Bab 22. Aduh

176 16 2
                                    

Bab 22. Aduh

Masalah perundungan di kalangan sekolah memang semakin mengkhawatirkan. Namun, Indana tidak menyangka masalah Arasha masih berlanjut. Arasha tidak pernah melaporkan masalah tersebut padanya. Sampai suatu hari tiba-tiba Arasha tidak masuk tanpa izin. Indana merasa janggal karena meski tanpa surat setidaknya Elang pasti mengabarinya.

Indana segera mengirim pesan pada Elang.

"Dok, hari ini Arasha tidak masuk kenapa?"

Beberapa menit kemudian pesannya terbaca dan Elang langsung meneleponnya.

"Halo, Na. Arasha nggak masuk? Jelas-jelas tadi aku yang anterin dia ke sekolah." Suara Elang terdengar panik.

"Iya, Dok. Hari ini saya ngisi materi di kelas Arasha, ternyata dia nggak masuk. Kata teman-temannya, sudah dua hari ini nggak masuk."

Indana baru sadar kalau kemarin ia memang tidak melihat Arasha. Biasanya gadis remaja itu selalu tertangkap mata olehnya. Indana menyesal kenapa kemarin ia tidak menyadarinya.

"Ini gawat, Na. Jelas-jelas aku yang tiap hari nganterin dia ke sekolah. Tapi, setelah turun memang aku langsung pergi. Pantas saja kemarin dia bilang ngerjain tugas di rumah temennya, dan hari ini juga gitu."

"Saya minta maaf selaku guru di sekolah ini dan sebagai guru BK sudah lalai dengan siswa. Biar saya usahakan cari dari sini dulu, Dok. Saya mau tanya semua anak sekelas satu per satu. Nanti saya kabari lagi. Mungkin Dokter juga bisa bantu mencari." Indana meminta maaf karena memang ia merasa bersalah telah lalai pada salah satu siswanya.

"Sama-sama, aku juga ikut lalai nggak kroscek pas pulang sekolah. Oke, nanti aku juga hubungi dia. Makasih udah kasih kabar. Tolong dari pihak sekolah jangan kasih tahu ibuku, semua informasi sampaikan ke aku aja, Na."

Indana mengiyakan permintaan Elang, setelah itu menutup teleponnya. Indana segera menemui anak didiknya kembali di kelas Arasha. Setelah mereka semua ditanyai, Indana memanggil satu per satu. Hingga Indana menemukan satu anak yang sepertinya akan jadi saksi dan tahu kemana Arasha pergi.

Indana sengaja membuat janji bertemu anak tersebut sepulang sekolah, saat siswa lain sudah pulang. Hal ini untuk menghindari siswa lain yang melihatnya demi menjaga kenyamanan siswi tersebut.

"Tapi, Ibu janji tidak akan membocorkan kalau saya yang melapor?" Siswi itu berusaha memastikan keselamatannya pada Indana.

Indana membaca tag nama yang tersemat di kerudung bagian depan kiri gadis itu "Karin, insyaallah ini akan tetap jadi rahasia kita. Kamu percaya sama Ibu?" tutur Indana yang dibalas dengan anggukan pelan oleh siswi yang bernama Karin tersebut.

Sebagai guru BK, Indana akan berusaha semaksimal mungkin menjaga kerahasiaan sumber informasinya demi melindunginya.

"Sebenarnya, Arasha sudah jadi korban perundungan sejak lama, Bu." Hadis berkerudung itu mengawali informasinya.

"Apa saat peristiwa perkelahian waktu itu?" tanya Indana.

"Jauh sebelum itu, Bu. Hampir setiap hari Arasha mendapat perlakuan buruk di kelas, di kantin, saat olah raga, dan waktu lainnya asal ada kesempatan," jelas gadis berkerudung itu.

Indana masih menyimak membiarkan muridnya itu menuntaskan ceritanya.

"Dan yang terakhir itu dua hari yang lalu, Bu. Mereka menyebut Arasha anak haram, nggak punya ayah makanya ditinggal sama ibunya."

Hampir saja Indana emosi mendengar cerita itu, bisa-bisanya mereka mengatakan hal yang kejam. Informasi apa yang mereka dapatkan sampai-sampai mereka menyebut Arasha seperti itu? Akan Indana selidiki ini nanti. Sekarang yang terpenting adalah menemukan Arasha.

