Bab 19. Tumbuh

217 16 2
                                    

Bab 19. Tumbuh

Indana merebahkan diri di tempat tidurnya. Dipandanginya langit-langit kamarnya yang bertabur hologram glow in the dark bentuk bulan dan bintang. Matanya belum juga terpejam meski tubuhnya terasa lelah. Pasalnya pikirannya masih mengembara mengingat obrolannya dengan Elang di Mal.

Sampai detik ini Indana belum menemukan alasan mengapa Elang ingin dekat dengannya. Bisa dibilang pertemuan mereka terbilang baru. Bagaimana bisa menilai seseorang hanya dari beberapa kali bertemu.

"Yang terhitung mungkin hanya tiga kali, tapi sebenarnya kita sudah berkali-kali bertemu."

Indana masih ingat kata Elang saat itu, dan berusaha mengingat kapan tepatnya mereka pernah bertemu sebelumnya. Sampai malam kian larut, Indana semakin tidak bisa mengingatnya.

Hanya saja ada yang sedikit mengganjal pikiran Indana. Pasalnya, tadi sore Elang memakai jaket Hoodie yang hampir sama seperti milik lelaki yang pernah menolong kucing yang tertabrak dulu. Indana ingat sekali karena di belakangnya ada tulisan inisial 'E.S'

Tiba-tiba Indana menyadari sesuatu. Mungkinkah Elang adalah lelaki yang sama yang menolong kucing itu?
Jantung Indana berdetak lebih kencang menyadari hal itu. Hatinya yang lama membeku tiba-tiba terasa sedikit demi sedikit menghangat.

Namun, Indana tidak mau berharap terlalu jauh. Ia bahkan berusaha menepis perasaan yang timbul di hatinya. Cukup luka yang dulu menjadi pelajaran berharga, bahkan membentuk dirinya yang seperti sekarang.

***

"Apa? Serius, Na!" teriak Sasti histeris saat Indana menceritakan perihal Elang.

Indana membekap mulut Sasti yang terlalu keras. Mereka sedang berada di Kafe Buku yang kebanyakan dari mereka datang untuk membaca buku,  mengerjakan tugas kuliah, dan sekadar ngopi dengan tenang.

"Iya, sementara ini dugaanku aja sih. Kalau Elang adalah orang yang sama dengan cowok yang kulihat dulu," sahut Indana dengan suara pelan.

"Kalau memang iya, gimana Na?" tanya Sasti lagi. Kali ini suaranya lebih pelan.

"Ya, nggak gimana-gimana," jawab  Indana santai.

"Ih, kamu gimana sih, Na. Kalau misalnya nih Dokter Elang beneran suka sama kamu, gimana?" Sasti kembali bertanya.

"Aku, masih belum memikirkan ke arah sana. Selama ini hal itu tidak ada dalam rancangan hidupku." Indana menyahut sembari tangannya sibuk memilah-milah buku di rak kecil dekat mejanya.

Indana berkata sejujurnya bahwa rancangan masa depannya belum ada satu pun laki-laki di dalamnya.

"Ya, udah. Mulai sekarang masukan Dokter Elang ke dalam rencana masa depan kamu." Sasti berkata dengan raut wajah serius.

"Atas dasar apa aku harus memasukkan nama Elang?" tanya Indana. Di tangannya sudah ada satu buku karya penulis lokal yang sudah sangat senior, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Sasti merasa gemas sendiri dengan sikap Indana yang masih saja mengingkari perasaannya. Hanya karena trauma yang belum bisa diatasinya.

"Atas dasar suka. Simpel, kan? Ngapain dibikin ribet hanya karena prinsip yang tak berdasar? Kamu boleh mengingkari perasaanmu di depanku atau di depan semua orang, tapi kamu nggak bakalan bisa mengingkari kata hatimu sendiri, Na," ujar Sasti yang tak pernah lelah membuka mata hati Indana.

Indana hanya terdiam, tidak bisa lagi mendebat apa yang Sasti katakan. Ia hanya menghela napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Buku di tangannya masih belum juga terbaca hanya dipegangnya sejak tadi.

"Jujur aku masih belum bisa memahami perasaanku sendiri, Sas. Apakah aku suka atau hanya sekadar saja," ungkap Indana berterus terang.

Indana memang tidak bohong. Ia tidak bisa mendeteksi perasaannya sendiri karena selama ini terlalu lama ia membatasi diri dari laki-laki.

"Mungkin kamu hanya menolak merasakannya, Na. Tapi, ya jangan dipaksa juga. Biarkan hatimu merasa nyaman, tidak ada kekhawatiran dan tunggu waktunya datang. Kamu akan bisa tahu dengan sendirinya saat cinta itu datang." Sasti mencoba untuk memahami keadaan Indana.

Sasti tidak ingin hati Indana yang sudah pernah patah akan lebih hancur jika mengalami patah hati lagi.

***
Elang memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah klasik bergaya Belanda, dengan dinding bercat warna putih dan abu muda. Rumah tersebut memang salah satu dari sekian banyak bangunan peninggalan Belanda. Di halaman depan terdapat pohon kelengkeng besar sebagai peneduh. Tidak ada bunga warna warni yang menghiasi halamannya.

Elang memencet bel yang disediakan dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menenteng pet cargo berwarna biru muda. Sekilas orang akan menganggap rumah itu adalah rumah kosong saking sepinya. Elang juga akan berpikir demikian kalau saja ia belum menghubungi si pemilik rumah.

Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu.

"Permisi, Bu. Saya mau ketemu dengan Indana." Ucap Elang setelah sebelumnya memberi salam.

"Mas Elang, ya?" tanya perempuan itu yang dibalas dengan anggukan oleh Elang.

"Silakan masuk Mas, biar saya panggilkan Mba Indana dulu. Monggo duduk dulu," ujar perempuan paruh baya tersebut.

Elang pun menurutinya dan duduk di salah satu kursi tamu berbahan suede, berwarna abu yang tersedia. Sembari menunggu Elang mengedarkan pandangan ke ruangan yang tidak begitu besar itu. Di dinding terlihat sebuah foto keluarga yang tampak bahagia, suami, istri dan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Sepertinya foto tersebut diambil saat lebaran, terlihat dari pakaian muslim mereka yang seragam.

"Hai, Dok. Nggak nyasar, kan?" sapa Indana yang datang dengan memakai rok warna coklat dengan atasan kaos lengan panjang dan kerudung bergo berwarna senada.

"Nggak, kok. Gampang dicari. Maaf, ya menganggu istirahatnya," ucap Elang sedikit berbasa-basi.

"Nggak ganggu, kok. Kebetulan saya juga habis keluar sama Sasti tadi," jawab Indana yang duduk di seberang Elang.

Indana memandang pet cargo yang tergeletak di sisi kaki Elang.

"oh, iya. Saya ke sini mau mengantarkan ini," ucap Elang. Tangannya mengangsurkan pet cargo berwarna biru tersebut.

Indana mengerutkan dahinya. "Apa itu?"

Terdengar suara mengeong, seolah menjawab pertanyaan Indana.

Elang tersenyum mendengarnya. "Namanya Kitty," ucapnya.

"Buat saya?" tanya Indana yang masih belum paham maksud Elang.

"Iya. Anggap saja hadiah kecil. Semoga Kitty bisa jadi temanmu seperti Muezza."

Indana tersenyum lebar menampakkan giginya yang kecil dan rapi. Ia membuka pet cargo dan mengambil Kitty. Dipandanginya hewan mungil berbulu warna hitam dan putih itu, pandangan mereka beradu. Kitty mengeong lembut dan langsung bermanja di pangkuan Indana.

"Sepertinya kalian berjodoh," ujar Elang yang dibalas anggukan oleh Indana.

"Benar, begitu melihatnya saya langsung klik. Rasanya seperti saat bersama Muezza dulu. Terima kasih, Dok. Padahal saya nggak lagi ulang tahun, lho," ucap Indana seraya mengusap lembut Kitty.

"Tidak harus menunggu ulang tahun untuk sebuah hadiah, bukan?" ujar Elang.

Indana tersenyum dan mengangguk. "Saya setuju, baiklah saya terima Kitty tanpa protes. Sekali lagi terima kasih." Indana mengusap Kitty.

"Sepertinya ada bekas luka di kaki?" tanya Indana kemudian.

"Iya, luka patah kaki akibat tertabrak kendaraan. Saya menemukan Kitty di dekat sebuah halte lebih dari setengah tahun yang lalu. Sejak saat itu saya memeliharanya."

Tanpa dikomando jantung Indana berdetak lebih cepat saat mendengar penuturan Elang. Ternyata apa yang di dugaannya tidak meleset. Lelaki yang dulu dilihatnya adalah Elang. Apakah ini pertanda atau hanya sebuah kebetulan belaka?

"Halo, Indana. Kenapa tiba-tiba bengong?" Elang mengibaskan tangannya di depan Indana.

"Eh, maaf, Dok. Tiba-tiba ingat sesuatu saja. Bukan hal penting, kok. Yuk diminum dulu, Dok."

Indana mengangkat gelasnya dan meneguk lemon tea hangat buatan Bi Surti, dikuti oleh Elang melakukan hal yang sama.

Perlahan dan mungkin tidak disadarinya telah ada yang tumbuh di hati Indana. Ia memandang Elang dengan berbeda.

PATAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang