebih bahagia kalau saya nggak ada. Itulah kenapa saya selalu lari ke panti asuhan, karena di sana saya merasa dibutuhkan. Di sana juga saya disadarkan, masih beruntung punya ibu, nenek, dan om, jadi kenapa saya harus mencari-cari yang memang tidak ada? Itulah yang membuat saya bertahan untuk tetap hidup. Demi orang-orang yang membutuhkan dan menyayangi saya." Arasha mengakui perasaannya.

Indana tersenyum lega. Dugaannya benar bahwa Arasha kabur sebenarnya butuh pelampiasan atas emosinya, melampiaskan amarahnya yang tidak tahu ia tujukan untuk siapa. Arasha sudah bisa mengatasi emosinya sendiri tanpa harus bertindak merugikan. Alih-alih marah pada mereka yang merundungnya, Arasha justru tidak mau mengungkapkan siapa saja mereka. Gadis itu lebih dewasa dari yang terlihat.

"Sebelum Bu, Indana bertindak, bolehkah saya menghadapi mereka dulu? Ibu bilang saya harus menghadapinya, bukan?" tanya Arasha memohon.

"Asal tidak dengan cara perkelahian tidak apa-apa." Bukan tanpa alasan Indana menyetujui permintaan Arasha. Ia ingin muridnya itu juga bisa mengatasi masalahnya sendiri selama tidak dengan kekerasan.

"Benar apa yang Bu Indana sampaikan, silakan selesaikan masalahnya secara tuntas sampai kamu merasa lega. Tapi, tidak dengan kekerasan fisik," sela Elang yang sedari tadi hanya diam mendengarkan dan menyimak.

"Iya, Om." Arasha menjawab singkat.

"Sekarang kamu masih ada yang mau disampaikan atau kita pulang, Ra?" timpal Elang kemudian.

"Kita pulang saja, Om. Aku capek, mau istirahat di rumah. Kasian juga Nenek ditinggal sendirian," ujar Arasha sambil mengemasi tasnya.

"Kalau gitu, biar Om antar kamu dulu baru antar Bu guru, gimana?" usul Elang.

Arasha mengangguk. Sementara itu Indana menaikkan alisnya penuh tanda tanya.

"Saya mau bicara berdua, boleh kan? Tapi, kita antar Arasha dulu. Kamu tidak keberatan? Atau capek?" Elang memberitahu sekaligus membujuk Indana.

"Maaf, Dok. Bukannya saya menolak, tapi saya juga agak capek. Insyaallah saya siap lain waktu," jawab Indana menolak dengan halus. Tangannya sibuk membereskan barang yang ada di meja.

"Ok, baiklah. Saya tunggu, lain waktu." Elang akhirnya memutuskan untuk mengalah. Masih akan ada waktu lebih banyak untuk Elang dan Indana berbicara tentang mereka.

PATAHWhere stories live. Discover now