"Apa kamu melihatnya sendiri?" Penting sebagai saksi untuk melihat secara langsung pada setiap kejadian.

"Saya satu-satunya yang bisa berteman dengannya dan kebetulan kami duduk sebangku, Bu. Jadi, saya selalu menyaksikannya."

"Lalu, kenapa kamu nggak lapor ke BK?" cecar Indana.

"Saya sudah bilang sama Arasha suruh laporin aja ke BK, atau saya yang laporkan. Dia menolak dan melarang saya melakukannya."

"Kenapa?" tanya Indana dengan nada yang agak tinggi karena kesal sendiri.

"Arasha takut saya ikut dibully, Bu. Dia juga nggak mau malah makin banyak yang tahu masalah ini."

Indana menyodorkan tisyu pada siswinya untuk mengelap air mata yang dari tadi terus mengalir sepanjang bercerita.

Indana menarik napas dalam dan mengembuskan dengan cepat, hatinya terasa sesak. Bagaimana ia menyebut diri guru BK, tapi masalah seperti ini bisa lolos dari pengamatannya. Terlebih lagi korbannya adalah Arasha yang sudah lebih dekat dengannya. Ia bertekad harus menemukan Arasha segera.

"Sekarang apa kamu tahu ke mana perginya Arasha dua hari ini selama jam sekolah?" tanya Indana mulai masuk ke tujuan utama.

"Saya nggak tahu pasti, Bu, tapi saya punya dugaan ke mana dia pergi."

Indana merasa ada harapan, "Ke mana kira-kira?" tanya Indana yang berharap semoga tempat itu bukan tempat yang buruk.

Indana sering melihat anak-anak usia sekolah yang nongkrong di perempatan jalan besar, di bawah lampu merah, entah mengamen atau meminta-minta. Kebanyakan dari mereka berpakaian serba hitam, dengan telinga, bibir, atau lidah ditindik, rambut bergaya mohawk. Indana ngeri membayangkan Arasha terjebak di antara mereka.

"Ada suatu tempat yang biasa dia datangi kalau sedang sedih. Panti Asuhan Kasih Ibu. Saya tahu alamatnya karena pernah diajak ke sana."

Mendengar penjelasan siswinya, seketika perasaan Indana lega, setidaknya tempat itu bukan tempat yang buruk. Ia berharap Arasha memang benar ada di sana.

Segera Indana menelepon Elang. "Sepertinya saya tahu Arasha di mana, tapi akan sulit kalau saya ke sana sendiri naik kendaraan umum," ucap Indana sesaat setelah Elang mengangkat teleponnya.

"Oke saya ke sekolah sekarang jemput kamu, biar kita bisa ke sana sama-sama," jawab Elang di seberang telepon.

Elang segera memacu mobilnya menuju sekolah. Ia masih cemas meski sudah tahu Arasha ada di mana, tapi belum tahu bagaimana perasaan keponakannya.

Indana menunggu di depan gerbang sekolah, alasannya biar praktis dan cepat berangkat menjemput Arasha.

"Jadi, gimana ceritanya, Na," tanya Elang setelah Indana di dalam mobil.

Lantas Indana menceritakan semua informasi yang ia peroleh dari Karin yang merupakan sahabat Arasha. Karin tidak ikut karena harus lanjut les di bimbingan belajar.

Selesai Indana menceritakan semuanya, Elang menggemeretakkan gigi saking emosinya. Rasa bersalahnya semakin menggunung dan merasa jadi paman yang tidak berguna. Bagaimana bisa masalah sebesar ini dan ia tidak tahu bahwa Arasha mengalami hal yang menyakitkan.

"Apa aku paman yang jahat, ya Na? Sampai keponakan sendiri jadi korban bully aku nggak tahu. Sampai Arasha hanya bisa melarikan diri tanpa berani mengurai masalahnya." Elang mengatakannya tanpa menoleh pada Indana.

Indana hanya menunggu, tidak berkomentar karena memang bukan itu yang dibutuhkan Elang saat ini.

"Aku nggak bisa bayangin gimana beratnya luka yang harus Arasha tanggung sendirian, Na."

Indana menatap lelaki yang sedang menyetir itu. Lelaki yang belakangan ini sering mampir dalam pikirannya. Indana turut prihatin atas apa yang terjadi. Namun, ia juga belum berani untuk menanyakan tentang kebenarannya.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang