Bab 15. Acuh

248 18 0
                                    

Bab 15. Acuh

"Sayang, kayaknya kita harus cabut dulu, deh," ucap Haris sambil melihat jam di pergelangan tangan kanannya.

Sasti ikut melihat jam di gawainya.
"Oh, iya bener. Udah jam tujuh ternyata, tapi Indana pulangnya gimana?" ucap Sasti menoleh pada Haris.

"Nggak apa-apa, kok. Aku bisa pesen mobil online." Indana segera mengambil gawainya dan mencari aplikasi yang biasa ia pakai.

"Emm, maaf. Kalau nggak keberatan biar Indana pulang bareng saya aja, gimana?" Elang menawarkan diri untuk mengantar Indana. Tidak sopan rasanya kalau membiarkan perempuan pulang sendiri sedangkan ia sanggup mengantarkan.

"Nah, iya tuh. Setuju banget. Plis mau, ya Na dianterin Mas Elang. Aku bakalan tenang kalau kamu pulang dengan aman." Sasti yang selalu khawatir dengan Indana berusaha membujuknya.

Indana merasa enggan jika harus berdua saja dengan Elang.
"Terima kasih, Dok. Tapi, saya bisa pesan taksi. Saya nggak mau merepotkan." Indana mencoba menolak dengan halus.

"Na, udah deh kali ini nurut, ya. Biar aku tenang ninggalin kamu," bujuk Sasti pada Indana.

"Iya, Na. Tahu sendiri Sasti kayak gimana. Dia pasti bakalan ngotot nganterin kamu dulu kalau kamu nolak tawaran Elang." Haris ikut serta membujuk Indana.

Indana terpojok. Menolak bukan pilihan tepat. Ia juga tidak mau mempersulit Sasti di saat dia sibuk dengan segala persiapan pernikahannya. Begitu juga dengan Elang, tidak enak juga Indana menolak maksud baiknya.

"Baiklah kalau gitu, aku ikut Dokter Elang. Kalian berangkat aja sekarang." Akhirnya Indana menyetujui untuk pulang bersama Elang.

"Oke, makasih Na. Kita pamit dulu." Sasti menyalami Indana dan mencium pipi kanan dan kiri. Lalu berkata pada Elang," Titip, ya Mas. Harus sampai rumah dengan selamat."

"Siaap, insyaallah." Elang mengacungkan ibu jarinya.

Setelah kepergian Haris dan Sasti, Elang bertanya pada Indana.
"Apa kamu keberatan kalau kita di sini dulu sebentar? Ada yang mau saya bicarakan tentang Arasha." Elang bertanya sambil memegang kacamatanya.

Indana mengangguk mengiyakan. "Tidak apa-apa, saya tidak keberatan."

Elang meminum kopinya yang sudah mulai dingin. Sudah gelas kedua ia pesan.

"Beberapa hari yang lalu di klinik, saya melihat Arasha dan kamu ngobrol panjang. Apakah Arasha curhat tentang sesuatu?" tanya Elang.

"Yah, tidak secara langsung sebenarnya karena dia curhat secara tersirat. Saya belum tahu banyak tentang Arasha," jawab Indana apa adanya.

"Saya juga kurang dekat dengan Arasha, maksudnya yang lebih dalam, padahal kami serumah. Sampai masalah perkelahian itu menampar saya dan membuat saya merasa bersalah."

"Jadikan rasa bersalah itu untuk perbaikan, Dok. Mulailah menjadi lebih dekat dengan Arasha sebelum semuanya menjadi semakin parah." Indana mencoba membuka pikiran Elang.

"Iya, betul. Selama ini saya pikir dengan mengantar jemput dia, memenuhi semua keinginan dan kebutuhannya sudah cukup. Tapi nyatanya Arasha tetap tidak bahagia."

Indana yang diam mendengarkan dan menyimak untuk memberi kesempatan pada Elang bercerita lebih banyak.

"Mungkinkah Arasha kesepian? Pasti berat harus jauh dari ibunya, tapi tidak juga mendapatkan teman bicara. Arasha memang agak tertutup, pasti tidak mudah baginya mendapatkan sahabat dekat," ucap Elang merasa prihatin.

"Memang terkadang apa yang mereka butuhkan bukan hanya perhatian yang terlihat saja. Seringkali yang mereka inginkan adalah kehadiran yang nyata," ucap Indana.

PATAHWhere stories live. Discover now